Pulau wawonii. foto: KAMPOENG PETA/Aries Nobi |
KONKEP, SULTRANEWS-Belukar tumbuh subur di hamparan tanah, tak jauh
dari sungai Ladianta. Beberapa pohon kayu keras tubuh di sana. Dalam
hitungan tahun kawasan tersebut segera menjadi hutan alam. Tak ada yang
mengetahui jika 10 tahun silam tempat ini pernah menjadi lumbung beras bagi
desa Ladianta. Ketika itu, petani tidak menanam padi biasa, melainkan padi
kualitas baik yang menghasil beras
merah. Petani cukup sejahtera, beras
surplus hingga dipasik ke daerah-daerah sekitar.
Tapi
itu dulu. Saat petani aktif mengolah
sawah tadah hujan (padi lading) di areal sekitar 350 hektar. Karena potensinya,
Pemerintah Provinsi Sultra yang kala itu masih dipimpin Ali Mazi
menggelontorkan dana yang tidak sedikit untuk membangun bendungan irigasi. Bantuan
pemerintah Ali Mazi tentu disambut gembira oleh petani kala itu. Setidaknya,
dibenak para petani telah tergambar, dengan dibangunnya bendungan irigasi, maka
sawah akan mendapat pasokan air yang cukup
dan mengakhiri praktik persawahan tadah hujan. Selain itu kehadiran irigasi diharapkan akan menambah
luas areal sawah baru.
Pemerintah bahkan telah dua kali berniat
merubah ladang petani menjadi
areal persawahan dengan membangun satu unit bendungan yang
memanfaatkan aliran sungai Laawawonii dan sungai Ladianta. Terakhir
pemerintah provinsi Sultra
bekerjasama dengan pemerintahan Kabupaten Konawe telah merekonstruksi kembali
ladang yang jadi kebanggaan petani Ladianta saat itu.
Namun
siapa sangka, harapan petani akan hadirnya irigasi justeru berubah jadi petaka. Proyek irigasi inilah
yang kemudian ‘membunuh’ kehidupan petani Ladianta hingga kini.
Hasil penelusuran anggota LSM Komnasdesa_Sultra ditemukan bahwa, pembangunan
proyek irigasi bernilai miliaran rupiah ini diduga menyalahi bestek, karena posisinya
yang lebih rendah dari areal persawahan. “Bagaimana sawah bisa dialiri, kalau bangunan
irigasi lebih rendah dari persawahan,”ujar Nunu, warga Ladianta. Sebelum ada
irigasi, petani masih dapat memanfaatkan suplai air dari dari langit alias
tadah hujan.
Saat
itu warga sempat mengajukan protes, namun tidak didengar. “Saat anggota dewan
reses, kami sempat sampaikan masalah
ini, saat itu aspirasi ditampung dan mereka berjanji akan perjuangkan, tapi janji
mereka tidak kunjung ada kejelasan hingga kini,”kata Nunu, sedikit kesal.
Kendati
menghabiskaan dana negara tapi aparat penegak hokum urung mengusutnya.
Petani
Ladianta sempat berusaha bangkit dengan kembali menerapkan system pertanian tadah
hujan. Namun upaya petani tak bertahan lama, akibat kondisi anomaly cuaca. Termasuk mencoba peruntungaan dengan menanam
tanaman palawija.
Seperti
diungkapkan Patah,
warga Ladianta, yang juga pernah menjadi petani ladang ini, menambahkan,
bahwa, dulu setelah musim
panen padi berakhir, masyarakat juga sempat
menanam
tanaman polong-polongan seperti kacang hijau. “Saat itu cukup berhasil, pemasarannya pun sampai
ke beberapa daerah di kabupaten Buton terutama di Pulau Binongko,”ungkapnya. Kini
kembali bergelut sebagai petani kebun dan merawat
tanaman mereka seperti jambu
mete, pala, cengkeh dan kakao.
Perawatan yang
intensif akan komoditas-komoditas baru ini menjadikan masyarakat di wilayah ini
mulai meninggalkan areal padi mereka. Perawatan jambu mete misalnya, jelang
masa panen para petani dituntut untuk melakukan pembersihan lahan terutama
disekitar tumbuhnya komoditas tersebut. Hal ini selain untuk merangsang proses
pembuahan, tindakan ini juga dilakukan untuk menggampangkan proses pemungutan
buah yang jatuh ke tanah. Tindakan ini juga cukup menyita waktu yang sangat
besar.
Hal-hal inilah
yang kemudian disinyalir sebagai penyebab mengapa petani mulai meniggalkan
padi. Disamping itu, harga jual komoditas baru tersebut tergolong cukup
menjanjikan dibandingkan harga beras.
Sejak saat itu
profesi masyarakat mulai berubah, yang tadinya mereka juga adalah petani padi
ladang, spontan berubah dan lebih focus menggeluti
profesi sebagai petani jambu mete, cengkeh, pala dan kakao yang sudah duluan ada.
