Pekerja di ruang pamer Dewan Kerajinan Nasional Daerah Sulawesi Tenggara memperlihatkan beragam produk perhiasan perak khas Kota Kendari yang dikenal sebagai Kendari Werk. Foto : Kompas/Mohamad Final Daeng. |
Sudah 13 tahun terakhir toko perhiasan Diamond milik Kamal di daerah sibuk Mandonga, Kendari, tak lagi memproduksi kerajinan perak khas Kendari Werk. Ia pun kini hanya memajang beberapa perhiasan stok lama sisa produksi, termasuk miniatur pinisi tadi.
”Sudah tak ada lagi pekerjanya,” ujar Kamal, akhir Maret lalu. Sebelumnya, ia memiliki 14 perajin Kendari Werk, tetapi satu per satu berhenti atau beralih ke profesi lain. Hal ini juga sebagai dampak dari lesunya penjualan perhiasan jenis itu di tokonya.
Kamal sebenarnya masih ingin meneruskan memproduksi kerajinan perak asli Kendari itu. Meskipun tak sering, masih ada pelanggan atau rombongan turis yang datang menanyakan Kendari Werk.
Namun, ia terkendala dalam mencari tenaga perajin baru. Pasalnya, tak sembarang orang bisa menguasai pembuatan Kendari Werk yang terkenal rumit itu. Selain membutuhkan jiwa seni dan keterampilan tinggi, perajin juga harus tekun, teliti, dan sabar.
Kekurangan perajin juga dialami Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Sulawesi Tenggara, seperti yang diakui Ketua Dekranasda Sultra Tina Nur Alam. Sejak 1985, Dekranasda Sultra menjadi rumah pelestarian Kendari Werk yang hingga kini masih rutin memproduksi dan memasarkannya.
Para perajin direkrut dan dilatih Dekranasda Sultra dengan prospek pengangkatan mereka sebagai pegawai negeri sipil. Selain menerima gaji tetap, para perajin juga memperoleh tambahan upah dari setiap produk yang dihasilkan.
Meski begitu, tetap tidak mudah untuk merekrut orang dengan keterampilan dan kemauan untuk menekuni pembuatan perhiasan yang rumit itu. ”Kami membutuhkan paling tidak dua kali lipat perajin dari 15 perajin yang ada saat ini,” ujar Tina.
Hal itu demi mengikuti permintaan pasar akan produk Kendari Werk sambil tetap mempertahankan teknik dan proses pembuatan yang sepenuhnya mengandalkan keterampilan tangan perajin. ”Hal itu yang menjadi nilai tambah dan ciri khas Kendari Werk dibandingkan kerajinan-kerajinan perak lainnya,” ujar Tina.
Wantamori (50), koordinator perajin Kendari Werk di Dekranasda Sultra, mengatakan, selama bertahun-tahun sudah banyak orang yang direkrut menjadi perajin, tetapi banyak pula yang kemudian berhenti karena tak kerasan menekuni kerajinan itu. Dari 20 orang pertama yang direkrut Dekranasda pada 1985, hanya Wantamori yang masih bertahan.
Kerajinan ini rumit dan membutuhkan ketelatenan.
-- Wantamori
Makin besar ukuran barang dan rumit motifnya, makin lama waktu yang dibutuhkan untuk membuatnya. Wantamori pernah membuat sebuah miniatur kapal pinisi yang memakan waktu pengerjaan sebulan.
Proses panjang
Proses bermula dari peleburan bahan baku perak dan dicetak menjadi batangan seukuran jari orang dewasa. Setelah itu, batangan tersebut ditempa dan kemudian ditekan dengan alat pres yang diputar dengan tangan.
Setelah menjadi bentangan panjang, perak lalu ditarik dengan alat khusus untuk dibentuk menjadi kawat atau benang panjang. Ukuran yang bisa dihasilkan bervariasi, dari mulai yang terbesar, yakni 2,2 milimeter, hingga yang paling tipis 0,26 milimeter.
Kawat biasanya dijadikan kerangka atau bingkai perhiasan yang akan dibuat, sedangkan benang yang berukuran tipis menjadi bahan pengisi motif perhiasan atau kerawangnya. ”Harus berhati-hati dan memakai perasaan saat menarik perak menjadi benang. Kalau putus, perak harus dilebur ulang dan proses dimulai dari awal lagi,” kata Wantamori.
Benang lalu dipelintir untuk menciptakan kontur bergerigi yang indah. Proses lalu berlanjut dengan pembentukan kerangka perhiasan. Setelah kerangka jadi, barulah pengisian motif atau benang-benang perak bisa dilakukan. Di sinilah kerumitan makin bertambah.
Mimi (26), perajin spesialis pengisi kerawang, mengatakan butuh waktu seharian hanya untuk membuat kerawang sebuah bros kecil. Perlu ketelitian tinggi dan mata yang awas agar benang yang halus itu terjalin rapi di dalam kerangka.
Setelah selesai pengisian kerawang, perhiasan memasuki tahap akhir berupa penggosokan dan pemolesan untuk mengeluarkan kilau peraknya. Produk pun kemudian siap dipasarkan.
Proses produksi yang rumit dan minimnya perajin menjadi kendala penghambat berkembangnya Kendari Werk di Kendari. Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan UKM Kendari Syam Alam mengatakan, kurangnya minat perajin juga disebabkan banyak perajin yang lebih memilih mengolah emas ketimbang perak.
Hal itu karena margin keuntungan membuat perhiasan emas lebih besar ketimbang perak dengan keterampilan dan tenaga yang relatif sama. Contohnya, dengan harga perak mentah Rp 25.000 per gram, harga jual kembali dalam bentuk perhiasan jadi hanya berkisar Rp 40.000 per gram.
”Margin Rp 15.000 per gram tidak sebanding dengan tenaga, kesulitan, dan waktu yang dibutuhkan perajin. Berbeda dengan emas yang bisa mencapai ratusan ribu rupiah,” kata Syam.
Saat ini terdapat tiga kelompok perajin Kendari Werk di luar Dekranasda Sultra yang masih bertahan. ”Kemampuan produksinya per tahun hanya 2-3 kilogram perak,” katanya.
Pemerintah Kota Kendari terus berupaya mempertahankan perajin yang tersisa dengan mengirimkan mereka mengikuti pelatihan-pelatihan. Dari segi pemasaran, Syam mengatakan pihaknya membantu dengan menyalurkan produk-produk Kendari Werk sebagai cendera mata.
Saat ini, Kendari Werk dipasarkan di ruang pamer Dekranasda Sultra, Dekranasda Kendari, kios di Bandara Haluoleo, dan salah satu toko penjual oleh-oleh di Kendari.
Masalah pemasaran jugalah yang awalnya membuat perajin Kendari Werk berbondong-bondong hijrah ke berbagai kota besar di Tanah Air, terutama Makassar, pascakemerdekaan.
Posisi Kendari yang bukan sebagai sentra perekonomian nasional ataupun regional serta tidak pula berstatus kota pariwisata membuat pemasaran produk premium tersebut seret. Hal itu berbeda jauh dengan nasib kerajinan perak di kota seperti Yogyakarta, Bali, ataupun Makassar yang ditopang kuatnya perekonomian lokal dan industri pariwisata.
Kapan Kendari Werk bisa kembali berjaya...? (Mohamad Final Daeng/Kompas)
Blogger Comment
Facebook Comment