Legenda Madjid Ege, Penjaga Menara Air Pulau Kabaena

Abdul Madjid Ege, Kepala Desa Tangkeno /Budayawan Kabaena. foto: YOSHASRUL


Semangat Pak Abdul Madjid Ege tak rapuh, meski di usianya yang tergolong sepuh, 73 tahun. Ia masih cukup kuat mendaki bukit-bukit di Tangkeno. Berjalan berkilo-kilo jauhnya, mengurusi rakyat hingga berdikusi sampai larut malam. Ingatannya benar-benar tajam, bercerita dengan detil setiap senti sejarah negeri Tokotua. Sesekali Ia melempar kelakar kepada jurnalis-jurnalis muda yang meminta berpose kepadanya. “Sebenarnya Saya sudah tidak ingin lagi difoto. Malu melihat wajah saya yang tua,”ujarnya sembari tertawa renyah.

Di balik sikap ramahnya, Madjid sebenanya sosok peodal yang agamais. Ia masih kukuh mempertahankan tradisi budaya Kabaena di tengah kerasnya benturan modernisasi. Untuk beberapa hal, Madjid menerapkan larangan keras bagi warganya untuk tidak minum minuman keras. “Selain haram, miras adalah pemicu kerusakan ahlak,”kata Madjid.  Bagi yang melanggar, maka  sanksi keras diterapkan, yakni pemberlakukan hukuman adat, berupa pukulan rotan di tubuh. Sanksi adat ini dipatuhi warga, karena itu Tangkeno aman dari segala tindakan  kriminal.
Abdul Madjid Ege berpose dengan latar belakan gunung Sabampolulu. foto: YOSHASRUL

Abdul Madjid Ege adalah tokoh sekaligus budayawan Kabaena. Ia lahir di Tangkeno 6 Agustus 1945. Oleh warga Abdul Madjid Ege dipercaya sebagai Kepala Desa Tangkeno. Pribadi  yang ramah namun cukup tegas terutama terkait urusan budaya. Ia kukuh mempertahankan tradisi budaya Kabaena di tengah kerasnya benturan modernisasi. Meski begitu, Madjid Ege cukup moderat terutama untuk urusan adat. Sistem perkawinan orang moronene yang terbilang pelik dapat dibuatnya jadi sederhana. Dalam urusan adat perkawinan misalnya, jika dahulu dalam adat biasa ditetapkan kebutuhan yang harus ditanggung seorang lelaki jika yang menikahi gadis Kabaena, yakni berupa mahar beras dan kerbau. “Kalau menikah dengan orang biasa maka dalam adat ditetapkan 4 ekor kerbau, sedangkan jika menikahi kaum bangsawan maka maharnya harus 8 atau 12 ekor kerbau,”ungkapnya. “Karena kerbau semakin mahal dan langka. Jadi diganti dengan sapi saja. Untuk apa memberatkan mereka yang mau menikah, jadi ya disesuaikan saja semampunya,”kata Madjid.

Madjid boleh berkompromi soal mahar pernikahan, namun tidak untuk tanah yang telah menjadi falsafah orang-orang Tokotua sejak dulu. Madjid Ege yang juga budayawan Kabaena itu menyebut, tiga palsafah itu yakni, wita wutonto atau Tanah adalah diri kita, wita toroanto atau tanah adalah tempat kehidupan kita dan wita petanoanto atau tanah adalah kuburan kita.

Desa Tangkeno diwaktu pagi selalu diselimuti awal tebal. foto: YOSHASRUL

Dahulu, orang kabaena, saat hendak menjual tanah ada aturan yang musti dipatuhi. “Saat hendak melepas sebidang tanah pada orang lain, maka tidak dibolehkan menyebut menjual tanah melainkan menjual kebun, mengingat tanah adalah sumber kehidupan kita.”ungkap Madjid. Makanya saat pertambangan tengah marak, Madjid tidak pernah setuju tanah-tanah di Tangkeno dilepas untuk ditambang.


