Carut Marut Tambang Sultra dalam Catatan Jurnalis Lingkungan (Bagian 1)


Penampakan areal tambang di wilayah Pomalaan Kolaka menghancurkan kawasan hutan. foto: Yoshasrul
Mata Air, Air Mata Rakyat

Pertengahan Bulan Ramadhan 2011, Saya dan 6 jurnalis (Trans 7, SCTV, Metro TV, Trans TV, TV One, Antara Foto dan  Harian Kompas) melakukan peliputan di wilayah Konawe Selatan. Tepatnya di Desa Wonua Kongga, Kecamatan  Laeya sekaligusa mengunjungi Desa Torobulu, sebuah desa di pesisir.  Desa Wonua Kongga merupakan desa pemekaran baru yang dihuni mayoritas etnis Muna. Sepanjang melalui desa, kami disuguhi  jalan tanah gersang berdebu. Akses jalan masih status perkerasan tanpa aspal.

Kami mendatangi sejumlah warga yang bermukim di sana. Seperti di desa-desa lain yang dilalui tambang, kehidupan warga Wonua Kongga sama mirisnya. “Setali tiga uang” warga hidup di bawah garis kemiskinan dan hanya menjadi penonton para pengusaha tambang mengeruk bumi tanah mereka berpijak selama ini.  Kami menemukan  kehidupan miskin di sekitar kawasan tambang. Masyarakat yang sebagian besar mengandalkan hidup dari bertani ubi kayu dan mencari ikan kini tergiur menjadi pekerja tambang meski itu dengan gaji pas-pasan. Dan tetu saja sebagian besar dari masyarakat yang tidak direkrut. “Kami hanya bisa menerima dampak kerusakan, tanpa merasakan manisnya keuntungan tambang itu,”kata La Arman, warga. Meski begitu ada juga warga yang menjadi pekerja tambang tapi hanya bestatus buruh karena pendidikan mereka yang rendah, sehingga ditempatkan sesuai dengan proporsi sebagai buruh pengawas atau paling tinggi sebagai security yang berjaga 24 jam.

Tak hanya di Desa Wonua Kongga yang resah. Warga di desa Torobulu pun mengalami nasib serupa. Banyak warga hanya melihat dan mendengar masuknya perusahaan tapi mereka sama sekali tidak memperoleh manfaat. Bahkan sumber-sumber kehidupan seperti mata air yang selama ini menjadi tempat masyarakat mengambil untuk kebutuhan minum telah dikuasai oleh perusahaan. Tetesan air ini bahkan dijaga ketat oleh security dan preman tambang yang tidak memberikan sedikit pun pada warga.

Mata air itu terletak di sisi barat desa Torobulu. Namun IUP tambang yang diterbitkan bupati telah mencaplok hak warga atas mata air tersebut. “kami telah berkali-kali mengadu ke pemerintah kecamatan untuk menjembatani, tapi tidak ada tanggapan. Mungkin mereka sengaja mau membunuh hidup kami,”kata warga desa torobulu. Menjawab kebutuhan masyarakat perusahaan PT AHB yang kini mengelola eks lahan PT Inco itu memberikan jalan dengan membangun jaringan pipa air tanah ke rumah-rumah warga. Tapi sayang debit air yang kecil tak menjangkau perumahan warga. “Itu pipa hanya dipasang tapi tidak ada air yang mengalir,”tambah warga. Kebutuhan akan air sangat tinggi bagi masyarakat pesisir, hilangnya sumber air bersih, tentu saja menambah beban masyarakat Desa Torobulu dan terpaksa warga harus membeli lagi air besih melalui pedagang air, tentu  saja dengan harga yang cukup tinggi. 

Jaminan kesejahteraan yang selama ini didengung-dengungkan perusahaan dan pemerintah sejauh ini ibarat “jauh panggang dari api”. Kebanyakan perusahaan telah melakukan aktifitas produksi dengan melakukan pengapalan hasil tambang (ore) dengan nilai miliaran, namun ironisnya hasil tambang itu tidak juga bisa ‘menetes’ ke warga desa.  Sebaliknya hasil sebagian besar menetes ke oknum-oknum pejabat dan elit politik serta jasa pengamanan.

