Kisah Di Balik Bencana Banjir Laeya (2)

Para relawan dan pelajar di Konsel bahu membahu mengirim bantuan logistik ke lokasi banjir. Jalur darat yang masih terputus membuat para relawan kesulitan mendistribusikan bantuan dan terpaksa harus mengangkut logistik dengan menggunakan perahu dan rakit bambu. foto: Yoshasrul/sultranews.com 


Bantuan Pemerintah Tak Kunjung Tiba

Laporan: Muhamad Hasrul 

Musibah seolah tak pernah reda. Belum lagi hilang trauma akibat kehilangan tempat tinggal, warga diperhadapkan dengan kondisi miris, dimana sebagian besar korban banjir belum tersentuh bantuan. Terutama bantuan dari pemerintah daerah konawe selatan sendiri. Bahkan hingga hari ke delapan, bantuan yang diharapkan nongol sama sekali belum ada yang tersalur. Warga terpaksa mengandalkan bantuan para relawan dan dermawan yang jumlahnya terbatas.

Ditenda darurat buatan sendiri inilah Mina hidup bersama anaknya. foto: yos 
"Kemana bantuan pemerintah untuk kami,"ungkap Mina, warga korban banjir di Laeya. Wanita yang kehilangan tempat tinggal ini hanya hidup dengan  beberapa bungkus mie instan yang dimakan bersama kedua anaknya. Mie bantuan dermawan itu dimakan karena tidak lagi memiliki uang untuk membeli beras "Saya sama sekali tidak lagi memiliki beras untuk dimakan, karena terpaksa meminjam beras pada keluarga saya yang tidak kebanjiran,"kata Mina.

Hidup janda tua ini benar-benar terlunta-lunta di kampung halamannyasendiri, ditenda yang super darurat Ia bersama buah hatinya tidur beralas papan seadanya. Ini sudah agak mendingan, dibanding dua hari pasca banjir Ia hidup beratap langit dan dingin malam. "Kami benar-benar menderita,"katanya dengan mata berkaca-kaca. 

Perempuan parubaya ini mengaku tak lagi memilikirkan berpuasa, Ia hanya berpikir bagaimana berjuang hidup untuk anak-anaknya. "Bagaimana mau puasa kalau lauk pauk  untuk sahur saja tidak ada, jadi ya biarlah tidak puasa dulu,"ujarnya. 

Kehidupan warga laeya boleh dikata jauh dari hidup normal. Sejumlah anak-anak bertahan hidup dengan menjadi pengemis di jalanan. Mereka mengharap bantuan dari pengendara yang melintas. Ini pemandangan yang cukup miris yang setiap hari terlihat disepanjang jalan desa laeya.

Empat dusun di Desa Laeya dan satu didusun di Desa Ambesea boleh dikata daerah yang paling parah dihantam banjir, di daerah ini terdapat 40 buah rumah hancur porak poranda. Saat memasuki kawasan ini, Laeya tak ubahnya kawasan   yang baru saja  dihantam tsunami. Sebagian rumah yang terbuat dari kayu hilang tak berbekas. Air bah bahkan menghancurkan hingga pondasi rumah.  Rumah milik warga bernama Dadang (35 tahun) misalnya, yang tersisa tinggal kamar mandi yang berdiri utuh. Bahkan ada rumah yang posisinya berpindah akibat hanyut dan kini berdiri persis di tengah jalan. Rumah berbahan kayu itu kini menghalangi arus lalulintas. 

Namun tak berarti bantuan tak ada. Di luar pemerintah, cukup banyak orang berempati. Tak terkecuali para pelajar di daerah ituMereka membantu korban dengan mendirikan posko untuk mengumpulkan sumbangan. “Selama seminggu pasca banjir para pelajar telah menyalurkan bantuan ke lokasi, meski jumlahnya tak seberapa,”kata Andishar, Ketua Osis SMA 4 Konawe Selatan..

Paket bantuan logistik hasil kerja keras relawan pelajar SMA di Konsel. foto: yos/sultramnews.com 
Namun untuk menjangkau daerah banjir tidaklah mudah. Kondisi dua desa masih terisolir akibat putusnya jalur transportasi membuat daerah sulit diakses. Pada banjir pecan lalu,, tanah yang berfungsi sebagai penahan sekaligus pengapit jembatan sungai laeya ambrol sejauh lima puluh meter. Para pelajar   yang membawa logistik seberat satu ton yang terdiri, bahan makanan, baju dan selimut ini terpaksa menyewa perahu untuk menyeberangkan bantuan.Selain menyewa perahu dan rakit, tim relawan kembali harus mencari kendaraan roda empat demi membawa logistic ke lokasi tujuan yang berjarak 7 KM itu. "Pengiriman bantuan memiliki banyak tantangan terutama saat pendistribusiannya,"kata Andishar, ketua relawan pelajar Konsel .

Meski penuh dengan tantangan para pelajar asal Kecamatan Laeya akhirnya berhasil membawa bantuan dan membagikan pada 250 KK korban banjir di Desa Laeya dan 35 KK untuk Kelurahan Ambesea. Bantuan yang diberikan terdiri, bahan makanan, baju dan selimut ini
   
Gelap Gulita

Tak hanya soal bantuan, soal penerangan masalah lain yang dihadapi warga.  Entah mengapa PLN melakukan pemadaman lampu di laeya hingga sepekan lebih. Padahal banjir telah lama surut. Pertanyaan ini menggelayut dari warga korban banjir di daerah itu hingga kini. "Kami benar-benar tidak mengerti dengan sikap PLN,"kata Mursalim, Kepala Desa Laeya, Selasa (23/7). 

Menurut Mursalim kebutuhan akan aliran listrik sangat diperlukan warga dan pemerintah setempat untuk penerangan saat malam hari. Penderitaan warga Laeya memang kian lengkap semenjak daerah itu landa banjir. Tak hanya kehilangan harta benda dan rumah, namun warga kini hidup dalam  kegelapan.  "Kami hidup dalam gelap gulita,"ujar Mursalim sedih. 

Kami benar-benar tidak dapat beraktifitas saat malam hari, apalagi saat bulan puasa seperti saat ini dimana masjid-masjid butuh penerangan dan suara azan. Mursalim berharap agar pemerintah kabupaten dan PLN untuk dapat mengatasi persoalan lampu di wilayah itu. "Saya harap PLN dapat kembali mengaliri listrik agar warga dapat kembali dapat beraktfitas malam hari,"harapnya.***
Share on Google Plus

About yoshasrul

    Blogger Comment
    Facebook Comment