Sejak dulu gunung-gunung Kabaena menjadi incaran para investor tambang. Di jaman penjajahan, tentara Jepang pernah berusaha untuk menambang nikel di kawasan ini. “Saat datang, Mereka (Jepang) memaksa rakyat menggali tanah dan membawanya ke kapal yang berlabuh di Sikeli,”kata Marudi, warga Tangkeno. Tak heran banyak terdapat lubang-lubang galian di sekitar gunung Sangia Wita, Puputandasa dan gunung Putolimbo.

Perang berakhir tak berarti penjajahan sumber daya alam pergi dari Kabaena. Kabaena menjadi daerah incaran investor asing. PT INCO, Tbk, bahkan, mengklaim wilayah  kabaena di bagian selatan dan tengah menjadi wilayah konsesi mereka, namun urun ditambang tanpa alasan yang jelas.

Booming tambang di tahun  2008 silam, negeri tokotua diserbu perusahaan tambang, dari  investor luar hingga lokalan. Tanah di seantero pulau Kabaena tak ada yang tidak dikapling. Tambang benar-benar mengubah pola hidup rakyat. Mereka  yang terlanjur tergiur duit instan berlomba menjual tanah. Budaya dan kearifan lokal pun terpinggirkan.  Kondisi yang membuat Madjid Ege resah.  “Dulu orang tua kami punya falsafah yang kuat atas tanah yang wajib dijunjung tinggi. Kehadiran tambang telah membuat orang-orang kabaena silau mata. Falsafah  leluhur itu telah diabaikan,”kata Abdul Madjid Ege.

Bagi Madjid, tanah adalah ruang hidup orang-orang Tokotua. Tak heran tanah benar-benar mendapat perlakuan  istimewa sebagaimana termaktub dalam falsafah hidup orang Tokotua.

Tentang itu, Madjid Ege menjelaskan tiga palsafah tentang tanah, yakni, wita wutonto atau Tanah adalah diri kita yang berarti, janganlah menjual tanah karena sama artinya menjual diri kita.

Kemudian, , wita toroanto  atau tanah adalah tempat kehidupan, mengandung arti Tanah adalah kehidupan kita, maka janganlah menjual tanah karena sama saja kamu menjual sebagian kehidupanmu. Dan, wita petanoanto atau tanah adalah kuburan kita yang mengandung arti janganlah engkau menjual tanah, karena sama saja menjual kuburanmu sendiri.

Berpedoman pada falsafah itu, membuat Madjid teguh pada pendiriannya. Pria yang pernah meraih penghargaan sebagai Tokoh Anti Tambang dari Organisasi Jaringan Anti Tambang di Jakarta dengan tegas  menolak tanah-tanah di Pulau Kabaena eksploitasi untuk kepentingan tambang. “Walau sebagian besar tanah Kabaena sudah dieksploitasi oleh pertambangan, namun tidak untuk Desa Tangkeno !!!,”tegasnya. 

Madjid tak sedikit pun tergiur dengan bujuk rayu pengusaha tambang. Setidaknya itulah yang dilakukan Madjid Ege saat  tiga perusahaan tambang nikel hendak mengeksploitasi tanah di Desa Tangkeno tahun 2009 silam.

Madjid bercerita, saat itu orang-orang suruhan perusahaan silih berganti masuk ke desa membawa surat ijin  menambang yang diterbitkan pemerintah. Bukannya disambut baik, namun justeru ditolaknya dengan keras.

Penolakan itu membuat  orang-orang perusahaan tambang protes dan menanyakan dasar penolakan yang dilakukan Madjid.

“Kepada mereka (orang perusahaan tambang, Red) saya bilang, benar Anda punya ijin dari pemerintah, tapi harus melalui sosialisasi terlebih dahulu pada masyarakat adat. Dan kalau masyarakat adat tidak mengijinkan, maka perusahaan tambang tidak berhak untuk menambang di kawasan hutan adat. Jadi setiap masuk, perusahaan selalu tidak bisa menambang di Tangkeno,”ungkapnya.

