Prosesi tradisi tunuha oleh masyarakat muna di Kendari. foto; Yos/Sultranews |
KENDARI, SULTRANEWS.COM-Masyarakat etnis muna yang bermukim di kawasan Nanga-nanga, Kota Kendari , Sulawesi Tenggara punya tradisi tersendiri setelah melakukan panen singkong. Oleh warga setempat, tradisi tersebut diberi nama Tunuha yang berarti pembakaran.
Tradisi itu sebagai ucapan rasa syukur pada sang pencipta atas hasil panen yang melimpah hingga kini masih dilakukan.
Kesibukkan napak dari petani singkong yang bermukim Kelurahan Tobimeita, Kecamatan Abeli, Kota Kendari. Usai panen raya singkong mereka menggelar tradisi tunuha yang berarti pembakaran. Tradisi dilakukan sebagai ucapan rasa syukur pada sang pencipta atas hasil panen yang melimpah.
Biasanya acara ritual dilakukan saat malam hari. Acara diawali dengan
menumbuk bahan singkong yang telah dibersihkan hingga halus dalam wadah yang
disebut nohu dan sebuah alat penumbuk yang disebut alu. Bahan singkong yang
telah halus tersebut kemudian dicampur gula merah,lalu dimasukkan kedalam potongan bambu yang telah
disiapkan.
Sepintas , pembuatan singkong bambu ini terlihat mirip dengan proses pembuatan nasi bambu, namun hanya bahan dasarnya yang berbeda. Nasi bambu menggunakan ketan sebagai bahan dasar , sementara singkong bambu menggunakan singkong sebagai bahan dasar yang dicampur dengan gula merah. Setelah seluruh potongan bambu terisi, kaum pria lalu menutup bagian atas bambu dengan menggunakan daun pisang dan daun jati. Gunanya agar saat mendidih singkong tidak tumpah dari bambu.
Sepintas , pembuatan singkong bambu ini terlihat mirip dengan proses pembuatan nasi bambu, namun hanya bahan dasarnya yang berbeda. Nasi bambu menggunakan ketan sebagai bahan dasar , sementara singkong bambu menggunakan singkong sebagai bahan dasar yang dicampur dengan gula merah. Setelah seluruh potongan bambu terisi, kaum pria lalu menutup bagian atas bambu dengan menggunakan daun pisang dan daun jati. Gunanya agar saat mendidih singkong tidak tumpah dari bambu.
Setelah seluruh bahan siap, selanjutnya seluruh warga kampung berkumpul
disebuah lubang besar yang telah
dipersiapkan sebelumnya. Dalam lubang tersebut ditumpuk kayu dan batu. Kayu dan
batu kemudian dibakar beramai-ramai hingga menjadi bara api, setelah menjadi bara api, batu yang mebara
kemudian diangkat ke atas.
Selanjutnya acara tunuha pun dimulai.
Dengan beramai-ramai warga membawa
bambu berisi singkong ke lokasi. Seolah berlomba warga berebut
menurunkan satu persatu bambu singkong ke dalam lubang yang berisi bara api. Seperti
sudah diukur , lubang berdiameter empat kali empat meter ini mampu menampung
ratusan batang bambu singkong milik warga.
Selanjutnya lubang yang telah diisi ratusan batang bambu singkong ini
kemudian ditutupi dengan bara batu di bagian atas bambu singkong. Warga juga
menututup seluruh permukaan lubang dengan dedaunan. Fungsinya agar panas api
tidak keluar dari lubang dan panas bara api tetap terjaga, setelah itu lubang
ditimbun dengan tanah . Lubang pembakaran banbu singkong ini akan dibuka pada
keesokan harinya dan singkong bakar akan dimakan beramai-ramai.
Seorang pemuka adat muna mengungkapkan, proses pembakaran inilah yang
disebut oleh masyarakat suku muna sebagai ritual tunuha (=pembakaran). Oleh
masyarakat suku muna , tradisi ini diyakini sebagai momentum untuk
mengucapkan rasa syukur kepada sang pencipta dan memohon rezeki agar usaha
taninya diberi hasil yang melimpah serta dijauhkan dari bala.
Uniknya , dalam ritual ini juga dibumbui dengan nilai-nilai asmara utamanya kaum muda-mudi. Setiap laki-laki yang memiliki hasil panen singkong yang melimpah dan akan melakukan ritual ini, maka wajib mengundang kaum perempuan untuk mengikutinya.
Meski lubang telah ditimbun, namun ritual tunuha ini belum berakhir. Mengandalkan sebuah lampu petromaks sebagai penerang, kaum laki-laki dan perempuian kemudian membentuk lingkaran mengelilingi lubang yang telah tertimbun sambil melakukan balas pantun yang diringi irama dan gerakan badan yang saling berpegangan antara satu sama lain.
Oleh masyarakat setempat, prosesi ini disebut dengan modero, mirip tari lulo. Selain dimaknai sebagai sebuah persembahan untuk mengiringi singkong bambu yang telah ditanam didalam lubang, balas pantun ini juga dimaknai sebagai ajang untuk saling memperlihatkan tingkah laku yang beretika dan saling menghargai utamanya antara kaum laki- laki dan perempuian. (YOS/SK)
Uniknya , dalam ritual ini juga dibumbui dengan nilai-nilai asmara utamanya kaum muda-mudi. Setiap laki-laki yang memiliki hasil panen singkong yang melimpah dan akan melakukan ritual ini, maka wajib mengundang kaum perempuan untuk mengikutinya.
Meski lubang telah ditimbun, namun ritual tunuha ini belum berakhir. Mengandalkan sebuah lampu petromaks sebagai penerang, kaum laki-laki dan perempuian kemudian membentuk lingkaran mengelilingi lubang yang telah tertimbun sambil melakukan balas pantun yang diringi irama dan gerakan badan yang saling berpegangan antara satu sama lain.
Oleh masyarakat setempat, prosesi ini disebut dengan modero, mirip tari lulo. Selain dimaknai sebagai sebuah persembahan untuk mengiringi singkong bambu yang telah ditanam didalam lubang, balas pantun ini juga dimaknai sebagai ajang untuk saling memperlihatkan tingkah laku yang beretika dan saling menghargai utamanya antara kaum laki- laki dan perempuian. (YOS/SK)
Blogger Comment
Facebook Comment