Jejak Bencana Ekologi Konawe Utara


Hutan alam dirusak untuk kepentingan industri ekstraktif tambang dan perkebunan sawit. foto: YOSHASRUL
SULTRANEWS-Agak sulit memisahkan antara keberadaan 39 izin konsesi perkebunan sawit dan 136 izin pertambangan dengan banjir yang melanda Kabupaten Konawe Utara (Konut) saat ini. Apakah Pemda Konut dan Pemprov Sultra akan terus menerbitkan dan memperpanjang izin-izin  konsesi tersebut? Atau akankah pemerintah mencabut izin-izin yang menjadi penyebab bencana ekologis? Pernyataan ini ditulis Kisran Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Tenggara di laman facebooknya, beberapa jam setelah banjir menerjang Kabupaten Konawe Utara.

Bukan rahasia lagi jika selama ini para aktifis lingkungan di Sulawesi Tenggara kerap berteriak lantang menolak keberadaan aktifitas tambang dan perkebunan kelapa sawit di Konawe Utara. Tak sedikit himbauan dari para aktifis agar pemerintah Kabupaten Konawe Utara  segera melakukan penghentian total pemberian izin terhadap investor yang hendak berinvestasi di industry ektraktif. Namun saya pemerintah daerah Konawe Utara maupun Pemerintah Provinsi menutup rapat-rapat telinga mereka dan enggan mendengarkan teriakan para aktifis, hingga akhirnya bencana tiba Sabtu (16/7/2016) mata pemerintah baru terbelalak.

Sebanyak 12 desa di tiga kecamatan terendam banjir setinggi 1-2,5 meter. Sekitar 735 rumah terendam banjir. Sebanyak 1.354 jiwa mengungsi ke rumah dinas Bupati Konawe Utara dan sebagian di sekolahan. Kondisi ini membuat pemerintah Konut mengambil langkah darurat menangani bencana banjir di kabupaten Konawe Utara. Melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Konawe Utara bersama TNI, Polri dan SKPD unsur muspida Konut ini  mendirikan 2 pos pengungsian, tenda posko serta mulai distribusi makanan dan layanan kesehatan pada para korban banjir.

Banjir Konawe Utara sebagian disebabkan meluapnya sungai-sungai masih seperti Sungai Anggomate, Lalindu, Lasolo, Lahembua dan sungai-sungai kecil lainnya sehingga dapat banjir kembali. Kondisi hutan yang gundul akibat penguasaan lahan untuk perkebunan dan pertambangan diduga kuat sebagai penyebab terjadinya banjir di tahun ini.

Daerah-daerah yang terendam banjir meliputi :

1. Kecamatan Andowia terdiri; Kelurahan Andowia, Desa Anggolo Hipo, Desa Puusuli, Desa Labungga, Desa Anggomate, Desa Laronanga, Desa Larobende, Desa Puuwonua, Desa Almolameh, Desa Lamundowo, Desa Banggarema, Desa Lahembua),
2. Kecamatan Asera terdiri: Kelurahan Wanggudu, Desa Puuwanggudu, Desa Wanggudu Raya, Desa Tapuhuatu
3. Kecamatan Lasolo terdiri; Desa Otole dan Kelurahan  Tinobu.

 Tanah Bencana 

Catatan jurnalis lingkungan menelusuri jejak konversi kawasan hutan alam Konawe Utara yang disulap menjadi areal perkebunan sawit dan areal tambang memang cukup mencengangkan. Tanah-tanah dan hutan alam Konawe utara telah jatuh ke tangan investor setelah digadaikan pemerintah. Hutan yang selama beberapa dekade menjadi benteng pertahanan alamai bagi lingkungan sekitarnya seketika lenyap dan kini menjadi penyebab utama bencana ekologi.

Dalam perjalanan menuju Kabupaten Konawe Utara, hutan-hutan di sisi kiri dan kanan telah hilang, berganti hijau perkebunan sawit menghampar luas sejauh mata memandang. Deretan pepohonan sawit berjajar rapi mencapai belasanpuluhan ribu hektar membentang di jazirah konawe utara hingga keperbatasan provinsi sulawesi tengah. Pohon-pohon sawit ini milik sejumlah perusahaan yang kini menanamkan investasi di konawe utara. Hampir seluruhnya telah menghasilkan buah dan masih ada ribuan pohon lagi yang sedang masa peremajaan.

