Seorang perajin di Dewan Kerajinan Nasional Daerah Sulawesi Tenggara mengerjakan kerajinan perak khas Kota Kendari yang dikenal sebagai Kendari Werk. Kerajinan asli ibu kota Sulawesi Tenggara ini sudah langka ditemukan di tanah kelahirannya. Foto : Kompas/Mohamad Final Daeng |
Satipa sedang mengerjakan kerajinan legendaris dari Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra), yang dikenal dengan sebutan ”Kendari Werk”. Motif kerajinan perak yang lahir pada awal abad ke-20 itu sudah sejak lama sohor akan keindahannya. Namanya menjadi jaminan karya bermutu tinggi.
Kendari Werk, atau yang berarti ”karya Kendari” dalam bahasa Belanda, merupakan salah satu jenis kerajinan perak dengan teknik filigree, metode yang jarang ditemui di sentra kerajinan perak lainnya di Tanah Air.
Teknik tersebut merangkaikan benang perak halus ke dalam kerangka atau bingkai yang juga berbahan perak. Benang dibentuk sesuai motif yang diinginkan sehingga menghasilkan kerawang yang halus, detail, dan rumit.
Salah satu keistimewaan Kendari Werk adalah dibuat dengan komposisi perak yang tinggi, minimal 97 persen. Sisanya adalah bahan lain seperti kuningan atau tembaga yang digunakan hanya untuk mematri.
Lahirlah produk aksesori berupa bros, cincin, kalung, gelang, anting, giwang, dan perhiasan lain untuk perempuan. Bisa pula berupa barang dekorasi, seperti miniatur perahu, rumah adat, hewan, dan barang fungsional seperti nampan kue.
Proses pembuatan, mulai dari pengerjaan batangan perak hingga pemolesan akhir, pun masih murni mengandalkan keterampilan tangan perajin dengan hanya dibantu peralatan manual. Sama sekali tidak ada sentuhan mesin serba otomatis.
Ironisnya, selama puluhan tahun terakhir, kerajinan asli ibu kota Sultra itu justru lebih berkembang di luar daerah, terutama di Makassar, Sulawesi Selatan. Meskipun demikian, nama Kendari Werk yang telah kondang tetap disandang.
Di tanah kelahirannya, kerajinan ini sudah sulit sekali ditemukan. Untunglah masih ada yang rutin memproduksi dan memasarkan kerajinan itu, yakni Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Sultra.
Satipa adalah salah satu dari 15 perajin Kendari Werk yang dipekerjakan di Dekranasda Sultra. Ia menekuni pekerjaan ini sejak 22 tahun lalu. ”Menjadi perajin perak butuh kesabaran, ketekunan, dan ketelitian tinggi,” ujarnya saat ditemui di bengkel kerja Dekranasda Sultra beberapa waktu lalu.
Bros berbentuk daun yang tadi ia kerjakan, misalnya, menuntut seluruh sifat tersebut. Benang perak setipis rambut itu harus disusun rapi sesuai motif di dalam kerangka kecil. ”Mesti berhati-hati saat mengisi benang ke dalam kerangka. Salah sedikit bisa terbongkar dan harus mulai dari awal lagi,” ujar Satipa.
Sejarah Kendari Werk bermula dari kreasi seorang perajin perhiasan keturunan Tionghoa bernama Djie A Woi. Ia terinspirasi menciptakan model perhiasan dengan pola benang-benang rumit dan detail setelah melihat laba-laba yang membuat sarang. Bentuk sarang laba-laba itu lalu diterapkan menjadi motif perhiasan perak buatannya.
Tidak diketahui kapan persisnya Djie memulai kerajinan ini. Namun, dari buku Sejarah Kota Kendari karangan Anwar Hafid dan Misran Jafar (2007), disebutkan Kendari Werk berkembang tahun 1920.
Pada 1926, Pemerintah Hindia Belanda mengirimkan contoh karya Djie ke jaarbeurs (pameran) di Amsterdam dan meraih penghargaan. Dari situlah reputasi Kendari Werk sebagai kerajinan berkualitas tinggi mencuat dan kemudian banyak diekspor ke Eropa dan Australia.
Kamal Tandra (72), salah satu murid Djie yang memiliki toko emas dan perak Diamond di Kendari, mengatakan, karya Djie bahkan dipesan Ratu Elizabeth II dari Inggris dan Ratu Wilhelmina dari Belanda. ”Ratu Elizabeth memesan miniatur kereta kencana yang ditarik empat kuda, sedangkan Ratu Wilhelmina memesan nampan kue,” ujarnya.
Berkat karyanya itu, kedua ratu tersebut memberikan piagam penghargaan kepada Djie. ”Sayang, piagam itu hilang saat masa pengeboman Jepang,” kata Kamal.
Pascakemerdekaan 1945, yang diikuti dengan hengkangnya Belanda dari Nusantara, geliat bisnis Kendari Werk perlahan surut karena kesulitan pemasaran. Pasalnya, saat sebelum kemerdekaan, pemasaran produk Kendari Werk diperantarai para pedagang Belanda.
Kota sekecil Kendari kala itu tidak bisa menyerap produk tersebut. Banyak perajin yang gulung tikar atau beralih pekerjaan. Sebagian memilih hijrah ke kota-kota besar demi mencari pasar yang lebih baik, termasuk Makassar.
Para perajin yang hijrah itulah yang meneruskan produksi di perantauan. Di Kendari, kerajinan itu tinggal menyisakan nama.
Pada tahun 1985, dicoba dihidupkan kembali kerajinan ini. Pemerintah kala itu merekrut beberapa orang untuk dilatih menjadi perajin dengan status pegawai. Instrukturnya didatangkan dari Makassar atau perajin Kendari Werk yang masih ada di Kendari.
Ketua Dekranasda Sultra Tina Nur Alam mengatakan, pihaknya akan terus melestarikan kerajinan khas daerah ini. Hal itu antara lain dengan meregenerasi perajin dan meningkatkan keterampilan mereka secara berkala dengan melatih dan mengikutsertakan ke pameran kerajinan. Pelatihan khususnya pada aspek pengembangan desain dan model terbaru agar bisa mengikuti tren pasar.
Namun, di luar Dekranasda, geliat untuk menekuni kerajinan ini hampir punah. Kamal, misalnya, berhenti memproduksi Kendari Werk sejak tahun 2000. Padahal, toko Diamond milik mereka merupakan salah satu dari sedikit tempat di luar Dekranasda Sultra yang menyediakan produk tersebut.
Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan UKM Kendari Syam Alam mengatakan, ada banyak faktor yang membuat kerajinan ini sulit bangkit seperti era kejayaannya dulu. Selain kendala pemasaran, nilai bisnis kerajinan perhiasan perak tersaingi jenis perhiasan lain, terutama emas.
Saat ini, di Kendari tinggal tersisa tiga kelompok perajin yang memproduksi Kendari Werk. Itu pun dengan produksi sangat terbatas dan disesuaikan dengan permintaan pasar.
Kendari Werk bagaikan legenda yang dirindukan.... (Mohamad Final Daeng/Kompas)
Blogger Comment
Facebook Comment