Carut Marut Tambang Sultra dalam Catatan Jurnalis Lingkungan (Bagian 2)

Salah satu aktifitas pertambangan di Sulawesi Tenggara. foto: Yoshasrul

Amarah-Amarah yang Meledak

Kemarahan warga sudah diubun-ubun. Ibarat bisul matang akhirnya pecah juga. Inilah yang terjadi Selasa (12/3/2013) menjelang siang, sekelompok orang bergerak penuh kemarahan menuju areal tambang PT Jagad Rayatama di Kecamatan Palangga, Kabupaten Konawe Selatan. Jumlahnya puluhan orang. Mereka membawa aneka senjata tajam, parang, badik, busur  dan batu. Saat tiba mereka langsung menyebar diri menyasar orang-orang yang dicari. Salah satu menjadi sasaran adalah masjid milik perusahaan. Di sana  ada belas orang tengah beristarahat, dan sebagian bersiap shalat.

“Teman-teman kami tengah beristrahat di masjid, sebagai mereka melaksanakan shalat dan sebagian menunggu perwakilan massa melakukan pembahasan verifikasi tanah, tiba-tiba orang-orang itu datang. Tanpa tanya langsung menyerang,”kata Amirulah Polingai.

Amirulah Polingai sendiri menjadi salah satu perwakilan massa dan saat pertemuan berjalan penyerangan terjadi. Lurah Palangga yang menjadi saksi peristiwa membenarkan adanya penyerangan oleh kelompok Luter Manus, saat tengah membahas soal verifikasi lahan rumpun keluarga Polingai yang dihadiri aparat lurah dan kepolisian.

"Saat dilakukan verifikasi lahan, sejumlah orang datang melakukan penyerangan. Warga yang tengah beristrahat di masjid kaget dan melakukan perlawanan balik pada para penyerang,"kata Adi Yusuf Tamburaka, Lurah Palangga, yang saat kejadian ikut dalam tim verifikasi lahan. Adi Yusuf ditunjuk sebagai ketua tim verifikasi oleh perwakilan massa pemilik lahan dan disaksikan oleh Kapolres Konsel dan perusda serta PT Jagat Rayatama dalam kapasitasnya sebagai pemerintah. Ia menggantikkan Camat Palangga,Irwansyah Silondae yang memilih kabur tanpa alasan.

Dari arena pertemuan itu Amirulah Polingai mendapat bisikan dari rekannya jika sekelompok massa lain datang ke areal tambang. Merasa ada firasat buruk  Amirulah Polingai meninggalkan arena pertemuan dan bergegas ke masjid tempat rekan-rekannya berkumpul. Jarak masjid dan lokasi pertemuan tak seberapa jauh, membuat Amirulah Polingai dengan cepat tiba. “Saat tiba saya melihat kelompok massa berteriak-teriak. “Saya sempat bertanya, ini ada apa? Tapi belum selesai bicara batu sudah mendarat di kepala saya hingga berdarah,”kata Amirulah Polingai. Massa yang beringas melempari Amirulah Polingai Cs, dan menyerang dengan senjata tajam.

Akibatnya, perkelahian dengan menggunakan senjata tajam tidak dapat terhindarkan. Dari bentrok fisik itu, korban di kedua belah pihak pun berjatuhan. Korban luka masing-masing Luter terkena sabetan parang di bagian leher, perut dan punggung. Amirulah Polingai, terkena sabetan parang di bagian kepala dan juga ada Hery yang terkena lemparan batu dan sabetan parang.

Perkelahian tersebut baru teratasi setelah kehadiran aparat kepolisian, termasuk perwakilan dari kedua kelompok yang berselisih saling mengamankan.

Pertikaian dua kelompok warga yang menduduki lahan pertambangan PT Jagad Rayatama di Kecamatan Palangga, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara itu diakibatkan oleh saling klaim kepemilikan lahan antar dua kelompok tersebut.
Kapolres Konawe Selatan, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Anjar Wicaksana SIK mengungkapkan, bentrok fisik dengan menggunakan senjata tajam itu dipicu saling klaim kepemilikan lahan di lokasi lahan tambang di Kecamatan Palangga dan Palangga Selatan. Menurutnya, kelompok warga yang ribut itu antara lain rumpun Polingai, Ladika, Manus, Mujar, Porundu, Latoro, Ibrahim dengan beberapa warga yang didampingi lembaga swadaya masyarakat (LSM) Aliansi Masyarakat Palangga Menggungat.