Cerita yang sama juga kini berlaku pulau kabaena, Kabupaten Bombana. di Sekitar 350 Kepala Keluarga di Desa Pongkalaero, Kecamatan Kabaena Selatan kini  kehilangan sumber air bersih. Kehadiran PT Anugrah Harisma Baraka mengolah tambang nikel didaerah itu, mengakibatkan sumber mata air warga yang berada dilokasi Manapulu tergerus dan tidak bisa lagi diakses oleh warga.

Padahal menurut warga setempat, sumber mata air yang berada di Manapulu merupakan satu-satunya sumber air warga disekitar Kecamatan Kabaena Selatan. “Sumber air kami sekarang tidak bisa lagi dimanfaatkan dan sekarang sudah ditutup oleh pihak perusahaan dengan alasan lokasi Manapulu merupakan kawasan Izin Usaha Pertambangan Nikel  PT  Anugrah Harisma Baraka,”terang Karta Patti, warga Desa Pongkalaero.

Selama ini kata Karta, warga kerap kali diancam dan diperiksa jika berusaha masuk mengambil air di Manapulu. Setiap hari petugas yang dibayar oleh perusahaan selalu berjaga-jaga di Manapulu untuk mengawasi jika ada warga yang mengambil air. “Saat ini warga semakin takut kalau mengambil air di Manapulu karena jika melawan warga diancam ditembak dan itu sudah pernah terjadi beberapa bulan lalu,”ujar Karta Patti.

Sementara itu Sahibu tokoh masyarakat Desa Pongkalaero, Kecamanatan Kabaena Selatan mengaku, kehadiran perusahaan tambang PT Anugrah Harisma Baraka sangat merugikan masyarakat setempat. Selain hutan disekitar perkampungan telah habis dibabat, sumber air bersih yang sering digunakan oleh warga juga ditutup oleh perusahaan karena masuk dalam Izin Usaha Pertambangan. “Kami harap agar Gubernur Sulawesi Tenggara mencabut izin Usaha Pertambangan yang dikeluarkan untuk perusahaan,”imbuhnya.

Terjadi persaingan antara kebutuhan air domestik, baik untuk rumah tangga dan industri dengan air untuk pertanian. Karena industri tambang lebih terorganisir dan dekat dengan Pemerintah, mereka dengan bebas menyadap air dari sumbernya yang selama ini dipakai petani. Lebih-lebih dengan pengertian air minum merupakan prioritas pertama. Prioritas yang sebenarnya harus diperlakukan hanya bila ada beberapa permintaan yang bersamaan maka permintaan untuk air minum yang didahulukan itupun juka air di sumbernya masih ada sisa yang tidak dibutuhkan bagi pengguna yang sudah ada.

Bahkan beberapa peraturan yang mendukung adanya swastanisasi air ternmaktub jelas dalam Pasal 45 UU No.7 yang berbunyi: ayait (1) pengusahaan sumber daya air diselenggarakan dengan memperhatikan fungsi sosial dan kelestarian lingkungan hidup, ayat (2) pengusahaan sumber daya air permukaan yang meliputi satu wilayah sungai hanya dapat dilaksanakan oleh badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah di bidang pengelolaan sumber daya air atau kerja sama antara badan usaha milik negara dengan badan usaha milik daerah, ayat (3) pengusahaan sumber daya air selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan oleh perseorangan, badan usaha, atau kerja sama antar badan usaha berdasarkan izin pengusahaan dari Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya, tidak mengemukakan kewajiban yang yang harus dipikul oleh mereka. Hal ini juga bertentangan dengan kepemilikan air yang berada di sumbernya yaitu merupaqkan hak publik. Hanya sisa air yang tidak digunakan oleh pengguna yang yang sudah ada, biasanya air banjir yang dapat ditampung oleh suatu badan usaha yang kemudian dapat mereka usahakan.

