Pilkada Serentak: Oligarki, Uang Panai dan Mantan Napi

Ilustrasi: inikata.com


PERHELATAN pesta demokrasi pemilihan kepala daerah (pilkada) di Indonesia tak ubahnya seperti cerita dalam film “Uang Panai” yang tengah viral  itu. Ibarat hajatan pernikahan, maka tak ada yang sederhana bagi seseorang yang berniat  menjalankan ritual perkawinan politik, yang pasti selalu ada mahar yang jumlahnya tidak sedikit.

Namun antara mahar politik dan mahar pernikahan, tetaplah ada perbedaan. Jika mahar pernikahan dihitung berdasar status sosial dan latar belakang  seseorang, apakah berasal dari kalangan bangsawan, tingkat pendidikan, ahlak  dan tentu saja berwajah lumayan cantik.

Sementara, penentuan mahar politik tidak memandang soal paras, ahlak dan kebangsawanan seseorang. Sekali lagi, itu tidak berlaku. Sistem politik telah memberikan ruang kekuasaan bagi partai politik untuk menentukan figur calon kepala daerah sehingga dimanfaatkan para elit politik sekehendak  hati mereka.

Sebagai pengendali pintu partai, para politisi tidak pernah mau melihat latar belakang seseorang, mau calon itu punya track record baik atau buruk. Itu bukan urusan.  Mau koruptor, mantan napi atau anak pejabat semua bisa maju mencalonkan diri, dengan catatan punya duit banyak.

Ya, politik di Indonesia  seolah ditasbihkan hanya milik mereka yang berduit banyak. Jika sudah begitu, maka tak heran para calon yang tampil tak akan jauh-jauh dari orang-orang berduit banyak.  Mungkin karena model politik transaksional ini,  perlahan membentuk karakter pemilih yang juga berjiwa transaksional. Fakta yang tidak terbantahkan, dalam perhelatan pesta demokrasi, mau itu pemilihan presiden, pemilhan gubernur, pemilihan walikota/bupati hingga pemilihan kepala desa, mayoritas pemilih di Indonesia sangat mengagung-agungkan calon-calon berduit.

Bagi pemilih dan yang dipilih, pesta demokrasi pemilihan kepala daerah adalah pesta lima tahunan bagi rakyat. Itu artinya pesta “bagi-bagi uang” sudah di depan mata. Disambut dengan gegap gempita oleh massa “rental” politik dengan berkonvoi di jalan-jalan dan hingga saatnya tim-tim sukses akan sukses menjalankan agenda politiknya.

Kegembiraan yang sama disambut oleh penyelenggara hajatan,  yang menginginkan pesta pilkada dibuat semeriah mungkin.  Fakta ini pula yang terekam sepajang perhelatan pilkada langsung di Indonesia termasuk di Sulawesi Tenggara, para penyelenggara beramai-ramai mengajukan anggaran pilkada sebesar-besarnya.  

Kota Kendari adalah salah satu daerah yang tengah menjalankan hajatan pilkada di bumi anoa. Sebagai ibu kota provinsi, perhelatan politik Kota Lulo tentu menyedot perhatian besar hampir semua kalangan. Cerita politik ini terdengar  di sudut-sudut kota, di lorong-lorong, warung kopi, perkantoran, kampus hingga media social. Pun, jauh sebelum tahapan pilkada, bincang politik tentang calon-calon yang akan maju sudah ramai dibahas. Seramai dengan baleho calon yang bertebaran di jalan-jalan.

Mengerucutnya pasangan calon, tensi politik pun kian menghangat. Puncaknya saat tahapan pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah di Kota Kendari mulai dihelat, ditandai dengan pendaftaran sejumlah calon wali kota dan wakil walikota kendari di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat.  Setidaknya sudah dua pasangan calon yang resmi mendaftarkan diri, masing-masing Adriatma Dwi Putra (ADP)berpasangan dengan Sulkarnain diusung oleh empat partai, PAN, PKS, PBB dan Hanura. Sementara pasangan Abdul Rasak – Haris Andi Surahman diusung 2 partai, masing-masing Partai Golkar dan Nasdem. Satu calon lainnya, yakni, Zayat Kaimuddin berpasangan Suri diusung dua partai yakni,  PDIP dan Partai Demokrat.

