Kampung Merah di Bumi Anoa


Sepi. Inilah suasana Kampung Nangananga di pagi hari. Sejak matahari memerah di timur penduduknya sudah bertebaran. Mereka meninggalkan rumah mencari kegiatan hingga menjelang magrib.
Yang tersisa orang-orang berusia lanjut dan anak-anak kecil yang memilih menetap dalam rumah. Mata mereka awas. Selalu curiga pada setiap orang baru.

Saya menjejak kampung itu untuk ketiga kalinya sejak September tujuh tahun lalu. Saat membuat satu liputan untuk peristiwa sejarah yang dibelokkan itu. Bertemu mereka yang menjadi saksi sejarah kebiadaban orde baru. Bercerita tentang kekejaman Orde Soeharto yang menganggap mereka komunis. Orang-orang yang harus diasingkan dan tidak pantas diberi akses hidup. Memejarakan mereka di ruang-ruang pengap. Mengisolir mereka di pelosok. Salah satunya di Kampung Nangananga.

Meski tujuh tahun berlalu tak ada yang berubah. Tak jauh berbeda dari tiga puluh tahun silam, saat Yanasin, Lambatu, masih terlihat muda. Kampung Nangananga tetaplah seperti yang dulu. Rumah, lahan hingga perkebunan nanas yang banyak tumbuh di tanah-tanah yang subur. Hanya ada sedikit perubahan pada jalan yang saya lalui hari itu. Perubahan jalan tanah dasar menjadi jalan perkerasan. Jalan yang ditimbun dengan material pasir bercampur batu. Jalan-jalan tanpa aspal yang dibangun untuk kepentingan jalan lingkar menuju kantor pemerintah sulawesi tenggara.

Saya bertemu pak Lambatu. Rambutnya telah berubah memutih semua. Gerakannya tak lagi selincah dulu. Tapi ingatannya akan romantika masa lalu masih sangat tajam. Ia bercerita dimasa mudanya Ia seorang terpelajar di kampungnya. Ia memimpin sekolah dasar dengan gaji seribu dua ratus rupiah. Angka yang cukup besar masa itu.

Ia masih mengingat saat pertama kali bersinggungan dengan Negara. Ia dituduh menjadi penggerak partai komunis di Muna, tanah kelahirannya. Saat itu 1 Oktober 1965, beberapa tentara menjemputnya. Ia dibawa dari kampung menuju Kendari dan ditempatkan di kamp tahanan di Lambuya Konawe. Lalu dipindah ke Kampung Nangananga.

Baginya, Kampung Nangananga yang dicap kampung 'merah' itu menyimpan sejarah panjang. Ia dan kawan-kawan Menjadi saksi dari kebiadaban Negara memenjarakan lebih dari lima puluh orang tahanan politik yang dicap komunis. Kampung Nangananga menjadi pelabuhan hidupnya. Ia menghabiskan pergantian masa, orde lama, orde baru, hingga masa reformasi. Menghabiskan masa mudanya dengan kehilangan hak hidup, kehilangan kemerdekaan bersama isteri dan anak-anaknya. Kesedihan itu masih membekas saat saya menemuinya.....(Yos Hasrul)
Share on Google Plus

About Redaksi

    Blogger Comment
    Facebook Comment