Bahkan sebagian dari mereka telah menjadi pengumpul-pengumpul lokal. Pasaran
untuk komoditas-komoditas ini pun sudah lakukan di Kota Kendari, bekerjasama
dengan para pemilik kapal dengan sistem
penyewaan yang serupa dengan desa-desa lain di Pulau Wawonii.
Kini
nasib sawah Ladianta terbengkalai dan tidak lagi dapat diolah. Begitu pula
nasib bendungan irigasi yang terletak di hulu sungai Ladianta kondisinya dalam
kondisi kering kerontang dan sebagian bangunan sudah hancur. Yang lebih miris, akibat
ulah kontraktor yang membangun irigasi
tanpa prosedur telah ikut mematikan nasib sekitar dua ratusan petani di
sana.
Sejarah Ladianta
Membahas soal
Ladianta, sama halnya mengupas sejarah peradaban silam pulau Wawonii. Walau
telah berubah status menjadi kelurahan, desa yang dahulu bernama Ladianta telah
berperan menjadi gerbang masuknya berbagai budaya dari daerah-daerah di luar
pulau Wawonii. Posisinya yang sangat strategis berhadapan dengan laut Banda,
menjadikan wilayah ini sebagai tempat persinggahan beberapa petualangan dari
daerah lain seperti Buton, Bungku dan Tolaki.
Di sisi lain, ketersediaan
suplai air sungai yang mengalir jatuh dari pegunungan Waworete semakin
mempertinggi tingkat kesuburan hamparan-hamparan tanah di wilayah ini.
Bagaimana tidak, adanya dua aliran sungai besar di daerah ini telah memberikan
ke-berlimpahan hasil bumi bagi masyarakat sekitarnya. Sehingga manusia-manusia
yang dahulu hadir pertama kali di Wawonii, memilih Ladianta sebagai daerah
hunian yang cocok dan menjanjikan. Kedua sungai tersebut adalah sungai Laawawonii
dan sungai Ladianta yang hingga kini masih berkontribusi besar terhadap
kelangsungan hiidup orang-orang di Desa Ladianta (sekarang Kelurahan Ladianta)
dan desa-desa sekitar.
Pak Patah (70
tahun) – tokoh adat – menjelaskan bahwa Ladianta adalah pusat peradaban
Wawonii. Tempat lahirnya situs kerajaan Wawonii. Pada awal berdirinya, wilayah
Ladianta merupakan induk dari desa-desa lain – kini sudah berdiri sendiri,
yaitu: desa Dimba, Mata Dimba, Puurau, Patande, Noko, Tangkombuno, Bahobubu,
Watu Ondo dan desa Bangun Mekar.
Sebagai desa
yang terbentuk atas beragam peristiwa sejarah, penemaannya pun lahir atas nama
sejarah. Kata “Ladianta” berasal dari kata “Ladi”, dalam bahasa lokal
Wawonii berarti “Keris” dan “Anta” berarti pohon (sumber lain
mengatakan bahwa “anta” berarti tungku – wawancara dengan
warga Langara atas nama Bisman di atas kapal dalam perjalanan dari Kendari
menuju Langara).
Penamaan daerah
ini sebagai desa ladi atau keris bukan tanpa alasan. Menurut cerita yang
berkembang di masyarakat, kerislah – yang tertanam di bawah tungku - yang menjadi fakta penegas kemenangan orang
Buton dalam perseteruan politik dengan orang Bungku perihal siapa yang pertama
kali menemukan dan memasuki pulau Wawonii. Sehingga secara istilah, Ladianta merupakan sebuah daerah
dibenamkannya keris sebagai pembenaran atas klaim bahwa orang Buton-lah yang
lebih dahulu menemukan Wawonii. Ladianta adalah lokasi yang dahulu menjadi
tempat berlangsungnya perselisihan dengan orang Bungku.
Ditelusur lebih
jauh tentang siapa orang-orang yang berseteru tersebut, Samsudin – Tokoh Adat
Lebo – menyebutkan bahwa orang Bungku yang dimaksud bernama Pasoro
sedangkan orang Buton bernama La Saumala (anggota rombongan Haji
Pada – salah satu petinggi di Kesultanan Buton). Pasoro datang ke Pulau Wawonii
setelah mengamati dari seberang (Pulau Minui) bahwa ada sebuah pulau di sebelah
Selatan Pulau Minui yang hanya ditumbuhi oleh beberapa pohon kelapa. Sementara
La Saumala mengetahui adanya Pulau Wawonii, dalam pelayarannya menuju Ternate
bersama rombongan Haji Pada.
Dikisahkan oleh
Samsudin bahwa dalam pelayarannya ke Ternate, La Saumala memilih mampir ke
Wawonii dan berpisah dari rombongan lain sekaligus menghindari kondisi cuaca
yang tidak stabil pada saat itu. Beliau pertama kali melabuhkan perahunya di
daerah Bobolio (Wawonii Selatan). Konon kata Bobolio sendiri berasal
dari ucapan La Saumala ketika pertama kali menancapkan tonggak kayu yang
berfungsi sebagai sauh tempat mengikat tali perahunya. Beliau berkata “Boli”
(Bahasa Wolio: berarti jangan), kurang lebih maksudnya adalah jangan ada yang
mencabut tonggak labuhan perahunya.