Pasal 46 yang berbunyi: ayat (1) pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya, mengatur dan menetapkan alokasi air pada sumber air untuk pengusahaan sumber daya air oleh badan usaha atau perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3), ayat (2) alokasi air untuk pengusahaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada rencana alokasi air yang ditetapkan dalam rencana pengelolaan sumber daya air wilayah sungai bersangkutan, ayat (3) alokasi air untuk pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam izin pengusahaan sumber daya air dari Pemerintah atau pemerintah daerah, ayat (4) dalam hal rencana pengelolaan sumber daya air belum ditetapkan, izin pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai ditetapkan berdasarkan alokasi air sementara, tidak jelas bagaimana alokasi ditetapkan , tidak jelas kedudukan perngguna yang telah ada terutama petani yang telah turun temurun menggunakan air untuk mata pencariannya, tidak jelas alokasi sementara yang dimaksuid, sehingga sewaktu-waktu bisa tersepak karena kekutan dan prioritas yang diberikan ke pengguna baru.

Termasuk bagaimana mengadakan konsultasi publik seperti dinyatakan dalam pasal 47 ayat yang berbunyi ( 4) Rencana pengusahaan sumber daya air dilakukan melalui konsultasi publik. Siapa yang dimaksud publik di sini tidak jelas, apakah cukup dengan memangundang beberapa LSM dan Dinas sudahdapat dikatakan konsultasi publik, siapa pula yang akan dianggap mewakili petani pada konsultasi publik. Bukankah ungkapan "water is everybody business" yang telah mendunia seharusnya menjadi pedoman bagi seluruh pihak dalam pengelolaan air.

Pengguna air di suatu sumber pasti ada urutan senioritasnya, yaitu berdasarkan sejarah mereka mulai mempergunakan air dari sumber tersebut, urutan yang seyogyanya menjadi dasar pemilikan hak guna, artinya siapa lebih dulu menggunakan dia yang mendapat prioritas pertama menggunakan air tanpa mengindahkan untuk apa penggunaan itu. Hak guna baru hanya dapat diberikan apabila masih ada sisa debit yang belum dikeluarkan hak gunanya. Kalau tidak pengguna baru hanya diberikan hak guna di musim hujan ketika air melimpah atau pengguna baru baik sendiri-sendiri maupun melaui kelompok mendirikan bendungan untuk menampung air lebih di musim hujan untuk digunakan pada musim kemarau.

Hak guna yang diperkenalkan Pemerintah di dalam UU No.7 akan mempengaruhi penggunaan air dari sumbernya, sayang UU tersebut tidak cukup menguraikan mekanisme pemberian Hak Guna yang dimaksud. Hampir semua sumber air terutama sungai meskipun tidak mengikuti suatu peranturan tertentu sudah habis teralokasi terutama pada musim kemarau.Tidak jelas bagaimana Pemerintah yang diberi hak untuk mengeluarkan Hak Guna akan mengatur pemberian hak tersebut yang sebenarnya sudah habis teralokasi.

Hak guna dari sumber alamiah harus dibedakan dengan hak guna di sumber air buatan, kalau air di sumber alamiah merupakan kurnia Tuhan adalah milik publik, di waduk air merupakan hasil usaha sehingga hak gunanya menjadi milik pembangun waduk atau bendungan. Hak guna yang dikeluarkan dari sumber alamiah harus ditukar dengan kewajiban, sebab tampa kewajiban dari mana Pemerintah menarik biaya pemeliharaan watershed dan biaya pengawasan kualitas air. Adanya kewajiban juga dapat dipakai sebagai bukti seseorang mempunyai hak.

                                                                        ***

Sejak lima tahun belakangan, Sulawesi Tenggara kebanjiran investor nikel. Namun, semuanya terkesan pengusaha kelas teri. Pasalnya, areal konsesi yang diminta kecil-kecil, dari 200 sampai 500 hektar. Bayangkan konsesi PT Inco (Kanada) di provinsi ini 63.000 hektar, PT Aneka Tambang Tbk (BUMN) 8.200 hektar, belum termasuk Pulau Bahubulu 17.000 hektar yang masih tahap eksplorasi.Namun, para pejabat setempat (baca: bupati dan kepala dinas pertambangan) menyambut para investor ini dengan segenap keramahtamahan. Mereka dianggap orang penting yang harus dijunjung tinggi. Maklum, para investor tampak sangat dermawan, bagai Santa Klaus di mata para pejabat tersebut.