Klaim hutan tangkeno sebagai hutan adat, terwariskan turun temurun.  Jejak kejayaan peradaban masa lampau dengan mudah ditemukan di desa ini. Dalam catatan sejarah, kerajaan Tokotua atau kabaena pernah memerintah di sekitar abad 16. Pusat kerajaan berada di Tangkeno. Situs sejarah Benteng Tawulagi yang menjadi  tempat pelantikan mokole (raja), merupakan bukti kuat bahwa Kabaena pernah menjadi pusat Kerajaan Moronene.

Hal ini diperkuat dengan hasil penelusuran para ahli sejarah dan budayawan, bahwa, di wilayah daratan tenggara Sulawesi sebagai asal muasal etnis Moronene Kabaena, tidak ditemukan benteng seperti di Kabaena. Itu membuktikan pusat Kerajaan Moronene memang di Kabaena, bukan di wilayah daratan. Di Benteng Tawulagi, kata Abdul Majid Ege, selain masih tampak batu besar dan agak tinggi tempat melantik Mokole, juga terdapat sebuah meriam besar. Dulu, kemungkinan besar untuk melawan penjajah Belanda maupun Tobelo."Tobelo merupakan sekelompok orang pada zaman dulu yang kerjanya sebagai perompak laut, bahkan tidak segan-segan merampas dan membunuh warga di daratan," katanya. Menurut Abdul Madjid, benteng-benteng di Kabaena diperkirakan didirikan pada tahun 1600-an yang digunakan sebagai tempat persembunyian dan tempat bertahan dari para musuh.

Selain  Benteng Tawulagi, masih ada beberapa benteng lain, yaitu, Benteng Doule, Tontowatu, Mataewolangka dan Tuntuntari.
Madjid menjelaskan, Benteng Tawulagi merupakan benteng utama sekaligus tempat pelantikan mokole, sedangkan Benteng Mataewolangka merupakan tempat mengintai musuh dari arah selatan, Benteng Doule tempat mengintai dari arah barat dan utara. Serta benteng Tuntuntari dan Tontowatu merupakan benteng mengintai dari arah timur. Kemakmuran tercipta seiring dengan tumbuh suburnya pertanian, yang dibarengi dengan berkembangnya khasanah budaya, seni dan kearifan lokal.

Keberadaan situs-situs  sejarah masa lalu menjadi bukti tak terbantahkan, sekaligus menjadi alat perjuangan bagi masyarakat tangkeno untuk menjadikan desa wisata sekaligus alat untuk menolak kehadiran tambang.

Terlebih dicanangkannya Desa Tangkeno sebagai Desa Wisata, setidaknya membuat Madjid Ege sedikit bernapas lega. Menjadikan desa berpenduduk 200 KK  sebagai destinasi wisata berarti telah ikut menyelamatkan daerah Tangkeno dan sekitarnya dari kerusakan akibat ancaman ekspoitasi tambang.

Sebagai Ketua Adat, harapan Madjid Ege memang tidak muluk-muluk. Ia hanya ingin agar tanah kelahirannya itu  tetap lestari. Berbicara dihadapan belasan wartawan, nada suara Madjid memelan. “Ketika bentang alam kita rusak, apalagi yang mau dilihat. Hari ini, boleh saja kita mencari kekayaan dari pertambangan, tetapi pernahkah kita berpikir, bahwa, di hadapan kita masih ada anak cucu kita yang masih mau menikmati keindahan alam,” ujarnya.