Namun jangan salah, ranumnya buah sawit tak semanis nasib warga konawe utara khususnya di Kecamatan Asera, Wiwirano dan Langgikima kini. Warga yang umumnya petani tengah diperhadapkan dilema yang cukup besar.

Hari-hari sepanjang belasan tahun dari era kepemimpinan Gubernur Kaimoddin hingga Nur Alam, dilalui warga dengan kepiluan. Janji-janji manis perusahaan yang akan mensejahterakan rakyat, kini berubah menjadi petaka, buah sawit yang selayaknya diproduksi menjadi minyak dan menghasilkan uang sama sekali tidak terbukti.

Warga terpaksa mengubur dalam-dalam impian manis itu karena buah sawit yang ranum dibiarkan membusuk. Warga menjadi buruh sampah di lahan mereka sendiri dan mau tidak mau harus memusnahkan buah sawit dengan cara dibakar.

Penantian panjang itu terkadang membuat masyarakat frustasi. Bukan saja karena warga diperhadapkan dilema pengelolaan buah sawit yang tidak bernilai ekonomi tetapi juga warga tidak lagi bisa memamfaatkan lahan mereka untuk bercocok tanam tanaman jangka pendek karena hampir seluruh lahan warga berdiam telah ditumbuhi pohon sawit.

Selama belasan tahun tanah konawe utara menjadi surga perkebunan sawit. Bahkan perkebunan sawit di konawe utara sendiri telah ada jauh sebelum daerah ini dimekarkan menjadi daerah otonom tahun 2007 silam. Saat itu konawe utara masih merupakan wilayah dari kabupaten konawe yang berpusat di unaaha. para pemilik perusahaan sawit berlomba-lomba ekspansi dan menanamkan modal ke daerah yang baru empat tahun mekar tersebut.

Mudahnya pemberian ijin dan pelepasan kawasan menjadi salah satu daya tarik para pengusaha sawit menanamkan investasi mereka.

PT Perkebunan Nusantara IV adalah perusahaan perintis yang membuka lahan perkebunan di asera tahun 1997 silam. Semenjak berinvestasi perusahaan milik negara itu belum menyediakan satu pun pabrik sawit. Berbagai alasan kerap dikemukan pihak perusahaan yang pada gilirannya tidak juga menguntungkan nasib warga petani.

Kondisi tersebut tentu jauh berbeda ketika pertama kali PT Perkebunan Nusantara datang. Mereka menjanjikan akan memproduksi minyak sawit serta akan mempekerjakaan ribuan tenaga kerja local. Namun seluruh janji-janji perusahaan tidak kunjung dipenuhi.

Alih-alih mensejahterakan rakyat kehadiran perkebunan sawit membawa imbas bagi masyarakat, warga terlanjur menyerahkan lahan-lahan mereka ke perusahaan untuk ditanami sawit. Ditambah lagi perusahaan menjerat masyarakat dengan kesepakatan.

Tak hanya perusahaan yang mengumbar janji dalam berbagai kesempatan pemerintah kerap mengelu-elukan keberadaan investor akan mensejahterakan rakyat. Tak heran pemerintah konawe utara sangat optimisme daerah yang baru empat tahun mekar tersebut akan maju pesat bersaing dagan daerah lainnya di sulawesi tenggara.

Perusahaan – perusahaan sawit dan tambang diharapkan menjadi andalan pemasukan pendapatan daerah serta menjadi lapangan kerja buat masyarakat konawe utara.

Untuk menjaring investasi pemerintah konawe utara membuat sejumlah kemudahan bagi para investor diantaraya kemudahan perijinan. Ini ditandai dengan lahirnya sejumlah perijinan pinjam pakai kawasan. Sayangnya kemudahan perijinan pada perusahaan hanya menguntungkan para oknum pejabat pemerintah dan berimbas pada merosotnya pendapatan daerah. Ini diakui sendiri oleh pejabat bupati konawe utara.

