Hutan alam yang rusak akibat dialih fungsikan menjadi areal konsesi pertambangan. foto: Yoshasrul |
Sekitar pukul 10.00 Wita, udara panas sudah terasa
menyengat hingga ubun-ubun dari puncak pulau Laburoko. Sinar matahari yang
terasa panas bersama semakin tegaknya bayangan, membuat langkah untuk menyusuri
pulau seluas 40 hektar itu semakin terasa berat.
Nyaris tak ada tempat berlindung dari teriknya matahari
di puncak Laburoko. Sebab tak ada pohon menjulang seperti yang terlihat di
bagian pesisir pulau. Pulau Laburoko termasuk dalam wilayah administrasi
Kabupaten Kolaka, tepatnya di kecamatan Wolo. Untuk tiba ke pulau laburoko
dapat ditempuh melalui perjalanan darat menggunakan mobil sekitar dua jam dari
arah ibukota Kolaka. Setelah itu, perjalanan lanjut menggunakan perahu bermesin
sekitar 30 menit. Pulau Laburoko terlihat jelas dari jantung desa Iwoimopuro.
Sekilas, Pulau Laburoko masih menyimpan keelokan pulau
tropis dari kejauhan. Hamparan hijau masih terbentang di sepanjang bibir
pantai. Bahkan, bebatuan terjal pada sisi timur dan barat pulau juga diselipi
pohon yang tumbuh menjulang. Namun pemandangan itu sangat berbeda jika
mendekati puncak pulau Laburoko. Sebab, terbentang lahan yang menurut data
Badan Lingkungan Hidup dan Kebersihan (BLHK) kabupaten Kolaka, seluas 40 hektar
dalam keadaan kritis. Hampir tak ada pohon tumbuh di area itu, hanya
lubang-lubang masif bekas aktifitas pertambangan yang tertinggal.
Puncak Laburoko ini adalah pusat aktifitas pertambangan
PT.Duta Indonusa (PT.DI), perusahaan pemegang konsesi pertambangan nikel yang menguasai
seluruh pulau. Jalur jalan operasi tambang masih terlihat jelas membelah puncak
Laburoko menuju sisi barat pulau dimana terdapat jeti (pelabuhan tugboat).
Jalur inilah yang digunakan mengangkut "isi perut" pulau Laburoko
yang mengandung ore nikel menuju stock pile (areal penimbunan ore) di dekat
jeti untuk selanjutnya di angkut menuju vessel pembeli.
Untuk mendapatkan ore, PT.DI melakukan land clearing
dengan menebang habis seluruh pohon pada areal eksploitasi, lalu dilanjutkan
dengan mengupas lapisan tanah teratas (top soil).
Menurut pengakuan Direktur PT.DI, Susantio, setelah
berhenti beroperasi pada 2010, perusahaannya telah melakukan revegetasi
(penanaman kembali pohon sebagai salah satu bagian penting reklamasi) pada
seluruh area eksploitasi di IUPnya. Namun kenyataannya, dari hasil penelusuran
wartawan Kolaka Pos, kemungkinan besar hanya sekitar 5 persen saja dari
tumbuhan revegetasi PT.DI yang bertahan. Itupun dengan kondisi yang
mengkhawatirkan. Bagaimana tidak, sejak melakukan revegetasi pada dua tahun
lalu, sampai kini, tanaman jenis pinus dan mahoni tersebut masih setinggi lutut
orang dewasa. Jelas bahwa tidak cukup unsur hara bagi tanaman tersebut.
Kondisi itu diakui oleh Kepala Bidang Tata Lingkungan
BLHK Kolaka, Agus Andhi. BLHK mencatat, ada 14 perusahaan tambang yang
terkatung-katung penyelesaian reklamasi tambangnya. Yang paling bandel adalah
PT.DI. Bersama 13 perusahaan lainnya, Andhi menyebut PT.DI banyak mengabaikan
komitmen pelaksanaan pengelolaan lingkungan. "Yang lalai sudah ada, tolong
dicatat. Ada satu perusahaan yang bandel, yaitu PT Duta Indonusa. Perusahaan
ini sudah kami surati sampai empat kali untuk laksanakan pengelolaan
lingkungannya, tapi belum ada tindak lanjutnya. Bahkan belum lama ini kami
rapat, diundang orangnya pun tidak ada yang datang," ujarnya.
Monitoring BLHK beberapa waktu sebelumnya memang
menemukan tanda-tanda bekas revegetasi di puncak Laburoko. Tetapi, nyaris tidak
ada yang berhasil. PT.DI juga terkesan membiarkan hal tersebut karena tidak ada
proses tambal sulam (mengganti tanaman yang rusak dengan tanaman baru), maupun
perawatan tanaman. Seolah-olah revegetasi hanya sekedar formalitas penanaman
benih pohon, tanpa pemeliharaan hingga lahir vegetasi baru di area bekas
eksploitasi tambang.
Andhi ngotot, permasalahan tersebut harus segera
diselesaikan PT.DI. Jika tidak, ia mengancam akan melakukan pemaksaan.
