LEPMIL: Tunda Perda, Pemda Bombana Langgar Hak Asasi Masyarakat Adat



BOMBANA, SULTRANEWS- Lembaga Pengembangan Masyarakat Pesisir dan Pedalaman (LePMIL) menyerukan kepada Pemerintah Kabupaten Bombana untuk tidak menunda lagi pembuatan Peraturan Daerah (Perda) tentang pengakuan Masyarakat Adat Etnis Moronene di Kampo (kampung) Hukaea Laea, Bombana, Sulawesi Tenggara. 

Menurut LePMIL, Pemerintah Daerah telah melakukan upaya pelanggaran Hak Asasi Manusia jika tidak segera menerbitkan Perda untuk memberikan perlindungan hukum terhadap masyarakat adat yang tinggal di wilayah mereka. 

Konsultasi publik untuk membahas rancangan naskah akademik untuk usulan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Bombana tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Adat Moronene Tobu Hukaea Laea, sudah dilakukan pada Rabu, 11 Maret 2015, di Kantor Bupati Bombana, Sulawesi Tenggara. 

“Setiap warga negara Indonesia, termasuk masyarakat adat, berhak mendapat pengakuan dan perlindungan hukum, dimanapun mereka tinggal. Saat ini, konflik sangat rentan terjadi antara masyarakat adat Moronene Hukaea Laea dengan pihak lain karena keberadaan mereka tidak diakui secara hukum, termasuk dengan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai sebagai institusi pengelola wilayah taman nasional,” kata Sarmin Ginca, Senior Program Development LePMIL, LSM lingkungan yang berbasis di Kendari. 

Sarmin menambahkan, bahwa Perda yang diusulkan sudah sesuai dengan dasar hukum pengakuan masyarakat Adat yang tercantum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X tahun 2012 dan Permendagri No. 52 tahun 2014.

Sejarah konflik antara masyarakat adat Moronene di Hekaea Laea dengan pihak Taman Nasional sendiri cukup panjang. Pada tahun 1997 hingga 2000, misalnya, disinyalir terdapat upaya tahunan untuk mengusir masyarakat adat dari wilayah Taman Nasional. Sekitar 13 orang anggota masyarakat adat ditahan atas tuduhan perambahan dan merusak kawasan konservasi. 

“LePMIL mendorong Pemda Bombana untuk segera mengesahkan Peraturan Daerah tentang masyarakat adat ini. Perda ini adalah sebuah bukti bahwa Pemerintah Daerah Bombana menepati komitmennya untuk memastikan Hak Asasi Manusia tidak dilanggar,” tambah Sarmin.  

Konsultasi publik dengan para pemangku kepentingan terkait ini juga merupakan upaya lanjutan untuk mendorong pengakuan akan masyarakat adat yang telah dimulai sejak tahun 2000-an. Masyarakat adat Moronene Hukaea Laea percaya bahwa keseimbangan alam wajib dijaga. Kearifan lokal yang turun temurun dipertahankan ini membuat kawasan konservasi tetap terjaga dan lestari. 

“Keberadaan masyarakat adat di dalam kawasan Taman Nasional justru dapat menjadi keuntungan.  Mereka, dengan kearifan lokalnya, membantu mengeliminasi risiko perambahan liar di dalam kawasan konservasi yang kerap dilakukan oleh pihak luar,” tambah Erwin, pendamping masyarakat adat. 

Sarmin memastikan bahwa pihaknya dan jajaran LSM lain akan mengapresiasi langkah Pemda dalam melindungi nasyarakat adat dan berkomitmen untuk bersama-sama mendorong perdamaian serta meningkatkan taraf hidup masyarakat adat Ukaya. 

Saat ini, tercatat sebanyak 110 kepala keluarga atau sekitar 400 orang masyarakat adat Moronene Tobu Hukaea Laea yang tinggal di dalam wilayah Taman Nasional Rawa Aopa Matumohai seluas 105.192 hektar di Sulawesi Tenggara. Melalui Peraturan Daerah yang diusulkan, masyarakat adat diharapkan dapat diakui keberadaannya dan dizinkan untuk menempati dan ikut menjaga serta melestarikan 1/5 dari total wilayah Taman Nasional.
 Beberapa masyarakat adat lainnya yang telah diakui keberadaannya secara hukum diantaranya adalah Suku Malinau di Provinsi Kalimantan Timur dan Suku Wana, di Morowali, Sulawesi Tengah. (BADAR)
 
Share on Google Plus

About yoshasrul

    Blogger Comment
    Facebook Comment