Salah satu sudut Kota Kendari di kawasan kota lama. foto: Yoshasrul/sultranews.com |
Penamaan Kendari Sebuah Pelurusan Sejarah
Selama ini
historiografi Kendari menjadi perdebatan. Salah satunya terutama masalah
penamaan Kendari, dan parahnya lagi seakan-akan penamaan Kendari terkesan
mitologis dan melegenda. Hal ini disebabkan konstruksi yang dibangun tidak
menggunakan sumber-sumber primer.
Dalam tulisan Sejarah Kota Kendari yang
dikarang oleh Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M.Pd, (beliau S1 pend.Sejarah, S2 dan S3 jurusan pendidikan luar sekolah),
disebutkan bahwa nama Kandari telah ditemukan dalam tahun 1926, kemudian dalam
kata pengantar Wali Kota dan Ketua DPR pada saat itu memperkuat pendapat
mereka, dan yang memberi nama adalah orang-orang Belanda. (Lihat Sejarah Kota
Kendari, Bandung: Humaniora, tahun 2006 hlm. 30). Maupun karya-karya seperti
Prof. Dr. Abdurrauf Tarimana, dan Prof. Dr. Rustam Tamburaka).
Menulis sejarah
bukan masalah guru besar tetapi harus dibekali dengan metodologi sejarah,
filsafat sejarah, dan terutama kemampuan membaca sumber-sumber sejarah
berkaitan dengan language sources terutama Bahasa Belanda. Evidensi ini merupakan kesalahan fatal dan
menyesatkan. Beberapa tulisan tersebut di atas sifatnya melegenda, dan
anakronisme tidak berdasarkan urut-urutan waktu.
Setiap generasi
dapat menuliskan sejarahnya, karena sejarah adalah dialog tanpa akhir. Sejarah
bisa ditulis ulang jika seorang sejarawan menemukan fakta baru berupa
sumber-sumber baru atau interpretasi baru. Mereka harus siap dikritik karena
itulah ciri orang ilmiah bersifat terbuka, dan ilmu bersifat relativitas atau
memiliki keterbatasan.
Berikut sejarah
penamaan Kandari atau Kendari diberikan oleh orang-orang Portugis dan sudah ada
sejak abad ke-16. Sumber yang menjelaskan hal tersebut berasal dari laporan
Controleur Kendari bernama L. Fontjine
dalam tulisannya berjudul “Adatstaatsinstellingen van Indonesische
Rechtgemeenschappen” bahwa penyebutan istilah Raja, Hadat, dan Laiwui
sebenarnya bukan berasal dari daerah ini dan pada masa itu tidak terdapat istilah-istilah
ini. Hal ini menjadi jelas bahwa istilah ini diperkenalkan dan dipergunakan
oleh wakil pemerintah Hindia Belanda.
Nama Laiwui menjadi muncul disini oleh
karena menurut sebuah cerita berasal dari ketidaktahuan orang-orang Portugis
dan penduduk pribumi. Pada saat itu orang Portugis menanyakan nama daratan ini
kepada penduduk dan penduduk mengira bahwa orang Portugis menanyakan dimanakah
terdapat air minum?-maka dijawab dengan “Laiwui” yang berarti “banyak terdapat air”.
Sejak
itulah maka daratan ini oleh orang-orang asing disebut dengan nama Laiwui.
Lihat juga tulisan J. Paulus “Encyclopaedie van Nederlandsch Indie, Leiden:
Martinus Nijhoff, 1917, menjelaskan tentang nama Laiwoi dan Kendari. Fakta ini
diperkuat bukti dalam tulisan Jasper dalam laporan perjalanannya dari teluk
Kendari ke teluk Lasolo tahun 1926.
Pada permulaan
abad ke-15 pada saat bangsa Portugis berlayar kearah timur mencari
kepulauan Maluku yang terkenal dengan
rempah-rempahnya, mereka singgah di teluk Kendari tersebut. Pada saat
perlawatannya ke daerah ini mereka bertemu orang yang membawa rakit yang
terbuat dari bambu dengan menggunakan dayung panjang. Orang Portugis tersebut
segera mendekati simpembawa rakit, kemudian menanyakan nama kampung yang mereka
singgahi. Orang yang ditanya tersebut mengira bahwa portugis itu menanyakan apa
yang sementara dikerjakannya, sehingga langsung dijawab Kandai yang artinya
dayung atau (mekandai) mendayung.
Jawaban orang tersebut dicatat oleh orang Portugis sebagai pertanda bahwa
kampung yang mereka masuki itu bernama Kandari. Akhirnya nama Kandai menjadi
Kendari akibat penulisan. Sebagai contoh nama Mekongga dalam naskah Lagaligo
disebut Mengkoka sedangkan dalam naskah lontarak Luwu disebutkan Mingkoka, dan
dalam beberapa tulisan maupun laporan Belanda, Jerman menuliskan dengan nama
Mingkoka, Bangkoka, Bingkoka. (Lihat Basrin Melamba, Kota pelabuhan Kolaka di
Kawasan Teluk Bone,1906-1942, 2010). Bandingkan dengan penulisan nama Magelang,
Surabaya, Pontianak, Pekalongan, Buton, dan beberapa nama kota lama di
nusantara.
Dalam peta VOC
daerah ini sudah dikenal sebagai daerah Laiwoi. Pasca penandatangan Perjanjian
Bongaya, pada abad ke-17 dan 18, daerah ini sudah disebutkan Laiwui dengan
kedudukanya di Kendari sebagai Vassal of Luwu atau dicaplok oleh Luwu sebagai
bagian dari kekuasaannya. (Lihat Jan M. Pluvier, Historical Atlas of South-East
Asia, E. J. Brill, Leiden-New York-Koln, 1995), tetapi dalam kenyataannya Luwu
tidak secara utuh menguasai daerah ini, meskipun dalam sejarah Konawe diakui bahwa
Luwu pernah melaksanakan ekspedisi ke daerah ini pada masa pemerintahan Mokole
Lakidende bergelar Sangia Ngginoburu abad ke-17.(lihat Baden, 1925)
Basrin Melamba, M. A.
(email/fb: melambabasrin@yahoo. com)
HP. 081229452311
Penulis
adalah Alumni Departement History,
Culture Science Faculty Gadjah Mada University. Dan pengurus DPP Lembaga Adat
Tolaki (LAT).
Blogger Comment
Facebook Comment