Komposisi pasangan calon walikota dan wakil walikota kendari, tak lahir begitu saja. Oleh tim sukses bersama pengurus parpol digodok selama berminggu-minggu bahkan  berbulan-bulan, lalu disaring hingga menemukan formulasi pasangan yang ideal menurut mereka. Bagi seorang calon, bergerilya mencari wakil menjadi syarat mutlak yang harus dijalani, dengan begitu akan mudah bagi seorang calon membangun komunikasi yang berujung pada deal atau kesepakatan politik. Itulah yang terjadi saat ini, tiga pasang calon kepala daerah yang mendaftar adalah buah dari perkawinan politik itu sendiri.

Melihat komposisi pasangan calon, memang cukup menyejutkan. Betapa tidak, pasangan calon yang tampil di Pilkada Kota Kendari justeru  jauh dari ekpektasi publik yang mendambakan pemimpin yang amanah. Sepeti apa pemimpin amanah itu? Bagi publik, pemimpin amanah adalah mereka yang benar-benar siap bekerja untuk rakyat, cakap, pekerja keras, berahlak baik, berwawasan luas serta tidak pernah terlibat tindak pidana maupun korupsi. Sebagaimana syarat yang ditentukan KPU kepada para calon kepala daerah.
Suara sumbang pun terdengar lirih. Mencuit dalam berbagai ekpresi status di media social. Ada yang menyoal seputar praktik dinasti atau politik olgarki, ada pula yang berteriak lantang soal mantan napi maju pilkada.

Seperti dalam bukunya yang berjudul Oligarki,  Jeffrey Winters mengatakan bahwa
demokrasi tidak melenyapkan oligarki namun malah bersatu dengan oligarki. Oligarki  bisa tumbuh dan berkembang didukung oleh adanya sumber daya yang kuat baik itu  politik maupun modal (kekayaan).  Di era desentralisasi politik, pemilihan kepala  daerah secara langsung membawa dampak yang beragam.

Eti Ekawati, dalam jurnal berjudul Dilema Politik Dinasti di Indonesia diterbitkan dalam situs LIPI (http://www.politik.lipi.go.id/)memaparkan, bahwa, politik dinasti mengisyaratkan kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih memiliki hubungan keluarga. Dan gejala ini muncul bak cendawan di era pilkada langsung di Indonesia. Tidak ada aturan yang melarang keluarga untuk bisa berpartisipasi aktif mencalonkan diri untuk memperebutkan jabatan politik baik di tingkat eksekutif maupun legislatif. Akibatnya, pejabat petahana baik sengaja maupun tidak sengaja mendorong keluarga nya untuk maju mencalonkan diri sebagai pejabat publik. Fenomena inilah yang kemudian terus berkembang di wilayah Indonesia ketika pilkada diselenggarakan.

Sebut saja dinasti politik yang dibangun oleh Ratu Atut Chosiyah di Banten, Yasin
Limpo di Sulawesi, dan dinasti politik lainnya semakin menggambarkan betapa pemilu legislatif maupun pilkada pada khususnya membuka peluang yang besar bagi kemunculan dinasti politik tersebut. Keresahan demokrasi mulai terusik sehingga muncul upaya perubahan undang-undang tentang pemilihan kepala daerah yang tujuannya adalah untuk membatasi munculnya politik dinasti. Akan tetapi, sejatinya upaya pembatasan tersebut mendapat sejumlah penolakan dari berbagai pihak, baik itu politisi, petahana, bahkan ahli hukum tata negara.
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada sebelumnya memberikan beberapa batasan definisi frasa 'tidak memiliki konflik kepentingan', antara lain, tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana, yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu.  Tak ayal, bunyi ayat yang sarat pembatasan partisipasi politik mendapat gugatan. Putusan Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi terhadap bunyi ayat tersebut. Mahkamah Konstitusi menilai, aturan yang membatasi calon kepala daerah yang memiliki hubungan dengan petahana telah melanggar konstitusi.