"Yang bentrok adalah rumpun keluarga Manus yang didampingi LSM Aliansi Masyarakat Palangga Menggungat. Korbannya ada yang dirujuk di salah satu RS di Kendari, dan lainnya di RS kabupaten dan kecamatan," terang Anjar saat dihubungi, Selasa (12/3/2013).

Kronologi bentrokan dua kelompok warga tersebut, lanjut Kapolres Konawe Selatan, berawal ketika kelompok Manus hendak mengusir kelompok LSM pendamping. "Lantaran pengusiran itu tidak diterima baik oleh LSM pendamping, jadi bentrok pun terjadi. Polisi yang ada saat itu sempat melerai, tetapi massa lebih banyak," tuturnya.

Lanjut Kapolres, polisi sudah melakukan mediasi dengan mempertemukan dua kelompok yang bertikai dan melakukan verifikasi lahan. Namun ada satu kelompok sudah emosi karena mendengar informasi bahwa hanya ada beberapa kelompok yang telah diverifikasi, dan inilah yang memicu perkelahian. "Anggota sudah dikerahkan untuk melakukan pengamanan pasca-bentrok," ucapnya.

Dia menambahkan, untuk menjaga agar tidak terjadi konflik berkepanjangan, aparat kepolisian bersama pemerintah daerah, kecamatan, desa, BPN dan DPRD akan turun ke lokasi tempat Kejadian perkara. Di lokasi itu akan dilakukan pertemuan, termasuk verifikasi atas kepemilikan lahan.

Pasca-kejadian itu, saat ini polisi sementara melakukan penyelidikan, dan belum ada yang ditetapkan sebagai tersangka. "Pastinya polisi juga akan menyelidiki bentrok ini," katanya.

Selain itu, pihaknya juga menurunkan satu peleton Brimob, satu peleton Shabara dan personel lain dari Polres Konawe Selatan di lokasi kejadian. Hal itu dilakukan untuk mengantisipasi peristiwa bentrokan agar tidak terulang dan meluas ke wilayah lainnya.

Amirulah Polingai, korban penyerangan justeru menjadi tersangka.Inilah yang dialami Kunta CS. Saat berunjuk rasa dan sekaligus melapor korban  kunta justeru di tahan aparat Polda Sultra. Bersama Heri rekannya, Kunta dijebloskan ke sel tahanan polda dengan alasan  menyerang  Luter. Dua alat bukti dituduhkan pada Kunta, yakni berdasarkan pantauan CCTV dan  saksi-saksi. 

Namun menurut warga, pertikaian yang berujung bentrok ini tak lepas dari andil Camat Palangga Irwansyah Silondae. "Pemicu pertikaian ini muncul karena camat telah memberikan legitimasi  yang salah atas tanah. Jadi kalau ada pihak yang   paling bertanggung jawab atas seluruh rangkaian pertikaian di lahan tambang  ini maka dialah Camat Palangga,","kata Dedi.

Konflik tambang ini memang terbilang rumit. Dulunya sebagian besar tanah di Palangga hanya lahan kosong yang dipakai untuk berkebun dan menggembala ternak oleh beberapa rumpun keluarga termasuk rumpun Polingai. Tanah yang tandus sulit ditumbuhi pepohonan produktif, membuat warga tak betah. Mereka memilih berdiam ke tempat-tempat strategis, yang kemudian membentuk koloni pemukiman di pinggiran jalan induk kini. Warga tak pernah tau jika tanah moyang mereka menyimpan ‘harta karun’ besar berupa ore nikel.

Barulah sejak booming tambang di wilayah mereka, rumpun keluarga polingai mulai menggugat atas dasar klaim kepemilikan tanah leluhur.   Saling gugat pun terjadi antara perusahaan dan keluarga  polingai  dan setiap kali musyawarah selalu saja tidak menemukan kata sepakat soal pendapatan royalti.

Perusahaan mengklaim sudah mengakomodir seluruh rumpun keluarga di wilayah konsesinya, termasuk Tujuh  rumpun keluarga Polingai. Bahkan telah memberikan royalti sebesar 800 juta setiap kali pengapalan yang diserahkan kepada camat selaku pemerintah setempat untuk dibagikan kepada para pemilik lahan. Dan selama kurun setahun perusahaan PT Jagad Raya Tama telah melakukan pengiriman ore sebanyak 11 kali pengapalan dengan tujuan negeri tirai bambu Cina.