 “Hari ini kita boleh perkaya diri, tapi ketika alam ini  hancur, pernahkah kita pikirkan bahwa ke depan itu masih banyak generasi yang akan tumbuh. Kita yang tua ini akan mati,”tambahnya.
Berada di ketinggian, serta hutan alam yang masih perawan, membuat Tangkeno memiliki nilai strategis bagi  lingkungan hidup di kawasan itu.  Kawasan hutan menjadi benteng pertahanan alam  khususnya pemasok ketersediaan air di kawasan Kabaena Tengah.

Penggiat LSM Sagori, Sahrul Gelo menyebut, di kawasan hutan tangkeno terdapat sungai-sungai besar yang mengalir ke berbagai kawasan di Kabaena Timur, Kabaena Utara, Kabaena Selatan, Barat dan Tengah. Dengan kata lain, hutan dan pegunungan di kabena tengah merupakan “menara air” bagi pulau berpenduduk sekitar 31.000 jiwa tersebut.

Serbuan tambang sempat merambah hingga ke Tangkeno.  Setidaknya, tiga perusahaan tambang saling berebut mengkapling tanah dan bukit-bukit  di Tangkeno untuk dijadikan wilayah konsesi tambang. Namun, Kepala Desa bersama warga desa menentang keras. Mereka sepakat untuk tidak mengijinkan sejengkal tanah pun ditambang di daerahnya. “Tidak satu genggam pun tanah boleh dibawa dari Tangkeno,”tegas Majid Ege.

Sekali waktu, orang sewaan perusahaan mencoba mengambil sampel tanah di wilayah Tangkeno. Mereka memperalat warga dari desa tetangga melakukan penggalian tanah secara sembunyi-sembunyi.  Aksi  ini ketahuan warga   Tangkeno dan langsung melaporkan ke Abdul Majid Ege, selaku kepala desa. Mendapat laporan. darah Madjid kontan mendidih. Lelaki tua itu marah besar dan langsung bergegas menemui para pelaku.   “Saya minta, tanah yang ada di mobil ini tidak boleh dibawa pergi, saya minta tidak segenggam tanah pun kalian turunkan di desa terongko tua. Tanah-tanah kalian ambil ini harus dikembalikan di Desa Tangkeno,”hardik Madjid.

Kepada Madjid Ege, pesuruh perusahaan beralasan mengambil tanah sebagai sampel untuk diperiksa kadar nikelnya. “Mereka bilang hanya mau tau berapa kadar nikelnya. Tapi Saya bilang, tidak perlu kalian tau,”kata Madjid.

Sikap keras Madjid bukan tanpa alasan,  sebab jika perusahaan mengetahui  kadar nikel tanah di Tangkeno, maka dipastikan perusahaan dengan segala cara akan mengeksploitasi tanah di Tangkeno. “Kalau mereka tau kadar nikel di sini, maka itu artinya kami akan kalah. Karena perusahaan itu punya uang. Semua mereka bisa beli. Walau kami harus bertahan, tapi perusahaan bisa meminta pemerintah menekan kami. Perusahaan bisa leluasa karena didukung pemerintah dan mereka itu punya kekuatan untuk tekan kita,”jelas Madjid.

Aksi Madjid akhirnya membuat orang-orang perusahaan menyerah. Tanah milik desa tangkeno yang sudah diambil langsung diturunkan dan setelah itu langsung pulang. “Perusahaan gunakan orang desa sebelah untuk mengambil sampel tanah, karena tidak berani mengambil orang tangkeno karena pasti saya pasti larang,".

Madjid cukup sadar jika sikap kerasnya  menentang kehadiran tambang di desanya, memiliki konsekuensi besar, bagi diri dan keluarganya. Namun, tanggung jawab  sebaai ketua adat sekaligus kepala desa membuatnya teguh memilih berada di jalur yang dianggapnya benar.
“Saya tidak tau ke belakang nanti, saya tidak tau apakah anak-anak itu masih mau bertahan seperti saya atau tidak,”kata Madjid. “Tapi untunglah desa ini sudah menjadi desa wisata, semoga selalu terlindungi dan tidak lagi diganggu dengan tambang,”ujarnya.
“ Sangat sayang kalau bentang alam ini rusak, sebab sejak kecil kami ke hutan-hutan yang lebat, rimbun, sangat sayang kalau jadi tandus, nanti tidak ada lagi kesejukan di tempat ini. Tidak ada lagi yang bisa kita andalkan,"katanya.