Negosiasi untuk mendapatkan konsesi lahan nikel atau kuasa pertambangan (KP) dikondisikan agar dilakukan di Jakarta. Di kota inilah, seperti dituturkan Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Sultra Ir Muhammad Hakku Wahab dalam perjalanan bersama Gubernur Nur Alam dan Kompas di Kabaena (Kamis, 20 Maret 2008), para investor atau kacungnya menghambur umpan, mulai dari mobil mewah untuk dipakai selama ”dinas” di Jakarta, hotel mewah, wanita cantik, dan tentu saja uang.

Dalam suasana pertemanan ekstra akrab itu, KP nikel akhirnya lebih mudah diperoleh ketimbang membalikkan tangan. Tak heran jika lokasi KP di Sultra saat ini begitu menjamur di hampir semua 10 kabupaten dan dua kota.

Kabupaten Konawe Utara lebih mencolok. Di kabupaten baru itu terdapat lebih dari 100 KP. ”Lebih luas izin KP yang diterbitkan dari keseluruhan luas kabupaten itu sendiri,” kata Kepala Subdinas Pertambangan Umum Dinas Pertambangan dan Energi Sultra Burhanuddin.

Penerbitan KP/ IUP yang tak terkendali merupakan buah dari otonomi yang diberlakukan di kabupaten/kota. Dengan kewenangan yang luas, para kepala daerah bisa menjual potensi apa saja yang dimiliki daerahnya kendati dengan harga murah. Yang penting kegiatan itu menguntungkan pribadi, kelompok, dan bisa meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).

Gejala penyalahgunaan kewenangan sehingga lokasi KP nikel begitu menjamur dan tumpang tindih menarik perhatian Gubernur Nur Alam. ”Kami sedang kaji kemungkinan penertiban KP. Kalau perlu kami cabut izin-izin yang tak layak,” katanya.

Nur Alam yang menjabat Gubernur Sultra 18 Februari 2008 menyatakan sangat mendukung kegiatan investasi pertambangan nikel di daerahnya. Syaratnya ialah investor harus membangun pabrik pengolahan, bukan sekadar menggali lalu mengekspor tanah yang mengandung nikel.

Pembangunan industri akan lebih banyak menyerap tenaga kerja dan menciptakan pusat pertumbuhan baru di pedesaan penghasil nikel. Nur Alam juga menghendaki agar pihak investor melakukan reinvestasi di Sultra dari keuntungan yang diraup. Bila pembangunan industri dan reinvestasi tidak dilakukan investor, Sultra bakal mengalami malapetaka besar. ”Setelah investor pergi meninggalkan lahan rusak, tinggallah rakyat yang sengsara karena lahannya tak layak lagi ditanami,” katanya.
Apa yang dikhawatirkan Gubernur Alam mulai muncul dan terasa di Kabaena, pulau berpenduduk 23.639 jiwa di Kabupaten Bombana. Tidak tanggung-tanggung, pulau seluas 867,69 kilometer persegi itu telah dikapling menjadi 16 blok KP nikel.

Dua di antara pemilik KP itu, PT Billy Indonesia dan PT Argomorini, telah beroperasi mengeruk tanah pulau beralam pegunungan itu, lalu diangkut ke China. Warga setempat pun dibayang-bayangi penderitaan batin maupun fisik.

Warga Desa Dongkala di lokasi KP PT Billy, misalnya, kesulitan air minum selama tiga bulan pertama perusahaan itu beroperasi menggerus tanah nikel. Soalnya, lokasi penambangan terletak di kawasan hulu sumber air desa itu. ”Kami juga hanya menjadi penonton kegiatan menyendok lahan di desa kami,” tutur Habaruddin (42) di depan Gubernur Alam yang bertatap muka dengan warga sekitar penambangan nikel di Dongkala, Kabaena Timur, 20 Maret lalu.
Warga pesisir lebih terpukul sejak muncul kegiatan penambangan nikel bulan Desember 2007. Lokasi budidaya rumput laut dan kepiting milik mereka tertutup lumpur nikel.