"Jika aktifitas kerja digenjot, setiap bulan perusahaan bisa dua kali pengapalan,"ujar seorang sumber resmi.  Andil camat palangga dan sejumlah birokrasi pemkab Konsel disebut-sebut berperan besar dalam ‘bagi-bagi’ royalti PT Jagad Rayatama ini. Terendus pula jika pembagian royalty yang diserahkan perusahaan melalui camat ini dianggap beraroma kurang sedap dan dapat dikategorikn sebagai gratifikasi tambang, dan belakangan sempat diributkan sejumlah pihak. 

Karena urung mendapat royalti pihak keluarga Polingai kembali menawarkan   agar perusahaan melakukan verifikasi  lahan. Namun tak digubris perusahaan. Warga pun mulai bertindak keras. Dengan menghunus berbagai jenis senjata tajam  rumpun keluarga Polingai di Kecamatan Palangga dan Palangga Selatan, Kabupaten Konawe Selatan  bersatu memblokir akses jalan tambang di sejumlah lokasi. Mereka juga tak segan memburu sejumlah kendaraan operasional perusahaan yang melakukan aktivitas produksi. Beberapa kendaraan yang mencoba memaksa melewati jalan produksi perusahaan  dilempari oleh warga. Akibatnya sejumlah karyawan dan kendaraan operasional memilih kabur dan menyelamatkan diri. Warga kemudian melakukan blokade akses keluar masuk perusahaan dengan menggunakan bongkahan batu dan balok kayu.

Sejumlah aparat kepolisian yang berada dilokasi kejadian tidak bisa berbuat banyak menghadapi aksi warga. Syamsuddin,  warga Palangga mengaku aksi dilakukan untuk menuntut pihak perusahaan PT Jagad Rayatama segera membayar kompensasi ganti rugi atas lahan warga yang dijadikan lokasi penambangan.

Untuk menghindari jatuhnya korban, pihak PT  Jagad Rayatama terpaksa menghentikan aktivitas panambangan nikel mereka dan dan memilih memulangkan karyawan lebih awal.  Seperti dijelaskan, Suparman, seorang karyawan PT Jagad Rayatama. Pihak perusahaan sendiri mengaku telah membayar biaya kompensasi atas lahan warga yang mereka eksploitasi kepada warga. Perihal dana kompensasi itu tidak sampai ke tangan warga pihak perusahaan mengaku tidak bertanggungjawab lagi. Pasalnya dana tersebut telah disalurkan melalui pemerintah setempat.

Tudingan keras dilayangkan Andre Darmawan, pengacara Aliansi Masyarakat Palangga Menggugat pasca bentrokan berdarah antara kelompok pemilik lahan. Perusahaan dituding berada di balik bentrokan yang memakan korban luka-luka Selasa lalu itu. Tudingan itu cukup beralasan, pasalnya Luther Manud, salah satu pelaku penyerangan diduga adalah karyawan PT Jagad Rayatama. “Perusahaan patut diduga berada di balik penyerangan Aliansi Masyarakat Palangga karena orang-orang perusahaan ada dalam kejadian itu,”tuding Andre Darmawan.

Kontan saja tudingan Andre Tersebut itu sempat ‘memerahkan telinga’ petinggi perusahaan. “Yang menyerang siapa? Kalau faktanya ada pertikaian karena murni rebutan lahan. lha apa kaitannya dengan perusahaan? Yang jelas Kami tidak pernah tau, kalau tujuh rumpun itu akan datang ke lokasi melakukan penyerangan, artinya peristiwa di luar pengetahuan perusahaan. Sekali lagi kami tidak tahu menahu tindakan tujuh rumpun. Dan kami sangat menyesalkan peristiwa itu,”tega Joni Asmoko kuasa hukum PT Jagad Rayatama saat dihubungi media Kendari Expres. Pihak perusahaan mengaku sangat prihatin dengan kejadian itu dan itu di luar dari perkiraan. Selama ini perusaahaan sudah mengakomodir semua kepentingan yang fasilitasi oleh camat dan asisten satu Konsel.

Bagi perusahaan yang penting semua pihak terutama rumpun pemilik lahan bisa mmenunjukkan identitas status tanah itu tidak masalah. LagI pula tahapan verifikasi soal status tanah sudah dilakukan Pemda setempat.
Dugaan gratifikasi tambang yang dilakukan Camat Palangga dan PT Jagat Rayatama masuk ke ranah politik dewan. DPRD Konsel langsung menggelar rapat denga pendapat terkait dua poin tuntutan Aliansi Masyarakat Palangga Menggugat, yakni, pembagian konpensasi tambang dengan kehadiran PT Jagad rayatama dalam berinvestasi di wilayah kecamatan.