Keindahan alam Tangkeno menjelang malam hari. foto: YOSHASRUL
Ketegasan Madjid yang didukung seluruh warga Tangkeno secara sadar telah menjadi benteng pertahanan bagi alam Kabaena, sekaligus menyelamatkan kehidupan sebagian besar penduduk Tokotua. “Ini yang membuat saya harus bertahan. Kalau saya terima tambang artinya saya ikut menghancurkan kehidupan alam Tangkeno, maka saya akan memikul dosa berkepanjangan. Dan orang-orang yang ada di bawah sana akan protes dan berdemo di Tangkeno,”kata Abdul Madjid Ege.
 
Pintu gerbang Desa Tangkeno. foto: YOSHASRUL

Tangkeno sendiri merupakan desa yang berada di ketinggian kurang lebih 600 MDpl. Desa ini berada di bawah kaki gunung Sangia Wita yang memiliki ketinggian kurang lebih 1000 Mpdl. Diantara gunung-gunung Sabampolulu merupakan gunung paling tinggi yang memiliki ketinggian 1500 meter dari permukaan laut (Mpdl), sekaligus menasbihkan Sabampolulu sebagai gunung tertinggi di Sulawesi Tenggara. Selain Sabampolulu dan Sangia Wita terdapat pula gunung lainnya yakni Gunung Puputandasa, Putolimbo dan Watu Sangia. Sangia Wita berarti Tanah Dewa, Watu Sangia berarti Batu Dewa. Sedangkan, Sabampolulu artinya muncul dan mengejar. Sabampolulu sendiri memiliki arti muncul dan mengejar. “Jika dikaitkan dengan rencana Kabaena menjadi daerah otonomi baru maka berarti nama Sabampolulu menjadi strategis, yakni, daerah baru yang mengejar ketertinggalan dari daerah lain,”ujar Majid Ege.


Jarak Desa Tangkeno sebenarnya tak cukup jauh dari kota Kecamatan Kabaena Tengah di Sikeli, yakni, kurang lebih 17 KM saja. Namun, dengan posisi desa yang berada paling ujung, membuat pembangunan infrastruktur agak tertinggal dibanding  dari desa-desa lain di Kabaena.  Terutama infrastruktur jalan yang mulai rusak serta longsor di beberapa titik. Kondisi yang membuat pengendara harus ekstra hati-hati melewati jalan rusak menanjak dan berjurang cukup dalam.
Sebelum mencapai Tangkeno, kita akan melalui perkampungan warga yang dibangun di perbukitan hingga ke kaki lembah. Sepanjang jalan wangi cengkeh menyebar menggoda hidung.  Suhu udara pun perlahan terasa mulai sejuk dan berangin. Di sepanjang jalan, dinding-dinding  bukit telah dipenuhi tanaman.

Tanah Tangkeno cukup subur untuk segala jenis tanaman. Suhu yang dingin membuat  tanaman jangka panjang seperti cengkeh, kopi, jambu mete, enau hingga kelapa leluasa tumbuh dan menghasilkan buah yang banyak. Beberapa warga, bahkan, pernah mencoba menanam pohon apel. Sayangnya, bibit pohon apel bantuan pemerintah itu sebagian besar mati akibat dimakan ternak kambing. “Mereka menanam tapi tidak menjaganya. Sehingga kambing leluasa memakan bibit  pohon apel,”ungkap Madjid. “Ada beberapa pohon apel  yang tumbuh besar, bahkan sempat berbuah, walau buahnya kecil-kecil,”kata Madjid.