“Seyogyanya kehadiran perusahaan-perusahaan perkebunan sawit dan pertambangan dapat mensejahterakan daerah tersebut, namun faktanya hingga kini daerah tersebut masih saja menjadi daerah terbelakang dan miskin di banding daerah lain di sulawesi tenggara,”ungkap Kisran Makati, Eksekutif Daerah Walhi Sultra.

Saat ini terdapat lima perusahaan sawit yang mengolah kurang lebih 12.000 hektar lahan sawit yang membentang di seluruh wilayah konawe utara. Dalam prakteknya, seluruh perusahaan-perusahaan menerapkan dua pola intensifikasi lahan inti dan plasma yang seluruhnya telah melalui proses sertifikasi.
Lahan-lahan warga yang telah sertifikasi tersebut telah pula diagunkan perusahaan ke berbagai bank di indonesia sebagai prasyarat mendapatkan pinjaman lunak dana perbankan. Praktek ini merupakan satu dari sekian modus operandi perusahaan sawit mengeruk keuntungan. Modus lainnya yakni mengajukan pinjam pakai lahan di hutan produksi yang memiliki kayu melimpah. Dari kayu-kayu hasil tebangan tersebut dijual secara ilegal ke pasar gelap.

Kehadiran perkebunan sawit tidak sepenuhnya memberikan kesejahteraan, tetapi sebaliknya membawa malapetaka bagi masyarakat. Umumnya warga pemlik lahan hanya menjadi obyek pelengkap penderita saja. Masyarakat nyaris tidak diberi hak atas kehadiran perusahaan.

Idealnya, masyarakat diberikan bagian dari aset perusahaan karena selain sebagai pemiliki lahan, warga memiliki peran menjaga sekaligus menjadi pekerja. Perusahaan sawit justeru mermarginalkan keberadaan masyarakat khususnya petani.

Ironisnya, pemerintah yang diharapkan menjadi mediator komunikasi antara perusahaan dan warga juga tak mengambil peran. Justeru cenderung menjadi pihak yang yang ikut berkolaborasi dengan perusahaan. Ini dapat dilihat dari perjalanan sawit di asera. Berkali-kali masyarakat meminta pemerintah menjembatani permasalahan, tapi tidak pernah mendapat tanggapan serius, bahkan terkesan tidak peduli.

Kehadiran perusahaan ibarat bom waktu bagi masyarakat. Selain merubah pola hidup ekonomi masyarakat, ekspansi perusahaan-perusahaan sawit telah melahirkan konflik baru, terutama masyarakat adat dan perusahaan. Protes yang dilayangkan masyarakat adat Sambawa (Sabandete Walandawe) di Kecamatan Asera menjadi contoh kerasnya perlawanan rakyat atas kehadira perusahaan sawit di jazirah konawe utara.
Warga terpaksa membakar dan menebang seluruh pohon kelapa sawit yang dicaplok perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Sultra Prima Lestari.

Tindakan massa petani tersebut dipicu sikap sawit PT Sultra Prima Lestari yang hingga kini terus memperluas lahan perkebunan mereka sehhingga mencamplok tanah adat di dua desa tersebut. Warga bersama tokoh adat telah berkali-kali mengingatkan agar pihak perusahaan agar segera menghentikan aktifitas penenaman namun tidak diindahkan.

Kehadiran polisi yang seharusnya menjadi penengah konflik juga tidak menguntungkan masyarakat adat, bahkan cenderung menjadi memihak pada perusahaan.

Masyarakat adat sebagaimana yang diatur dalam undang-undang, merupakan satu kesatuan hukuma adat yang masih berkembang dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat yang mendiami daerah sambandete-walandawe adalah yang dimaksud oleh undang-undang karena keberadaanya telah lama jauh sebelum bangsa Indonesia merdeka.

Tetapi terkesan diabaikan oleh pemerintah khususnya bupati konawe utara. Dalam proses penyelesaian sengketa tanah adat sambandete-walandawe yang telah di serobot oleh PT Sultra Prima Lestari (perkebunan sawit) dan PT Pertambangan Bumi Indonesia (tambang nikel) prosesnya lambat dan berlarut-larut.
Kesepakatan antara pemerintah dengan masyarakat adat sambawa semua aktifitas perusahaan diatas tanah akan di hentikan. Ini diperkuat pula hasil peninjauan DPRD kabupaten konawe utara di lokasi tanah adat dan ditemukan bukti-bukti kebenaran jejak sejarah adat adat sambawa yang secara turun-temurun dimanfaatkan masyarakat secara arif dan berkelanjutan.