Dugaan adanya gratifikasi dalam pengelolaan tambang di wilayah palangga dan palangga selatan. Rapat yang dihadiri Ketua DPRD Konsel, Anshari taawulo dan sejumlah anggota dewan masing-masing dari komisi I dan Komisi III dihadiri Sekda Konsel, Kabag Pertambangan,  kepala BLH, Kepala KSDA, Kades Watumerembe dan Kades Kiaea.

Dari pertemuan itu, DPRD akhirnya sepakat membentuk panitia khusus terkait dugaan gratifikasi tambang yang dilakukan Camat Palangga dan PT Jagat Rayatama. Dan menedesak pemda segera membentuk tim terpadu untuk melakukan klarifikasi dan verifikasi lahan di wilayah IUP PT Jagad Rayatama terkait kepemilikan lahan. DPRD juga meminta pemda Konsel agar menghentikan sementara seluruh kegiatan di areal tanah sengketa seluas 400 H demi kenyamanan kegiatan usaha PT Jagad Rayatama.

Jauh sebelumnya di tahun 2011, perlawanan masyarakat Palangga dan Tinanggea, Konawe Selatan yang memprotes kehadiran tambang menjadi topik paling hangat di media massa local kala itu. Masyarakat menyandera dan melawan tirani perusahaan PT Ifishdeco, sebuah perusahaan yang 15 tahun menguasai tanah-tanah leluhur masyarakat lalonggasu. Perlawanan yang tidak didukung pemerintah ini bahkan berbuah intimidasi dari alat-alat Negara seperti polisi dan TNI yang membekap perusahaan atas nama investasi. Sejarah panjang dari peelawanan masyarakat yang menganggap tanah-tanah yang dikuasai perusahaan tersebut adalah tanah adat yang telah turun temurun dijaga dan dirawat masyarakat. Namun Tirani kekuasaan pemerintah kabupaten merebut hak-hak masyarakat di sana.

Kondisi yang kurang lebih sama terjadi di Kabupaten Bombana. Wilayah kekuasaan kerajaan moronene yang diakui Negara bertahun-tahun menjadi pertikaian berdarah antara masyarakat ada dan perusahaan tambang, meski akhirnya masyarakat dipecah belah dengan dan harus takluk dengan para pemodal yang datang dengan iming-iming pembagian hasil besar antara perusahaan  dan masyarakat pemilik tanah.

Di pulau kabaena, tepatnya di Desa Pongkalaero, tanah mokole yang membujur hingga ke perbatasan wilayah talaga  Buton menjadi konflik serius antara perusahaan dan masyarakat adat setempat. Bukti berupa tanaman jangka panjang seperti kelapa dan sejumlah kuburan tidak berarti apa-apa bagi pemerintah dan perusahaan. Masyarakat adat diperhadapkan dengan hukum Negara yang formil. Tanah dan air yang menjadi tumpuan harapan masyarakat  adat dirampas dan terusir dari tanah-tanah leluhur mereka karena takut ancaman moncong senjata.

Masyarakat adat adalah salah satu kelompok utama penduduk negeri ini, baik dari jumlah populasi, yang saat diperkirakan antara 50 – 70 juta orang, maupun nilai kerugian materil dan spritual atas penerapan politik pembangunan yang selama lebih dari tiga dasawarsa terakhir. Penindasan terhadap masyarakat adat ini terjadi baik di bidang ekonomi, politik, hukum, maupun di bidang sosial dan budaya lainnya. Kondisi ini menjadi demikian ironis karena pada kenyataannya masyarakat adat merupakan elemen utama dalam struktur negara–bangsa (nation-state) Indonesia. Namun dalam hampir semua keputusan politik nasional, eksistensi komunitas-komunitas adat ini belum terakomodasikan, atau bahkan secara sistematis disingkirkan. Dengan berbagai kebijakan dan produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah, negara secara tidak adil dan tidak demokratis telah mengambil-alih hak asal usul, hak atas wilayah adat, hak untuk menegakkan sistem nilai, ideologi dan adat istiadat, hak ekonomi, dan hak politik masyarakat adat. Kedaulatan negara ditegakkan secara represif dengan mengabaikan kedaulatan masyarakat adat untuk mengatur dan mengembangkan kemandirian kultural dan politik di dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bombana merupakan surga bagi investor pertambangan. Daerah yang diperut buminya mengandung mineral yang melimpah ruah, tapi sangat sedikit dinikmati oleh masyarakat local. Sebagian besar penduduk asli moronene sama sekali hanya menjadi penonton di negerinya sendiri. Klaim tanah adat mereka pun tergusur dengan kehadiran orang-orang pendatang  dan para orang-orang berduit.

