Ada yang Dapat, Ada yang Kecewa

EMPAT tahun silam, saya menulis dua tulisan masing-masing di Kendari Pos dan Kendari Ekspres tentang kemenangan Gubernur Sultra Nur Alam dalam pilkada. Waktu itu Nur Alam menang secara dramatis, karena berasil mengalahkan incumbent, Ali Mazi.

Saat itu saya mewarning seluruh tim sukses Nusa (Nur Alama-Saleh Lasata) agar tidak berharap banyak  kepada sang pemenang. Apa sih yang diharap dari Nur Alam? Kalau berharap “pampasan perang’, silakan kubur harapan anda itu. Kubur juga harapan anda untuk mendapatkan paket proyek dan jabatan.

Tim sukses biasanya merekalah yang lebih duluan meminta sesuatu atas jasanya memenangkan pertarungan. Tim sukses Nusa juga saat itu betapa gembiranya setelah Nur Alam resmi memenangkan pilkada. Seolah kemenangan itu adalah kemengan sekelompok orang saja. Padahal, kemenangan Nur Alam adalah kemenangan rakyat Sultra.

Bagi saya, begitu Nur Alam resmi memangku jabatan, maka di saat itulah anda menjadi bagian dari seluruh rakyat Sultra, yang punya hak sama dengan warga lainnya.   
   
Jangan merasa seperti ada sesuatu yang diharap, jangan pula merasa seperti punya hak istimewa dalam roda pemerintahan hanya karena berhasil sebagai tim mendudukkan Nur Alam di singgasana kekuasaan. Sekali lagi jangan berharap. Kekecewaan ketika tidak dilayani, janganlah mengatakan  Nur Alam sudah sombong, jangan pula mengatakan dia lupa kacang pada kulitnya.

Sebagai tim sah sah saja anda menuntut, tapi  dalam pemerintahan, porsi anda mungkin terbatas, karena dalam pemerintahan bukan lagi kerja-kerja politik yang diperlukan, tapi kerja-kerja pembangunan.

Faktanya sekarang bagaimana? Banyakkah tim sukses dia dulu yang mendapatkan banyak fasilitas dan posisi? Saya rasa tidak. Justru banyak kekecewaan dari sejumlah anggota tim sukses Nusa yang dulu ’berkeringat’ tapi kini terabaikan. Mereka lalu teriak sana sini. Seperti ada pamrih.

Lalu di sisi lain, Nur Alam malah memakai jasa sejumlah tim lawan-lawan politiknya dulu. Memang ada yang murni profesional yang jadi tim sukses. Mereka adalah teknokrat yang menjadi tim sukses yang juga mampu menterjamahkan visi misi Nur Alam. Ini yang banyak membantu sang gubernur.  Tapi sebagian lagi orang yang tidak punya kontribusi tapi dapat peluang dan fasilitas besar. Ini sebaliknya yang menimbulkan kecemburuan.

Lihat banyak tokoh-tokoh politik dari partai lain ’menyeberang’ ke partainya  Nur Alam. Dari Partai Golkar  saya kira paling banyak. Tidak bagus saya sebut satu per satu. Tapi  setelah kekalahan Ali Mazi dan berpindah tangannya Ketua DPD I Golkar Sultra ke tangan Ridwan BAE, internal Golkar bergolak dan sebagian hengkang.

Ini menurut saya para kutu loncat ini mulai mendapatkan banyak akses dari Nur Alam, sementara  tim yang dulu ’berdarah-darah’ memenangkan Nur Alam malah dicuekin. Beberapa lainnya sudah menyebarang karena minta ketemu dengan sang gubernur saja sulitnya minta ampun. Itu pun baru bisa gampang ketemu jika mengejar sampai ke Menara Global.

Tapi, memang  saya telah mewanti para tim sukses jangan berharap banyak. Karena setelah ’perang’ usai,  maka Nur Alam sudah menjadi malik semua orang Sultra, siapa pun dia. Saran saya waktu itu, tugas lanjutan  tim Nusa adalah mengawal terus kepemimpinan Nur Alam sampai  akhir.

Sekarang Nur Alam sudah jauh melangkah, bahkan sudah hampir menghabiskan periode pertama kepemimpanannya. Pertanyaaannya masih adakah orang-orang ini yang dulu berjasa mau berjasa lagi untuk kali kedua? Sangat tergantung. Ya, sangat terkait dengan peluang Nur Alam  kembali memimpin provinsi ini. Ditimbang-timbang tentu masih banyak.

Alasannya, Nur Alam adalah incumbent. Kedua, logistik Ketua PAN Sultra ini terbanyak dari yang lain, ketiga dia sudah punya pintu (partai) sehingga tinggal mencari duet ideal untuk mendaftar calon lagi. Dalam  banyak pengalaman, incumbent jarang kalah di pilkada. Incumbent rata-rata menang karena ada kolusi tingkat tinggi dengan penyelenggara pemilu dan pengawas pemilu.

Ada pula karena incumbent memanfaatkan posisinya untuk mempengaruhi aparat bawahannya untu melapangkan jalannya menang di sebuah dapil. Sudah lama disarankan sebaiknya incumbent yang ingin maju lagi harus benar-benar berhenti total dan meletakkan jabatannya tanpa embel-embel sementara. Tapi karena Nur Alam memiliki segalanya, maka saya rasa banyak yang ingin  berjasa lagi.

Simbol-simbol yang banyak beredar seperti   ”Satu untuk Sultra” dan ”Satu Kali Lagi” adalah fakta banyaknya peminat memberikan jasanya untuk sang incumbent. Mereka umumnya masuk karena kebersamaan yang sudah lama, termasuk karena hubunga profesionalisme. Tapi yang terbanyak adalah karena hubungan hirarki, termasuk hubungan simbiosis mutualistik.
Seorang kalangan deket mengatakan Nur Alam sudah pasti maju. Peluangnya adalah karena hasil  survei mengatakan dialah paling tinggi elektabilitasnya. Lalu, masih muda, lalu masih disukai banyak orang, lalu terakhir dialah saat ini yang paling dikenal oleh orang Sultra. Cukup masuk akal dari seorang tim sukses.

Mungkin orang ini memakai teori seperti yang dipakai Barrack Obama ketika memenangi Pilpres AS dan dipakai oleh 6 gubernur di Indonesia sehingga keenamnya menang. Teorinya sederhana, calon minimal 90 persen dikenal oleh pemilih. Kemudian calon harus disukai oleh 75 persen pemilih. Terakhir program kerja harus 60 persen realistis, objektif, terukur, terjangkau, dan punya timeline. Tanpa tiga item prosentase itu, maka jangan coba-coba maju. 

Maka untuk menentukan probabilitas keterpilihan itu, silakan lakukan survei yang jujur-objektif. Jika meraih angka 90 persen dikenal dan 75 persen disukai, maka majulah,  karena pintu kemenangan sudah di depan mata anda. Konsultan dan penasehat politik Nur Alam  saya rasa tahu sekali bagaimana mencapai angka-angka ini, tapi entahlah bagi tim sukses yang dulu berharap banyak tapi tidak mendapatkan apa-apa. Dia tahu isi dapurnya. Wallahu a’lam...(Syahrir Lantoni)
Share on Google Plus

About Redaksi

    Blogger Comment
    Facebook Comment