Arifuddin (35), anggota kelompok pengelola budidaya rumput laut, tak mampu berkata-kata saat ditanya perihal usaha budidaya yang menjadi tumpuan harapan untuk menghidupi istri dan ketiga anaknya. Ia hanya memandang air laut berlumpur coklat kemerahan dengan tatapan kosong. Usaha pertambangan di mana pun selalu menyisakan masalah sosial dan lingkungan setelah kontrak berakhir dan investor pergi.

Untuk menanggulangi kerusakan lingkungan, misalnya, sesuai keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral 3 November 2000, investor diwajibkan menempatkan dana jaminan reklamasi pada bank pemerintah. Bila investor pergi dan tidak melakukan rehabilitasi terhadap lahan rusak bekas galian, pemerintah menggunakan dana itu bagi pelaksanaan rehabilitasi. Apakah ketentuan itu dipatuhi, Manajer Produksi PT Billy Slamet Mudjiono enggan berkomentar. Ia mengaku telah membangun cekdam untuk menahan erosi lumpur nikel.

Dalam Seminar Nasional & Workshop dengan tema benarkah tambang mensejahterakan digelar di Swissbel Hotel (24/6/11), kepada para peserta seminar Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam, menjelaskan, hadirnya perusahaan pertambangan yang mengelola kekayaan alam Sultra belum memberikan kesejahteraan buat rakyat Sultra itu semua akibat tidak terkelolanya pertambangan didaerah ini. Perusahaan tambang di Sulawesi Tenggara terindikasi belum sepenuhnya membangun infrastruktur seperti transportasi, irigasi, dan pembuangan limbah untuk kepentingan proses operasi produksinya. Karena itu menurut Gubernur sangat penting pengelolaan pertambangan yang tertatakelola dengan baik.
"Beberapa waktu lalu saya pernah Inspeksi mendadak di lokasi tambang dan apa yang terjadi di sana kerusakan lingkungan yang sangat parah tanpa ada revitalisasi lingkungan bahkan ada jembatan titian yang dioperasikan 9 perusahan tambang tanpa izin dari Menteri perhubungan. Kondisi seperti itu tentu sangat merugikan masyarakat, pemerintah dan negara," ungkap Nur Alam.
Ia memaparkan, bahwa, pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pertambangan di Sultra selain mengoptimalisasikan pengelolaan potensi tambang di Sultra agar bermanfaat bagi masyarakat luas juga untuk mendorong agar pelaku Pertambangan di Sulawesi Tenggara dapat sinergis dengan pembangunan berkelanjutan dengan menerapkan pengelolaan lingkungan hidup yang baik dan good pratice mining antara lain kegiatan pertambangan yang mentaati aturan yang berlaku, terencana dengan baik. Menerapkan teknologi yang sesuai berlandaskan pada evektivitas dan efisiensi, melaksanakan konservasi bahan galian serta mengendalikan dan memelihara fungsi lingkungan.
"Jika hasil-hasil tambang dioptimalkan maka akan membawa manfaat dengan target dan sasaran bisa dicapai seperti penurunan angka kemiskinan yang bisa mencapai 2,5 persen, penyerapan tenaga kerja bisa mencapai 1,5 juta penduduk, PDRB perkapita bisa mencapai Rp 57,9 juta dan perbaikan sarana infrastruktur jalan bisa mencapai 20 ribu kilometer serta sasaran pembangunan lainnya," tukas Gubernur saat menjadi pemateri seminar yang diselengarakan oleh Asosiasi Mikoriza Indonesia (AMI) cabang Sultra kerjasama Ikatan Alumni Universitas Haluoleo (Ika- Unhalu).
Seminar di hadiri oleh Staf Ahli Menteri Kehutanan Ir Soetrisno,MM. Seameo Biotrop Fahutan IPB Dr. Ir Irdika Mansur M.For.Sc Tatang Sabaruddin Direktur Pembinaan dan Program Minerba energi sumber daya mineral (ESDM) lingkungan hidup serta peserta seminar dari LSM lingkungan, BEM serta praktisi lingkungan dari berbagai perguruan tinggi di Sulawesi Tenggara.***


Share on Google Plus

About yoshasrul

    Blogger Comment
    Facebook Comment