Di sejarahnya, orang moronene merupakan salah satu penduduk asli yang pertama mendiami daratan Sulawesi tenggara, disamping orang tolaki. Moronene diambil dari lima nama jenis tumbuhan yang menyerupai pohon resam, dengan cirri-ciri, kulit batangnya dapat dikupas dan dijadikan tali, daunnya digunakan sebagai pembungkus nasi, atau  sejenis kue yang disebut lemper.

Secara etimologis istilah moronene terdiri dari dua suku kata yakni moro dan nene. Moro artinya serupa atau mirip, sedangkan nene berarti pohon resam. Dengan demikian moronene berarti sejenis pohon resam. Sebagaimana pohon resam biasa hidup mengeelompok di daerah subur, sedangkan dilembah atau dipinggiran sungai yang kaya akan sumber air, demikian penggunaan nama moronene melambangkan peradaban leluhur moronene yang hidup mengelompok sebagai peramu, pemburu dan petani di daerah-daerah subur dan aman dari gangguan musuh.

Dilihat dari ciri-ciri fisiknya, suku moronene dapat diidentifikasi sebagai suku bangsa yang tergolong dalam rumpun melayu tua, yang datang dari hindia belakang pada jaman prasejarah atau pada jaman batu muda kira-kira 2000 sebelum masehi.

Dewasa ini orang moronene tinggal menyebar disebagian wilayahTinanggea di kabupaten Konawe selatan hingga watubangga di kabupaten kolaka, dengan batas mulai dari pu’u olo (pantai sebelah timur) sampai ke pantai sebelah barat (teluk bone), yaitu dari watubangga  yang terletak di sebelah utara sungai Toari hingga sungai oko oko (daerah tangketada). Dalam kawasan inilah yang menjadi wilayah ulayat orang moroneene. Secara administrative pemukiman orang moronene menyebar di tujuh wilayah kecamatan, yakni  enam kecamatan di wilayah kabupaten buton, dan satu kecamatan di wilayah Kabupaten Kolaka. Keenam kecamatan dimaksud adalah; kecamatan kabaena dengan ibukota teomokole, kecamatan kabaena timur dengan ibukota dongkala, kecamatan rumbia di kasipute, kecamatan polea dengan ibukota boepinang, kecamatan poleng timur dengan ibukota bambaea, kecamatan rarowatu di lora dan watubangga di watubangga.

Ke tujuh kecamatan tersebut dahulu merupakan  wilayah kerajaan  moronene yang luasnya mencapai 3.303,67 KM2. Di wilayah tersebut sekarang terdapat 64 buah desa, 10 kelurahan dan 2 perkampungan (Laea Hukaea).

Dalam kepustakaan antropologi, sebagaimana ditulis Sarlan Adi Jaya, seorang dosen antropologi Universitas Haluoleo,  penduduk asli adalah orang yang secara turun temurun, dari generasi ke generasi tingga di dalam atau di sekitar  suatu kawasan hutan dan memanfaatkan kawasan serta sumber daya hutan tersebut secara tradisional. Salah satu criteria yang paling penting dalam pembuktian hubungan antara penduduk asli dan kawasan hutan yang menjadi tempat tinggal dan usahanya adalah “historical claim”, yakni klaim atas daerah-daerah yang dikuasai dan dimanfaatkan secara turun temurun. Klaim tersebut menuntut  penelusuran secjarah kawasan maupun sejarah kelompok penduduk asli tersebut. Penelusuran sejarah kawasan hutan dan penduduk asli akan memberikan bukti keabsahan klaim penduduk asli terhadap suatu kawasan hutan. Yang dimaksud penelusuran sejarah adalah pengelolaan dan pemanfaatan kawasan oleh penduduk asli yang didukung oleh bukti, baik bukti alam maupun bukti buatan.

Maria sumarjono (1999 dalam sirait, dkk, 2000) mengemukakan bahwa criteria penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat dihubungkan dengan keberadaan penduduk asli tersebut  adalah: adanya masyarakat hokum adat yang memenuhi cirri-ciri tertentu sebagai hak ulayat, adanya tanah/ wilayah  dengan batas-batas tertentu sebagai liebenstraum (ruang hidup) yang merupakan obyek hak ulayat dan adanya kewenangan masyarakat hokum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang berhubungan dengan tanah, sumber daya alam lain serta perbuatan-perbuatan hokum.

