Indonesia pernah menorehkan sejarah sebagai lumbung padi dunia. Namun kini nasib petani Indonesia kian terpuruk. foto: dok duniachybill.wordpress.com |
Jauh di pelosok Kabuaten Konawe sana, banyak sekali petani kita tak tau apa yang tengah terjadi hari ini. Sapto contohnya. Petani asal Desa Duriasi, Kecamatan Pondidaha, Kabupaten Konawe sama sekali tidak tau perayaan hari tani. Padahal, hampir saban tahun perayaan hari tani selalu disuarakan masyarakat perkotaan. Namun setiap tahun pula hampir pasti Sapto tidak merayakannya. "Wah, saya tidak tau apa itu hari tani pak. Saya baru taunya dari bapak,"kata Sapto pria asli Jawa yang sudah berpuluh tahun di Sulawesi Tenggara.
Tak hanya Sapto, Karmono warga lainnya, juga tidak mengerti apa makna perayaan hari tani itu. "Lha, gimana mau dirayain kalo untuk cari makan saja susahnya minta ampun,"katanya sembari tersenyum.
Namun, baik Sapto maupun Karmono senang jika akhirnya ada yang peduli dengan nasib kaum tani. Tapi, tak sekedar dirayakan, tetapi bagaimana memperjuangkan nasib petani, agar kesejahteraannya lebih baik.
Petani-petani di Sulawesi Tenggara hampir didominasi kaum transmigran. Mereka hidup dan bercocok tanam berpuluh-puluh tahun lamanya. Mereka dari beragam suku, seperti Jawa, Bali, Bugis dan Nusa Tenggara. Dari tangan-tangan terampil merekalah meenyumbang swasembada beras demi kemakmuran daerah.
Sayang petani yang tersisa saat ini tinggal kaum tua saja, sementara jumlah anak-anak muda yang mau turun membajak hanya bisa dihitung jari. "Ini yang sudah pak, petani tersisa kami yang tua-tua saja. Anak-anak muda sudah tidak mau lagi turun ke sawah,"kata Sapto.
Indonesia sendiri pada jaman Orde Baru pernah menjadi lumbung padi dunia, bersain dengan negara-negara seperti India dan negara asia lainnya. Namun seiring perubahan rezim, komoditi pangan Indonesia semakin terpuruk. Bahkan, kini indionesia terpaksa mengimpor beras dari negara lain. TIM
Blogger Comment
Facebook Comment