LSM Komnasdesa_Sultra Gelar Studi Ruang Wilayah Wawonii

Imanche Al Rachman, Direktur Komnasdesa-Sultra
KONKEP, SULTRANEWS- Mekarnya wawonii sebagai kabupaten baru  memiliki konsekuensi terhadap ruang. Pemenuhan ruang untuk pembangunan dan investasi dikuatirkan akan membatasi orang wawonii yang mayoritas sebagai petani mengakses tanah mereka sendiri. Apalagi, kebijakan politik-ekonomi yang bernuansa “pintu-terbuka” oleh pemerintahan orde baru masih kerap dipraktekkan pemerintahan di masa kini, menyebabkan merebaknya konflik agraria di tanah air dalam bentuk dan manifesnya yang beragam.

Melihat kondisi itu, LSM Komnasdesa-Sultra, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di advokasi dan pemberdayaan  masyarakat pesisir dan pedalaman  berinisiatif menggelar kegiatan studi ruang wilayah berpenduduk kurang lebih 29.971  jiwa tersebut..

"Sebenarnya  studi sudah dilakukan LSM Komnasdesa-Sultra sejak tahun 2008 silam. Studi yang kami lakukan  meliputi,  sejarah , kultur masyarakat, potensi SDA dan potensi ruang konflik di wawonii. Studi ini sangat penting mengingat bagi orang wawonii, tanah dan isinya merupakan ruang ekspresi kultural mereka. Hal ini nampak dari berbagai praktek kebudayaan dan adat istiadat orang wawonii. Dalam kehidupan sehari-hari, sebagian besar mereka hidup dalam sistem pertanian yang tradisional dengan menggunakan tanah leluhur,"jelas Imanche Al Rachman, Direktur LSM Komnasedesa-Sultra pada wartawan di Kendari.
.
Salah satu arti yang sangat penting bagi orang wawonii, lanjut Imanche Al Rachman adalah menjadikan tanah sebagai tempat bercocok tanam, seperti berladang dan menanam tanaman jangka panjang (berkebun). Berladang sebagai prananta pengelolaan tanah yang paling utama dalam masyarakat wawonii disamping pranata-pranata pengelolaan lainnya. Karena itulah berladang menjadi penopang kehidupan ekonomi yang utama bagi orang wawonii. Data Badan Pusat Statistik Sulawesi Tenggara mencatat lebih dari 80 persen petani wawonii menggantungkan hidupnya pada hasil pertanian.

Pentingnya melakukan studi ruang di Pulau Wawonii juga karena melihat daya dukung pulau, ancaman masa depan ekologi di pulau wawonii sangat besar pasca daerah itu menjadi daerah otonomi baru. Pembangunan infrastruktur memberi konsekwensi besar pada kebutuhan ruang, di tambah dengan dibukanya kran investasi, disamping investasi yang telah lebih dulu diprakarsi  oleh pemerintah induk (kabupaten konawe).

Kebutuhan  ruang untuk kebutuhan pembangunan, lanjut Imanche Al Rachman, menjadi persoalan besar di Wawonii kini, yang ujung-ujungnya mengorbankan warga. Potret inilah yang menimpa warga nelayan di Desa Langara Pantai.  Dari informasi yang diperoleh, Kampung yang telah berdiri sejak tahun 1960-an dan menampung kurang lebih 120 KK rencananya akan direlokasi ke Desa Tumbu-Tumbu Jaya , Kecamatan Wawonii Tengah. Sebuah kondisi yang tidak menguntung bagi warga nelayan yang sudah berpuluh tahun hidup di komunitas nelayan.

Rencananya, hasil dari kegiatan studi ruang tersebut akan ditindaklanjuti dengan menggelar workshop yang akan mengundang para pemangku kepentingan di Kabupaten Konawe Kepulauan, seperti pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, kalangan swasta, mahasiswa, LSM untuk duduk bersama memikirkan masa depan Wawonii.  YOS

Share on Google Plus

About yoshasrul

    Blogger Comment
    Facebook Comment