         
Dengan adanya criteria tersebut, pembuktian terhadap kebenaran klaim penduduk asli terhadap suatu kawasan hutan tidak hanya ditentukan oleh ada tidaknya pemukiman penduduk asli di dalam kawasan hutan yang diklaim melainkan ditentukan oleh bukti-bukti seperti kuburan dan tanaman. Kuburan membuktikan perna ada pemukiman di kawasan tersebut. Tanaman hasil budidaya menjadi bukti yang mendukung riwayat pemanfaatan lahan.

Walaupun kawasan perkampungan tersebut tekah lama ditinggalkan, hak sebagai penduduk asli tidak dengan sendirinya hilang tetapi tetap  melekat. Jadi meskipun mereka tidak lagi tinggal di dalam kawasan tersebut  tetapi  masih melanjutkan usahannya di sana , hak tersebut tetap ada. Bila kawasan tersebut lama ditinggalkan oleh penduduk asli, yang penting masih terdapat tanda-tanda alam maupun buatan yang menunjukkan bahwa di kawasan tersebut pernah dimanfaatkan penduduk asli. Dalam kasus orang moronene punya tanda, kalau ternyata mereka meninggalkan kawasan tersebut, itu soal lain seperti dijelaskan sebelumnya. 

Dengan mencermati argumentasi  teoritis tersebut, naka telah cukup jelas status orang moronene sebagai penduduk asli dan klaim mereka atas kawasan dan sumber daya alam. Walaupun dalam catatan  sejarah orang moronene di laea huaea telah beberapa kali meninggalkan kawasan perkampungan mereka. Sedangkan gugatan dan keraguan yang datang dari berbagai pihak, khususnya pemerintah daerah merupakan sesuatu yang tidak beralasan dan tidak memiliki dasar argumentasi yang mendasar.
Penegasan hak-hak penduduk asli orang moronene atas kawasan dan sumber daya alam, dengan demikian mengandung maksud tertentu “invesible hand”. Tindakan pengusiran secara paksa yang teklah dilakukan 2 kali operasi yang diberinama sapu jagat dan sekali operasi tanpa nama—tanpa alaasan yang jelas dan mengindahkan kaidah-kaidah hokum nasional dan internasional, semakin membuktikan bahwa anggaapan di atas memang benar adanya.
Di bidang ekonomi ditemukan berbagai kebijakan dan hukum yang secara sepihak pemerintah menetapkan alokasi dan pengelolaan sumberdaya alam yang sebagian besar berada di dalam wilayah-wilayah adat. Berbagai peraturan perundangan sektoral dikeluarkan oleh Rejim Otoriter-Militeristik Soeharto, termasuk di dalamnya UU Pertambangan, sebagai instrumen utama untuk mengambil-alih sumber-sumber ekonomi yang dikuasai masyarakat adat. Dengan menggunakan UU Pertambangan ini juga, kemudian pengusahaan atas wilayah-wilayah yang berpotensi untuk eksploitasi pertambangan diserahkan secara kolusif dan nepotistik kepada perusahaan-perusahaan swasta nasional yang dimiliki oleh segelintir elit politik dan kroni-kroninya dan swasta asing yang berhasil membangun akses dengan para elit politik, khususnya Presiden .
Politik sumberdaya alam yang sentralistik, bertumpu pada pemerintah, represif dan sangat tidak adil ini, telah menimbulkan konflik atas sumberdaya alam berdimensi kekerasan antara masyarakat adat dengan penyelenggara negara dan pemilik modal yang melibatkan aparat pertahanan dan keamanan. Dari konflik vertikal seperti ini tercatat banyak pelanggaran hak azasi manusia dialami oleh penggiat dan pejuang penegakan hak-hak masyarakat adat. Setiap aksi protes dari yang paling damai sekali pun seperti mengirim surat protes ke pemerintah sampai aksi duduk damai dan pengambil-alihan “base camp” sampai penyanderaan alat-alat berat perusahaan yang mengeksploitasi sumberdaya alam dan merusak ekosistem yang menghidupi mereka selalu berujung pada tuduhan anti-pembangunan dan kriminalisasi.