Dulu, perkampungan ini bagian dari desa induk Enano. Tangkeno sendiri merupakan desa pemekaran dari Desa Enano. Pada awal pemekaran, Desa Tangkeno bernama Desa Enano di Tangkeno, sedangkan Desa induk disebut Desa Tangkeno di Enano. Perubahan nama dari Desa Enano di Tangkeno menjadi Desa Tangkeno terjadi pada tahun 2013. Mayoritas penduduknya berkerja sebagai petani. Sebagian lagi bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil dan pedagang hasil bumi.

Umumnya, penduduk Pulau Kabaena membangun pemukiman di lembah-lembah gunung yang terdapat aliran sungai dan sebagian lagi memilih bermukim di pesisir pantai. Di lembah, mereka menggarap tanah dan bercocok tanam. Sejak lama, tanah yang subur menjadikan sektor pertanian sebagai penyokong utama ekonomi warga Kabaena. Tak heran jika kerajaan buton saat itu menjuluki daerah ini dengan nama “kabaena” yang artinya negeri penghasil beras, meski orang-orang eropa lebih suka menyebutnya sebagai “comboina”. Orang-orang pribumi sendiri menyebut kampung halaman mereka sebagai tokotua. Nama “Tokotua Wonuanto” diabadikan warga di gerbang rumah berdampingan dengan tulisan nama desa dan kecamatan.  “Jadi Tokotua adalah nama lain dari Kabaena,”kata Abdul Madjid Ege.

Letak Desa Tangkeno berada di ketinggian, sekitar 650 meter dari permukaan laut (Mdpl), tepat di bawah kaki gunung Watu Sangia memiliki ketinggian 1100 Mdpl. Suhu udaranya cukup dingin.  Terlebih di bulan Oktober. Angin bertiup kencang, membuat atap-atap rumah seolah mau lepas dari jepitan. Di bulan itu warga menyiapkan jaket dan selimut tebal.  Di musim tertentu, awan akan sangat dekat dengan kepala Anda. Tak heran jika Desa Tangkeno dijuluki dengan nama “Negeri di Awan”. 


                                                     ***

Madjid Ege saat memberikan penjelasan kepada jurnalis yang tergabung dalam Aliansi Jurnbalis Independen (AJI) Kota Kendari dalam kegiatan trip jurnalis di Desa Tangkeno. foto: YOSHASRUL

 

Keindahan alam tangkeno membawa banyak orang asing mampir ke Tokotua. Mereka datang dari benua yang jaraknya bermil-mil, demi menikmati keindahan alam Tangkeno. Para turis mendapati kehidupan yang berbeda, berbicara dengan orang-orang lokal yang benar-benar beradat. Sebagai keturunan Mokole Kabaena, penduduk Tangkeno masih menjalani gaya hidup tradisional. Mereka berbicara dalam bahasa tradisional Tokotua, dan berladang sebagaimana yang dilakukan leluhur mereka selama berabad-abad. Pada hari-hari festival, mereka berkumpul di alun-alun untuk menonton tarian lumense yang diiringi oleh suara seruling dan tabuhan tambur. Lumense jenis tarian yang dibawakan para wanita tua dengan gerakan gemulai bak gadis belia.

"Dulu orang inggris dia datang ke Tangkeno, ada 25 orang pelajar termasuk gurunya. Saya tanya gurunya, kenapa kamu kasi sengsara itu anak-anak dengan berjalan kaki di Tangkeno? Dia jawab, saya sengaja supaya mereka tau bahwa alam itu seperti ini,"cerita Madjid Ege. 
Guru bule mengaku di negerinya tidak ada lagi alam seperti di Tangkeno. "Saat keluar rumah mereka langsung tertuju pada gedung-gedung tinggi,"cerita Madjid. Di Tangkono, turis asing menginap selama dua hari. Mandi di Sungai yang bening dan merasakan angin di ketinggian. Sebuah air terjun yang berjarak 3,8 KM dari Tangkeno menjadi lokasi wisata yang indah bagi turis. Di sana mereka mandi dan merasakan sejuknya hutan alam.
 