"Yah, harus paksaan pemerintah. Perusahaan ini tidak berhasil
reklamasinya, belum selesai sudah tinggalkan. Kalau begitu berarti kan tidak taat,"
tandasnya.
Padahal, tidak ada istilah formalitas dalam reklamasi
lahan pasca tambang. Merunut pada Keputusan Dirjen Pertambangan Umum nomor
336.K/271/DDJP/1996 tentang penetapan jaminan reklamasi, setiap perusahaan
wajib melaksanakan reklamas lahan pasca tambang hingga tuntas. Dalam keputusan
tersebut, dijelaskan "Besarnya jaminan reklamasi akan terus bertambah
apabila perusahaan/pemegang izin usaha pertambangan yang bersangkutan tetap
tidak melaksanakan kewajibannya pada tahun berjalan". Artinya, anggaran jaminan
reklamasi yang telah disediakan PT.DI akan terus membengkak jika reklamasinya
tidak tuntas.
Pemkab Kolaka sebelumnya telah menetapkan angka jaminan
reklamasi untuk tiap perusahaan tambang sebesar Rp70 juta perhektar konsesi.
Dengan luas lahan konsesi yang disebut BLHK seluas 40 hektar, harusnya dana
reklamasi yang disetorkan PT.DI ke rekening Jaminan reklamasi sebesar Rp2,8
miliar.
Namun hal tesebut dibantah direktur PT.DI, Susantio. Dia
menyebut lahan yang harus dipertanggungjawabkan perusahaannya hanya sebesar 24
hektar, sesuai luas area yang dieksploitasi. Dengan kata lain, dana yang
disetorkan PT.DI hanya Rp1,68 miliar. Itupun menurutnya, mereka telah melakukan
revegetasi pada puncak Laburoko. Hanya memang ia mengakui tidak semua
revegetasi itu berhasil. Penyebabnya, musim kemarau panjang di Laburoko membuat
tanamannya tidak tumbuh optimal. Selain itu benih tanamannya rusak diserang
hama tikus. "Memang kami kesulitan, karena lokasinya di pulau, tanaman
revegetasi sulit tumbuh akibat kekurangan air, dan banyak hama tikus,"
terangnya.
Ia tidak mau merinci apakah dana reklamasi yang tersedia
di rekening jaminan reklamasi perusahaannya sesuai dengan peraturan daerah. Ia
berdalih, ketidakmampuan perusahaannya untuk menuntaskan reklamasi karena
mengalami kerugian. Selama beroperasi, harga ore yang dipasarkan merosot
menjadi penyebab minimnya keuntungan. Dan hal tersebut juga menyulitkan keadaan
perusahaan, sehingga di 2010 PT Duta
Indonusa menghentikan operasinya.
"Kurang lebih kita hanya beroperasi setahun. Harga
nikel jatuh terus selama bekerja, dan keuntungan kami sangat tipis. Sehingga
keaadan itu menyulitkan kami dan
berkepanjangan kita tidak bisa menutupi keadaan. Akan tetapi, bukan
berarti kami meninggalkan lokasi begitu saja. Sebagai pengusaha kita mendukung,
tetap kita konsisten untuk mewujudkan kewajiban. Kita tidak pernah lari. Kita
bukan ibaratnya habis makan buah terus kulitnya ditinggalkan. kita tidak
seperti itu. Jadi kita tetap niat berupaya dalam rangka membantu pemerintah,
namun keadaan yang menjadikan kita keteteran. Pemerintah sudah sangat baik,
kita sangat berterima kasih selalu mengingatkan, berkoordinasi dan
membina," belanya.
Apapun itu, revegetasi yang dilaksanakan PT.DI tidak
berhasil mengganti karpet rumput dan kanopi hutan di puncak Laburoko. Malah,
sisa-sisa cakar excavator menyisakan lubang kekeringan yang berakhir sebagai
lumpur di pesisir Laburoko. Entah sampai kapan ada ketegasan pemerintah untuk
memastikan Laburoko kembali sebagai pulau yang menghidupi warga sekitarnya,
bukan sebagai aset investasi yang diterlantarkan pasca isi perutnya diburaikan.
Nelayan Dipaksa Menjauh
Kondisi pulau Laburoko jauh berbeda saat sepuluh tahun
sebelumnya. Badan Lingkungan Hidup dan Kebersihan (BLHK) Kolaka menyebut Pulau
Laburoko sepuluh tahun lalu merupakan ekosistem alami yang masih dalam keadaan
asri. Namun ketika aktifitas pertambangan mulai menyentuh lokasi tersebut, tak
lagi ada ekosistem alami.
Tahun 2007 adalah awal mula degradasi ekosistem di pulau
Laburoko, bertepatan dengan eksploitasi pertambangan PT.Duta Indonusa di pulau
itu. Selama tiga tahun beroperasi hingga 2010, perusahaan lokal yang dipimpin
Susantio itu berhasil mengeruk lahan seluas 40 hektar dengan mengorbankan
seluruh pohon dan tumbuhan lainnya di konsesi eksploitasi.