Pengalaman penderitaan masyarakat adat telah menimbulkan kesadaran baru bahwa kebijakan pembangunan dan hukum yang diproduksi oleh negara selama lebih dari 30 tahun terakhir sama sekali tidak untuk melindungi masyarakat adat, tetapi hanya untuk mengabdi kepada kepentingan kekuasaan elit politik dan para pemilik modal. Di sini sangat jelas ada 2 sumber ketidak-adilan hukum dan kebijakan pembangunan terhadap masyarakat adat. Pertama, kebijakan-kebijakan pembangunan dan produk hukum yang mengawalnya sudah bias dengan semangat penyeragaman, bias formalitas, dan bias hukum positif, yang secara kultural tidak berakar pada prinsip-prinsip hukum sebagaimana yang dikenal dalam beragam sistem sosial-budaya masyarakat adat yang tersebar di seluruh pelosok nusantara. Ke dua, berbagai produk hukum yang mengatur atau berhubungan dengan hak-hak masyarakat adat dibuat saling kontradiktif satu sama lain, atau dibuat mengambang (tidak jelas), sehingga tidak memungkinkan adanya kepastian hukum yang bisa memberikan pengakuan dan perlindungan atas hak-hak masyarakat adat. Dengan kondisi ketidak-pastian hukum ini, elit kekuasaan bisa melakukan intervensi kekuasaan terhadap proses-proses hukum apabila proses-proses ini dianggap mengganggu kepentingan dirinya dan kroni-kroninya.
Pengembalian kedaulatan masyarakat adat sebagai persekutuan politik untuk mengatur kehidupan sosial-ekonomi, hukum dan budayanya, termasuk kedaulatan atas penguasaan dan pengelolaan tanah, kekayaan alam dan sumber-sumber penghidupan lainnya. Untuk menjamin hal ini maka AMAN akan memperjuangkan adanya undang-undang yang mengatur tentang kedudukan hak politik, hukum dan sosial-budaya dari masyarakat adat.
 Berbagai undang-undang yang mengingkari kedaulatan masyarakat adat harus dicabut atau diubah. Konsep Hak Menguasai Negara, termasuk yang melandasi UU No. 11/1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan, harus ditinjau ulang berdasarkan pengakuan sepenuhnya atas kedaulatan masyarakat adat. Pengakuan sepenuhnya atas kedaulatan masyarakat adat atas sumberdaya alam harus dijamin dan dilindungi dalam undang-undang yang baru. Dalam proses pembuatan Undang-undang tersebut, masyarakat adat harus mendapat jaminan sepenuhnya sebagai salah satu hak warga negara untuk berpartisipasi.
Perundingan ulang atas penggunaan tanah dan kekayaan alam yang berdasarkan hak asal-usul/hak tradisional yang dijamin oleh UUD 1945 dan amandemennya3 merupakan “kepunyaan” masyarakat adat (lebih tepatnya dikuasai secara turun-temurun oleh masyarakat adat sebagai hak asal usul/hak tradisional) yang selama ini “dipakai” untuk berbagai proyek-proyek pemerintah dan pengusaha, termasuk diantaranya proyekpertambangan. Berbagai rencana proyek baru di dalam/di atas tanah dengan menggunakan kekayaan alam masyarakat adat harus didasari atas perundingan bersama masyarakat adat yang menguasainya dan dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat adat.
Para pemegang kekuasaan Negara, baik pihak legislatif, eksekutif dan yudikatif, wajib membuat suatu penyelesaian yang arif dan bijaksana dalam rangka menghormati hak menentukan nasib sendiri bagi komunitas-komunitas masyarakat adat di dalam negara Republik Indonesia. Negara wajib melakukan rehabilitasi atas kedaulatan dan hak-hak masyarakat adat yang selama ini telah dilanggar.
Pengalaman lainnya yang juga menyedihkan bagi masyarakat adat adalah bahwa program comunity development ini justru digunakan oleh perusahaan pertambangan untuk memecah-belah masyarakat, khususnya antara masyarakat adat dengan penduduk pendatang yang berdomisili sementara. Dalam hal ini sasaran program comunity development tidak membedakan antara masyarakat adat yang memiliki wilayah adat secara turun-temurun dengan penduduk pendatang yang tidak memiliki hak adat/hak asal-usul. Dengan pendekatan yang seperti ini masyarakat adat merasa diperlakukan tidak adil. Sementara penduduk pendatang ini justru sangat mendukung comunity development karena tidak merasa memiliki atas wilayah operasi tambang, bahkan sebagian di antara mereka hanya berdomisili sementara.