Hakim konstitusi berpendapat bahwa idealnya suatu demokrasi adalah bagaimana melibatkan sebanyak mungkin rakyat untuk turut serta dalam proses politik. Meski pembatasan dibutuhkan demi menjamin pemegang jabatan publik memenuhi kapasitas dan kapabilitas, suatu pembatasan tidak boleh membatasi hak konstitusional warga negara.

Jika kita berkaca dari putusan MK tersebut ternyata politik dinasti adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari di negara demokrasi seperti Indonesia. Ada dua hal yang bisa dilihat dari suatu politik dinasti. Pertama, bagi pihak yang optimis bahwa politik dinasti tidak akan merusak sendi-sendi demokrasi merasa bahwa semua warga negara berhak terlibat dalam proses politik.

Bukan suatu kesalahan jika ada keluarga pejabat yang ingin terjun dalam dunia politik  dan bukan kesalahannya juga jika kemudian yang bersangkutan terpilih dan
berhasil menduduki jabatan politik, karena bagaimanapun yang menang adalah mereka yang mampu memanfaatkan sumber daya politik dan modal serta figur sang calon. Selain itu, kemenangan seorang calon bukan karena keluarganya adalah pejabat petahana, namun karena kinerja elektoral partai yang baik. Kedua, bagi pihak yang merasa bahwa politik dinasti adalah ancaman tentu ini didasarkan kenyataan selama ini. Berdasarkan hasil penelitian Kemendagri tentang politik dinasti dalam waktu sepuluh tahun terakhir, ada sekitar 61 kepala daerah yang berasal dari politik dinasti.

Angka tersebut setara dengan 10 persen dari jumlah keseluruhan kepala daerah di Indonesia. Jika hal tersebut tidak dibatasi maka politik dinasti akan semakin menggurita di kancah demokrasi lokal. Ini tentu berpengaruh kepada kesempatan bagi putra daerah yang lain untuk bisa berkompetisi pada pemilihan kepala daerah.

Masalah krusial lain adalah, aturan yang memperbolehkan terpidana ikut serta dalam Pilkada tidak sinergi dan bertabrakan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Padahal, dalam UU No 10 tahun 2016 tentang Pilkada, Pasal 7 ayat (2) huruf g, mengatur berapa pun hukuman yang dijatuhkan maka terpidana tidak boleh maju sebagai calon kepala daerah.

Wakil Ketua KPK Laode M Syarief bereaksi keras atas aturan terpidana percobaan boleh ikut pemilihan kepala daerah dalam PKPU. Baginya aturan tersebut melukai hati rakyat dan tidak pro terhadap pemberantasan korupsi. Dalam akun Twitter-nya, @LaodeMSyarif , Rabu (14/9) Laode Syarif menulis, "Mantan napi korupsi jadi bupati dan mantan napi korupsi dibolehkan ikut pemilihan gubernur lagi. Negeri ini memang sakit," tulis Laode. Laode Syarif  sendiri tak menjelaskan lebih lanjut siapa nama kepala daerah tersebut. Dia juga tak menjelaskan detil siapa mantan napi korupsi yang ikut pemilihan gubernur.

Sebenarnya, dengan teknologi informasi yang serba canggih saat ini, maka cukup mudah bagi publik menilai figur-figur calon yang ada saat ini. Cobalah berselancar di dunia internet, dan menggugling nama-nama itu.

Ketiklah nama-nama calon itu, maka sekejap ribuan cerita tersingkap.. Tak ada cerita baik di sana. Sangat Buruk dan penuh aib. Nama yang sangat mungkin merusak "Susu Sebelanga". Banyak yang berharap nama-nama itu dicoret sebelum gong pesta ditabuh. Tapi apa daya publik dibuat tak berdaya. Sekali lagi, semua itu tidak ada artinya. Semua telah saling sandera. Parpol, penyelenggara, calon dan pemilih sekali lagi telah jatuh dalam politik transaksional sehingga mereka tidak akan pernah ambil pusing dengan kualitas atau hasil pemilu. Bagi mereka pesta adalah uang. Sekali lagi UANG.  Dan tunggulah semua itu akan jadi petaka, sebuah kecelakaan yang melukai hati mereka yang merindukan hidup tanpa rasuah. ***
Share on Google Plus

About yoshasrul

    Blogger Comment
    Facebook Comment