Masyarakat kabaena umumnya memilih membangun pusat-pusat pemukiman di lembah-lembah gunung yang terdapat aliran sungai maupun di pesisir pantai. Tanah yang subur memungkinkan pertanian sebagai penyokong utama ekonomi mereka. Tak heran jika kerajaan buton saat itu menjuluki daerah ini sebagai “kobaena” atau penghasil beras meski orang-orang eropa lebih suka menyebutnya sebagai “comboina”. orang-orang pribumi sendiri menyebut kampong halaman mereka sebagai tokotua.


Di masa lampau pada sekitar abad ke-16, kerajaan Tokotu’a atau kabaena yang berpusat di kaki gunung sangia wita bernama tangkeno, mencapai puncak kejayaannya. Kemakmuran tercipta seiring dengan tumbuh suburnya pertanian, yang dibarengi dengan berkembangnya khasanah budaya, seni dan kearifan lokal. Ironisnya, Setelah pemerintah memegang kendali kuasa atas segala kekayaan alam atas nama Negara, negeri kabaena justru terjerembab dalam kemiskinan yang akut.

Wartawan Senior Yamin Indas, yang juga putra kelahiran Tangkeno menulis, pulau Kabaena, di masa lampau merupakan pusat Kerajaan Moronene, salah satu etnis di Sultra. "Benteng Tawulagi, tempat pelantikan mokole (raja), merupakan bukti kuat bahwa Kabaena pernah menjadi pusat Kerajaan Moronene," kata tokoh budaya Kabaena, Abdul Madjid Ege. Menurut Madjid, ada beberapa benteng penunjang benteng utama Tawulaagi, yaitu Benteng Doule, Tontowatu, Mataewolangka dan Tuntuntari. "Benteng Tawulagi merupakan tempat pelantikan mokole, mataewolangka tempat mengintai musuh dari arah selatan, Benteng Doule tempat mengintai dari arah barat dan utara dan dua benteng penunjang lainnya masing-masing tuntuntari dan tontowatu merupakan tempat mengintai dari arah timur," katanya.

Di wilayah daratan tenggara Sulawesi sebagai asal muasal etnis Moronene Kabaena, tidak ditemukan benteng seperti di Kabaena. Itu membuktikan pusat Kerajaan Moronene memang di Kabaena, bukan di wilayah daratan. Di Benteng Tawulagi, kata Abdul Majid Ege, selain masih tampak batu besar dan agak tinggi tempat melantik Mokole, juga terdapat sebuah meriam besar. Dulu, kemungkinan besar untuk melawan penjajah Belanda maupun Tobelo."Tobelo merupakan sekelompok orang pada zaman dulu yang kerjanya sebagai perompak laut, bahkan tidak segan-segan merampas dan membunuh warga di daratan," katanya. 

Menurut Abdul Madjid, benteng-benteng di Kabaena diperkirakan didirikan pada tahun 1600-an yang digunakan sebagai tempat persembunyian dan tempat bertahan dari para musuh. 
Madjid sekali waktu diwawancara seorang turis berkebangsaan Inggris yang mampir ke Tangkeno. Madjid pun bingung karena disodorkan pertanyaan berbahasa Inggris. Namun, Ia tak patah semangat. Lelaki sepuh itu pun menjawab serius dalam bahasa Kabaena. Kontan si bule pun ikut kebingungan, karena Ia sama sekali tidak dapat berbahasa Kabaena. “Saya mau jawab apa? Saya tidak bisa berbahasa Inggris, jadi Saya jawab saja pakai bahasa Kabaena,”kata Madjid, disambut gelak tawa wartawan. *** (YOSHASRUL)

Share on Google Plus

About yoshasrul

    Blogger Comment
    Facebook Comment