Politik pecah-belah ini secara langsung mempengaruhi perjuangan masyarakat adat untuk menegakkan hak-haknya atas tanah adat karena masyarakat adat justru dihadapkan dengan penduduk pendatang yang mendapat keuntungan dari program comunity development perusahaan tambang. Dalam kondisi masyarakat adat sudah dihadapkan dengan penduduk pendatang maka biasanya masyarakat adat akan sangat hati-hati karena bisa berakibat fatal kepada kedua belah pihak. Tetapi kalau cara-cara seperti ini diteruskan maka kesabaran masyarakat adat juga akan sulit dikendalikan dan bisa menimbulkan konflik horisontal yang akan sulit diselesaikan dan akan membawa kerugian bagi semua pihak dalam jangka panjang.
Hal aneh lainnya yang juga dipantau oleh masyarakat adat dalam pelaksanaan program comunity development adalah adanya pengeluaran yang cukup besar dari dana comunity development ini sebagai sumbangan kepada berbagai organisasi kemasyarakatan pemuda (OKP) yang tidak ada hubungannya dengan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan dan juga tidak menjadi penerima dampak negatif kerusakan lingkungan. Dalam beberapa kejadian, OKP-OKP yang mendapat sumbangan dari perusahaan ini sering muncul mengintimidasi masyarakat adat yang menuntut hak-haknya kepada perusahaan.
Kewajiban program comunity development bagi perusahaan pertambangan ini juga telah membuka peluang bagi munculnya banyak LSM calo yang senang mengatas-namakan masyarakat adat untuk bisa mendapatkan dana dari perusahaan. LSM-LSM seperti ini banyak diantaranya yang tidak dikenal dan tidak dipercaya oleh masyarakat adat. Dalam beberapa kasus, walaupun LSM-LSM seperti ini ditolak oleh masyarakat adat, tetapi perusahaan-perusahaan pertambangan sangat senang memeliharanya karena sangat berguna untuk tujuan “menghijaukan” perusahaan. Ironisnya, sementara kemiskinan dan ketertindasan masyarakat adat yang menjadi korban pertambangan terus berlangsung, kemewahan dan keangkuhan justru dipertontokan oleh pekerja LSM-LSM seperti ini yang membuat masyarakat adat semakin terpojok.
Dengan pengalaman-pengalaman seperti ini maka kehadiran program comunity development di tengah-tengah masyarakat adat justru malah memperparah penindasan bagi masyarakat adat. Hal ini juga membuktikan bahwa pada umumnya perusahaan-perusahaan pertambangan belum menunjukkan penghormatan terhadap masyarakat adat sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 dan TAP MPR IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam.
Proses mendapatkan pengakuan dan perlindungan hukum secara nasional terhadap hak-hak masyarakat adat atas sumberdaya mineral membutuhkan waktu yang panjang. Oleh karena itu Pemerintah Daerah Kabupaten perlu mengembangkan instrumen-instrumen baru untuk melindungi hak-hak dan kepentingan masyarakat adat di daerahnya, salah satunya dengan mewajibkan perusahaan-perusahaan pertambangan yang sudah beroperasi selama ini (berdasarkan ijin dari pemerintah pusat) untuk berunding dengan masyarakat adat secara langsung mencari formulasi baru kemitraan, antara lain yang penting: menata ulang alokasi lahan-lahan di dalam wilayah adat yang boleh dan yang tidak boleh ditambang (baik karena pertimbangan kultural/religius maupun ekologis), rehabilitasi kerusakan lingkungan dan pampasan atas penindasan yang dialami masyarakat adat selama ini, pembagian keuntungan adil atas produksi pertambangan  (bisa berupa alokasi saham sesuai dengan potensi bahan tambang, bagi hasil, royalty.
Bagi perusahaan-perusahaan baru pemeritah diwajibkan melaksanakan prinsip “prior informed consent”, artinya perusahaan harus memberi informasi selengkap-lengkapnya baik tentang perusahaannya maupun rencana usaha pertambangan kepada masyarakat adat untuk mendapatkan persetujuan dan merundingkan kesepakatan-kesepakatan kerjasama, antara lain yang terpenting: menentukan alokasi lahan-lahan di dalam wilayah adat yang boleh dan yang tidak boleh ditambang (baik karena pertimbangan kultural/religius maupun ekologis), pembagian keuntungan yang adil atas produksi pertambangan (bisa berupa alokasi saham sesuai dengan potensi bahan tambang, bagi hasil berdasarkan volume produksi maupun nilai jual, royalti.
                                   
Share on Google Plus

About yoshasrul

    Blogger Comment
    Facebook Comment