Bantuan Pemerintah Tak Kunjung Tiba
Laporan: Muhamad Hasrul
Musibah seolah tak
pernah reda. Belum lagi hilang trauma akibat kehilangan tempat tinggal, warga
diperhadapkan dengan kondisi miris, dimana sebagian besar korban banjir belum
tersentuh bantuan. Terutama bantuan dari pemerintah daerah konawe selatan sendiri. Bahkan hingga
hari ke delapan, bantuan yang diharapkan nongol sama sekali belum ada yang tersalur. Warga terpaksa mengandalkan bantuan para
relawan dan dermawan yang jumlahnya terbatas.
Ditenda darurat buatan sendiri inilah Mina hidup bersama anaknya. foto: yos |
"Kemana bantuan
pemerintah untuk kami,"ungkap Mina, warga korban banjir di Laeya. Wanita
yang kehilangan tempat tinggal ini hanya hidup dengan beberapa bungkus mie
instan yang dimakan bersama kedua anaknya. Mie bantuan dermawan itu dimakan karena tidak lagi memiliki uang untuk membeli beras "Saya sama sekali tidak lagi
memiliki beras untuk dimakan, karena terpaksa meminjam beras pada keluarga saya
yang tidak kebanjiran,"kata Mina.
Hidup janda tua ini benar-benar
terlunta-lunta di kampung halamannyasendiri, ditenda yang super darurat Ia bersama buah hatinya tidur beralas
papan seadanya. Ini sudah agak mendingan, dibanding dua hari pasca banjir Ia
hidup beratap langit dan dingin malam. "Kami benar-benar
menderita,"katanya dengan mata berkaca-kaca.
Perempuan parubaya ini mengaku tak lagi memilikirkan berpuasa, Ia hanya berpikir bagaimana berjuang hidup untuk anak-anaknya. "Bagaimana mau puasa kalau lauk pauk untuk sahur saja tidak ada, jadi ya biarlah tidak puasa dulu,"ujarnya.
Kehidupan warga laeya boleh dikata jauh dari hidup normal. Sejumlah anak-anak bertahan hidup dengan menjadi pengemis di jalanan. Mereka mengharap bantuan dari pengendara yang melintas. Ini pemandangan yang cukup miris yang setiap hari terlihat disepanjang jalan desa laeya.
Perempuan parubaya ini mengaku tak lagi memilikirkan berpuasa, Ia hanya berpikir bagaimana berjuang hidup untuk anak-anaknya. "Bagaimana mau puasa kalau lauk pauk untuk sahur saja tidak ada, jadi ya biarlah tidak puasa dulu,"ujarnya.
Kehidupan warga laeya boleh dikata jauh dari hidup normal. Sejumlah anak-anak bertahan hidup dengan menjadi pengemis di jalanan. Mereka mengharap bantuan dari pengendara yang melintas. Ini pemandangan yang cukup miris yang setiap hari terlihat disepanjang jalan desa laeya.
Empat dusun di Desa
Laeya dan satu didusun di Desa Ambesea boleh dikata daerah yang paling parah
dihantam banjir, di daerah ini terdapat 40 buah rumah hancur porak poranda. Saat memasuki kawasan ini, Laeya tak ubahnya kawasan yang baru saja dihantam tsunami. Sebagian rumah yang terbuat dari kayu hilang tak
berbekas. Air bah bahkan menghancurkan hingga pondasi rumah. Rumah milik
warga bernama Dadang (35 tahun) misalnya, yang tersisa tinggal kamar mandi yang
berdiri utuh. Bahkan ada rumah yang posisinya berpindah akibat hanyut dan kini
berdiri persis di tengah jalan. Rumah berbahan kayu itu kini menghalangi arus
lalulintas.
Namun tak berarti
bantuan tak ada. Di luar pemerintah, cukup banyak
orang berempati. Tak terkecuali para pelajar di daerah ituMereka membantu
korban dengan mendirikan posko untuk mengumpulkan sumbangan. “Selama seminggu
pasca banjir para pelajar telah menyalurkan bantuan ke lokasi, meski jumlahnya
tak seberapa,”kata Andishar, Ketua Osis SMA 4 Konawe Selatan..
Paket bantuan logistik hasil kerja keras relawan pelajar SMA di Konsel. foto: yos/sultramnews.com |
Namun untuk menjangkau
daerah banjir tidaklah mudah. Kondisi dua desa masih terisolir akibat putusnya
jalur transportasi membuat daerah sulit diakses. Pada banjir pecan lalu,, tanah
yang berfungsi sebagai penahan sekaligus pengapit jembatan sungai laeya ambrol
sejauh lima puluh meter. Para pelajar yang membawa logistik seberat satu ton
yang terdiri, bahan makanan, baju dan selimut ini terpaksa menyewa perahu untuk
menyeberangkan bantuan.Selain menyewa perahu dan rakit, tim relawan kembali
harus mencari kendaraan roda empat demi membawa logistic ke lokasi tujuan yang
berjarak 7 KM itu. "Pengiriman bantuan memiliki banyak tantangan terutama saat pendistribusiannya,"kata Andishar, ketua relawan pelajar Konsel .
Meski penuh
dengan tantangan para pelajar asal Kecamatan Laeya akhirnya berhasil membawa bantuan dan membagikan
pada 250 KK korban banjir di Desa Laeya dan 35 KK untuk Kelurahan Ambesea. Bantuan
yang diberikan terdiri, bahan makanan, baju dan selimut ini
Gelap Gulita
Tak hanya soal bantuan,
soal penerangan masalah lain yang dihadapi warga. Entah mengapa PLN
melakukan pemadaman lampu di laeya hingga sepekan lebih. Padahal banjir telah
lama surut. Pertanyaan ini menggelayut dari warga korban banjir di daerah itu
hingga kini. "Kami benar-benar tidak mengerti dengan sikap PLN,"kata
Mursalim, Kepala Desa Laeya, Selasa (23/7).
Menurut Mursalim
kebutuhan akan aliran listrik sangat diperlukan warga dan pemerintah setempat
untuk penerangan saat malam hari. Penderitaan warga Laeya memang kian lengkap
semenjak daerah itu landa banjir. Tak hanya kehilangan harta benda dan rumah,
namun warga kini hidup dalam kegelapan. "Kami hidup dalam
gelap gulita,"ujar Mursalim sedih.
Kami benar-benar tidak
dapat beraktifitas saat malam hari, apalagi saat bulan puasa seperti saat ini
dimana masjid-masjid butuh penerangan dan suara azan. Mursalim berharap agar
pemerintah kabupaten dan PLN untuk dapat mengatasi persoalan lampu di wilayah itu.
"Saya harap PLN dapat kembali mengaliri listrik agar warga dapat kembali
dapat beraktfitas malam hari,"harapnya.***
Blogger Comment
Facebook Comment