Dari Bobolio, La
Saumala berjalan menyusuri pesisir dan akhirnya tibalah di daerah Ladianta.
Setibanya di Ladianta, La Saumala menemukan tungku bekas tempat memasak Pasoro
yang juga telah hadir di daerah ini. Melihat fenomena ini, La Saumala
langsung membenamkan keris di bawah tungku bekas tempat masak tersebut. Singkat
cerita, inilah yang kemudian menjadikan sengketa antara Pasoro dan La Saumala.
Sehingga sampai hari ini, nama wilayah ini disebut sebagai “Ladianta”.
Masih menurut
Samsudin, jauh setelah kejadian tersebut hadir pula petualang suku Tolaki
bernama Latomau dari daerah Besulutu (Kab. Konawe). Dalam perjalannya
ke Wawonii, beliau melewati daerah Langkaroni (Buton Utara) menuju Desa Kekea
(Wawonii Tenggara). Karena kondisi alam Kekea yang tandus, memaksa Latomau
mencari daerah subur sebagai hunian yang cocok. Maka ia memilih menyusuri hutan
melewati Lembono (Lebo Raya) dan menetap tinggal di belantara hutan Ladianta.
Bahkan pada
decade-dekade terakhir, Ladianta masih menjadi daerah persebaran etnis-etnis
lokal. Sebagaimana dijelaskan oleh Samsudin bahwa sebagian besar penduduk di
Ladianta adalah orang-orang Palingi (Wawonii Utara) yang memilih menghindar
dari desa asalnya karena tingginya suhu politik pada masa itu.
Atas beragam
peristiwa ini, menjadikan nama Ladianta cukup berpengaruh di zamannya. Ladianta
dijadikan sebagai induk dari desa-desa yang lain. Kini hampir genap 2 tahun,
Ladianta telah berubah status menjadi kelurahan dan masuk dalam wilayah
Kecamatan Wawonii Timur Laut. Kecamatan ke tujuh (terakhir kali terbentuk) yang
dibentuk pada saat menjadi bagian dari Kabupaten Konawe. Etnisnya pun masih
didominasi oleh etnis lokal, sebagian adalah etnis Buton yang sudah sangat lama
berketurunan di sini.
Oleh pemerintah
Kabupaten Konawe Kepulauan, Takwin
ditunjuk sebagai pelaksana lurah Ladianta sampai sekarang, membawahi kurang
lebih 100 kepala keluarga, yang sebagian besar masyarakatnya menggantungkan
hidupnya pada sector pertanian.
Menurut Patah –
tokoh adat- bahwa sejak dahulu wilayah ini tidak pernah mengalami kekurangan
pangan. Hampir sebagian besar masyarakatnya memiliki ketersediaan pangan yang
cukup. Berkat pertanian, banyak dari generasi Ladianta mampu menempuh
pendidikan sampai ke jenjang tinggi. Sehingga banyak dari mereka saat ini
menempati pososi-posisi birokrasi baik di tingkat kabupaten maupun di tingkat
provinsi Sultra.
Masih menurut
Patah, dahulu komoditas unggulan di wilayah ini adalah kelapa (kopra). Sejak
akhir tahun 1950 sampai akhir tahun 1980-an, beliau dan sebagian orang-orang di
desa ini telah menjual kopranya hingga ke pasar Surabaya. Bermodalkan perahu
layar milik pelaut-pelaut Batu Atas (Buton), mereka berangkat ke Surabaya
menempuh waktu 3 – 4 minggu.
Hampir tiap
tahun pada masa itu, mereka bolak balik sebanyak 3 kali memuat kopra dengan
kapasitas rata-rata 2 sampai 5 ton sekali jalan. Ketika masuknya pemberontak
DI/TII di Wawonii, para pedagang kopra memilih jalur aman menuju Wanci
(Wakatobi) sebelum bertolak ke Tanjung Perak Surabaya.
Dijelaskan pula
oleh Patah – pedagang kopra saat itu – bahwa “toke” atau bos mereka
pada saat itu bernama Tanjung (orang
Batu Atas), seorang bekas pejuang kemerdekaan Republik Indonesia. Bukan hanya Surabaya,
mereka pun pernah memasarkan kopranya sampai ke Pasuruan, Gresik, Banyuwangi dan terakhir adalah Jakarta ketika kapal Pelni (KM. Rinjani) sudah mulai beroperasi di
Sultra.
Berkat hasil
penjualan kopra, mereka mampu menyekolahkan anak-anaknya dan mampu membiayai
perongkosan haji kedua orang tua mereka. Diceritakan oleh pak Patah bahwa ada sekitar
50 orang jamah haji asal Ladianta yang berangkat dan dibiayai dari hasil
penjualan kopra (tahun 1970 – 1980-an). (Firman-Erik- Yos - Imanche Al Rachman)
Blogger Comment
Facebook Comment