![]() |
Hutan dan kelokan sungai di Papua. Foto : Marwan Azis/Beritalingkungan.com |
Menurut mereka moratorium
telah menjadi lemah akibat lobi industri dan bahkan beberapa kementerian
termasuk Kementerian Kehutanan.
Analisa terbaru
Greenpeace terhadap peta moratorium terakhir menunjukkan bahwa SK Menhut
Nomor 458 tahun 2012 tentang perubahan peruntukkan kawasan hutan
menjadi bukan kawasan hutan dimana hampir 600.000 ha hutan di Provinsi
Papua berpotensi untuk dibuka, jika Moratorium dibiarkan berakhir. SK
tersebut mengubah 376,535 ha kawasan hutan menjadi non-hutan yang
dampaknya tidak terpulihkan. Seharusnya kawasan ini dilindungi oleh
kebijakan Moratorium.
“Presiden sudah
seharusnya bekerjasama dengan Menteri Kehutanan untuk segera merevisi SK
458/2012 guna mengembalikan dan memastikan perlindungan hutan di Papua.
Presiden juga harus mendisplinkan orang-orang di pemerintahannya yang
merongrong kebijakan moratorium dan komitmen pengurangan emisi,” kata
Teguh Surya, Juru kampanye Politik Hutan Greenpeace Indonesia melalui keterangan tertulisnya yang diterima Beritalingkungan.com.
Jika Menteri
Kehutanan menerapkan kebijakan perubahan kawasan dan fungsi hutan
seperti halnya SK 458/ 2012, jutaan hektar hutan alam berada dalam
bahaya. Baru-baru ini Pemerintah Provinsi Aceh juga berencana
melepaskan 1,2 juta Ha hutan. Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan dan
timnya harus bertanggungjawab untuk memastikan bahwa kawasan hutan dan
perubahan fungsi hutan tidak berdampak negatif terhadap langkah-langkah
perlindungan hutan saat.
Dengan waktu yang
kurang dari tiga bulan lagi, hanya sedikit kemajuan yang dicapai dalam
kebijakan moratorium dan banyak indikator kinerja kunci yang merupakan
bagian dari perjanjian 1 miliar dollar dana perlindungan hutan
Indonesia-Norwegia yang belum tercapai, seperti; pendirian lembaga REDD,
dan badan pengawasan, pelaporan dan keuangan (MRV). Hambatan utama
adalah tata kelola pemerintahan yang buruk, data dan peta yang usang,
tidak jelasnya payung hukum untuk safeguard sosial dan lingkungan, serta
definisi lahan terlantar.
Menurut mereka, untuk mencapai
tingkat perlindungan hutan dalam menjamin mata pencaharian masyarakat di
sekitar hutan, menghentikan perusakan habitat penting bagi spesies yang
terancam punah, dan memenuhi target pengurangan emisi Presiden
Yudhonono, maka kepastian hukum dibutuhkan untuk menjaga keberhasilan
perbaikan tata kelola kehutanan di dalam moratorium, bukan sebaliknya
mengeluarkan kebijakan yang melemahkan seperti SK 458/ 2012.
Koordinator Program
HuMA, Anggalia Putri mengatakan bahwa ada indikasi bahwa SK ini
diterbitkan tidak berdasarkan pada prosedur yang layak dan substansinya
tidak sejalan dengan aturan peraturan di atasnya, serta melanggar
prinsip-prinsip tata kelola pemerintah yang baik, terutama prinsip
transparansi dan akuntabilitas. "Kami meminta pemerintah segera merevisi
SK 458 demi masyarakat papua dan hutan,” katanya.
Jika Presiden
Yudhoyono terus membiarkan moratorium terjepit oleh buruknya tata kelola
pemerintahan dan korupsi, maka Presiden SBY maupun Indonesia akan
kehilangan muka di mata internasional, melemahnya kredibilitas beliau
untuk memimpin pertemuan tingkat tinggi MDGs (Millennium Development
Goals) di Bali pada akhir bulan ini.
Para aktivis lingkungan meminta agar Presiden Yudhoyono menjadi yang terdepan dalam memimpin perbaikan tata kelola
pemerintahan yang buruk seperti halnya SK 458/ 2012, karena bertentangan
dengan misi penyelamatan hutan (moratorium) dan merongrong
rencana pembangunan rendah karbon yang dicanangkan oleh Presiden.
Menurut Teguh
Surya, Presiden harus bertindak segera untuk memperkuat dan memperluas cakupan
moratorium yang berbasis capaian, dimulai dengan merevisi SK 458 dan
meninjau ulang seluruh izin konsesi, serta mempercepat pengukuhan
kawasan hutan yang menghormati hak-hak masyarakat adat. (Marwan Azis).
Blogger Comment
Facebook Comment