Tidak hanya mematikan kehidupan di Laburoko, aktifitas
pertambangan PT.DI juga membunuh kehidupan para nelayan di sekitar pulau
Laburoko. Seperti yang diungkapkan salah seorang warga, Fatimah.
Pada tahun 2010, perusahaan yang dikelola oleh Susantio
itu tutup. Tak ada yang tahu pasti penyebab perusahaan tersebut berhenti
operasi. Sayangnya, sejak perusahaan belum ada reklamasi tambang.
Salah seorang warga kecamatan Wolo Fatimah mengatakan,
bila dibandingkan dengan sebelumnya, Pulau Laburoko tampak hijau karena
ditumbuhi pohon dan tempat budidaya rumput laut. Namun kini, sudah tandus.
Akibatnya, lanjut Fatimah, warga yang bermukim tak jauh dari pulau kesulitan
menangkap ikan. "Kalau kita melihat kondisi pulau Laburoko sudah tidak
utuh lagi bila dibandingkan dengan sebelumnya. Sebab, kondisi pulau sebelum
dijadikan lahan tambang, tempat kami menangkap ikan dan membudidayakan rumput
laut," ungkapnya.
Wanita berjilbab ini menjelaskan, saat perusahaan tambang
masuk beroperasi, rata-rata pendapatan warga mengalami penurunan. Sebab, ikan
yang berada di sekitar pulau sudah sangat berkurang. Padahal, sebelum ada
tambang, warga tidak kesulitan menangkap ikan, karena sering berkumpul di
sekitar pulau. Selain itu, para warga menggantungkan hidup dengan
membudidayakan rumput laut.
"Ini yang kita sayangkan terhadap pemerintah, karena
pada waktu itu memberikan izin pertambangan terhadap salah satu perusahaan,
sehingga pendapatan saat ini mengalami penurunan dibandingkan dengan
sebelumnya," terangnya.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, lanjut Fatimah,
sebagian warga berkebun. "Banyak warga yang sebelumnya nelayan beralih
profesi, demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari," tegasnya.
Fatimah berharap, agar Pemerintah daerah memperhatikan
warga sekitar dan menghentikan aktivitas tambang di Pulau Laboroko. "Kami
berharap, tidak ada lagi aktivitas tambang di pulau itu, karena banyak warga
yang tidak setuju," tandasnya.
Sementara itu, Dinas Kelautan dan Perikanan Kolaka,
Syafruddin mengatakan, pada waktu tambang beroperasi, budidaya rumput laut dan
tambak ikan di Pulau Laburoko dihentikan. Sebab, pada waktu itu, perusahaan
sedang beraktivitas. Meski budidaya rumput laut itu dihentikan, namun lanjut
Syafruddin, perusahaan yang beroperasi di Pulau Laburoko memberikan ganti rugi
kepada para warga.
"Pada saat budidaya rumput laut dihentikan, warga
dan pemilik perusahaan melakukan kesepakatan. Adapun kesepakatannya itu berupa
ganti rugi yang dibayarkan kepada warga yang terkena dampak dari tambang,"
ungkapnya.
Ia menambahkan, pada saat tutup tambang, pruduksi
perikanan dan tambang tidak terlalu bermalah. Bahkan bisa membuka kembali
lapangan kerja, sehingga warga yang menganggur bisa bekerja, karena mereka
diberikan kapal.
"Pada waktu tambang tutup, banyak warga yang
menganggur jadi kami mengajukan proposal ke pusat untuk pembukaan lapangan
pekerjaan. Kami waktu itu mengusulkan untuk bantuan bagang keruh dan kapal.
Alhamdulillah, pusat menyetujuinya, sehingga warga kembali melaut dan
membudidayakan tambak, serta rumput laut. Bahkan kini budidaya tersebut
mengalami peningkatan yang cukup siginifikan. Ini ada peningkatan dibandingkan
pada saat tambang masih berjalan," ungkapnya.
Kini, nyaris lima tahun pasca berhentinya aktifitas
pertambangan PT.DI, tak ada lagi ganti rugi yang diberikan PT.DI, sedangkan
aktifitas keseharian para nelayan masih belum kembali normal seperti sedia
kala. Sebagian warga yang dulunya menggantungkan hidup pada hasil laut, kini
belum bisa menangkap ikan di sekitar pulau Laburoko dengan optimal lagi. Saat
hujan, aliran air lumpur dari puncak Laburoko mencemari laut, kondisi yang
tidak ideal bagi pertumbuhan rumput laut. Salinitas air laut menurun dari
sekitar 35 sampai 37 ppt saat kondisi normal, menjadi hanya 20an saat hujan dan
intrusi dari puncak Laburoko. Visibilitas air laut juga menurun dari 80 hingga
100 persen menjadi 0 persen saat kondisi hujan dikarenakan genangan lumpur.
Entah sampai kapan noktah merah pertambangan di pulau
Laburoko akan menghantui masa depan perikanan warga sekitarnya.(*)
Penulis: Harun Jurnalis di Harian Kolaka Pos
Tulisan pada Fellowship Jurnalis Lingkungan yang diselenggarakan AJI Kendari
Blogger Comment
Facebook Comment