“Kami saat itu, secara kelembagaan DPRD Kabupaten Konawe Utara telah mengirimkan surat ke pihak eksekutif , bupati untuk menerbitkan surat keputusan untuk mengakui lahan tersebut sebagai tanah adat masyarakat adat sambandete-walandawe,”ungkap Raup, mantan Ketua DPRD Konawe Utara yang kini menjabat sebagai Wakil Bupati Konawe Utara. Sayangnya perjuangan masyarakat adat memperjuangkan hak-hak mereka tidak kunjung terpenuhi , bahkan kesepakatan antara masyarakat adat dan pemerintah tesebut tidak diindahkan perusahaan dan semakin memperluas areal konsesi sawit mereka.

Pembukaan puluhan ribu areal sawit di Kecamatan Wiwirano dan Kecamatan Asera telah berdampak luas pada rusaknya kualitas lingkungan hidup. Tak hanya persoalan hilangnya akses ekonomi masyarakat terhadap alam tetapi jauh dari itu pembukaan lahan telah menyebabkan hilangkan keseimbangan ekosistem hutan.

Dapat dibayangkan berapa banyak jenis kayu kayu yang hilang dan berapa ribu jenis flora fauna yang musnah saat pembukaan areal sawit. Pembukaan areal sawit lebih sporadis dari perusahaan HPH yang menggunakan pola tebang pilih pembukaan areal sawit benar-benar menghilangkan fungsi hutan dengan system babat habis. Kondisi ini berdampak terjadinya banjir yang melanda pemukiman penduduk konawe utara setiap tahun. Bahkan pada tahun 2007 silam tercatat sejumlah desa di kecamatan asera luluhlantak dihantam banjir bandang yang mengorbankan harta benda masyarakat.

Catatan dinas kehutanan sultra dari sekitar 300 ribu hektar hutan konawe utara hampir seluruhnya telah dikapling untuk pembukaan areal pencadangan termasuk untuk lahan sawit.

Dinas Kehutanan Sulawesi Tenggara sendiri merasa tidak setuju dengan pembukaan lahan sawit karena tidak memperhatikan aspek ekologi. Pembukaan areal sawit tidak hanya berada di dataran dengan kemiringan lebih dari 35 derajat tetapi juga telah memasuki area kawasan hutan produksi dan hutan lindung.

Karena itu juga pihak kehutanan mencurigai dari sekitar 200 ribu hektar rencana pembukaan lahan sawit di sultra hanya separuhnya yang benar-benar kebun sawit. Sisanya pohon-pohonnya ditebang dan lahannya dibiarkan terlantar. Contoh paling kongkrit adalah lahan sawit wiwirano yang kini terlantar tanpa hasil.
Sebagaimana diatur dalam pp nomor 34 tahun 2002 tentang tata cara pelepasan lahan maka seharunya dimulai dengan tahapan pengusulan investor sawit yang diajukan bupati selaku kepala daerah kabupaten yang selanjutnya direkomendasikan oleh gubernur dan diteruskan ke menteri kehutanan.

Bila mengacu mekanisme tersebut, maka dipastikan hampir seluruh perusahaan sawit yang saat ini beramai-ramai melirik sulawesi tenggara untuk menanamkan investasi tidak ada yang memenuhi standar.
Ironisnya pemerintah kabupaten berusaha memaksakan kehendak mereka untuk tetap memberi ijin pembukaan lahan sawit, tanpa melakukan control lebih mendalam terhadap apa yang sementara dilakukan perusahaan di lapangan.

Bencana yang Sabtu (16/7) melanda adalah banjir yang kesekian kalinya selama kurang lebih dua dekade di Konawe Utara. Banjir besar juga pernah terjadi sekira tahun 2007, 2013 dan 2014 silam yang merendam dan menghancurkan rumah-rumah warga. Seiring terus terjadinya  perluasan sawit di konawe utara membuat Walhi mendesak pmerintah segera melakukan moratorium atas segala perijinan perusahan sawit. ***


Share on Google Plus

About yoshasrul

    Blogger Comment
    Facebook Comment