Rumah warga di Kampung Hukaeya LaEa, Moronene, Kabupaten Bombana. foto: YOSHASRUL |
SULTRANEWS-Angin berhembus pelan di awal
Desember 2015, saat kami melewati kawasan savanna di Taman Nasional Rawa Aopa
Watumohai (TNRAW). Tepat empat bulan
musim panas menerjang dan membuat kering seluruh permukaan tanah termasuk
kawasan itu. Musim panas yang panjang telah menyebabkan sebagian besar vegetasi
savana mengering dan sebagian telah hangus terbakar, berubah menjadi arang.
Gelombang panas tahun ini
menjadi rekor terpanas sepanjang masa. Dihasilkan dari rangkaian gelombang
elnino menerjang sepanjang kawasan Asia hingga ke semenanjung Australia.
Gelombang yang telah menyebabkan kerugian cukup besar bagi alam dan membakar
lebih dari separuh areal vegetasi savanna di TNRAW seluas 30 ribu
hektar. Padahal, vegetasi savana di
taman nasional ini memiliki ciri dan keunikan yang khas, karena merupakan
asosiasi antara padang rumput dengan tumbuhan agel, lontar dan bambu duri serta
semak belukar, juga tumbuhan di sepanjang sungai-sungai di padang savana
tersebut.
Kemarau panjang juga nyaris merenggut kehidupan sekumpulan kecil
pohon cemara laut yang tumbuh subur di
tengah padang savanna. Daun cemara berbentuk
seperti jarum laut serta berwarna hijau-keabu-abuan sebagian telah berubah
menjadi kuning kecoklatan akibat terpapar panas.
Cemara
laut adalah salah satu jenis cemara dari golongan Casuarina. Tumbuhan ini juga memiliki sebutan lain yaitu Australian pine dan beach she-oak. Tumbuhan ini masih berkerabat dekat dengan cemara
sumatera dan cemara gunung. Cemara laut merupakan tanamah jenis pohon berumah
satu dengan percabangan halus, dan pepagan berwarna coklat-keabu-abuan muda.
Bagian batangnya yang masih muda bertekstur halus sedangkan batang yang tua
bertekstur kasar, tebal, dan beralur. Pepagan cemara laut berwarna kemerahan
dan berbau harum.
Bangkai tikus dibatang cemara. foto: YOSHASRUL |
Mengeringnya pepohonan
berdampak pada kehidupan satwa sekitarnya. Penemuan beberapa ekor bangkai tikus
di sekitar pepohonan menjadi bukti betapa dasyatnya musim panas tahun ini.
Bangkainya mengering ditemukan tertelungkup di batang cemara dengan gigi tajam menguning.
Kampung Adat
Musim
panas membuat debit air sungai LaEa kian menipis. Air sungai tak lagi mampu menyuplai
air ke areal persawahan penduduk. Pun air tak lagi mengairi sungai-sungai kecil di dalam kawasan
Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW) yang selama ini menjadi sumber
kehidupan flora dan fauna. Sungai LaEa mengalir tepat di bawah kaki Gunung Tawunaula. Dalam cerita legenda masyarakat Moronene, Gunung
Tawunaula dipercaya sebagai tempat pertama
kalinya Oheo atau dewa langit turun ke bumi dan kemudian menjadi raja Moronene
pertama.
Areal sawah di kampung hukaea yang mengering. foto: YOSHASRUL |
Sawah-sawah warga Huaeya yang tidak diolah karena mengering. foto: YOSHASRUL |
Saat
berkunjung di Kampung HukaEa LaEa, Gunung
Tawunaula terlihat jelas dari balai adat Moronene. Keberadaan gunung seolah menjadi
pelecut semangat warga untuk terus mempertahankan
nilai-nilai adat peninggalan masa lampau
masyarakat HukaEa LaEa di negeri penghasil emas itu. Warga sepenuhnya masih memegang
teguh ajaran nenek moyang mereka, termasuk
semangat gotong royong membangun balai adat tersebut.
Rumah
adat dengan ragam corak yang didominasi
warna biru dan kuning itu, dibangun di
sebuah tanah lapang tepat di tengah kampung. Dibangun murni dari swadaya
masyarakat kampung. Di sanalah pusat aktifitas adat istiadat dilakukan, seperti
perkawinan dan menyelesaikan perselisihan antara warga, serta mengadili warga
yang melanggar aturan adat.
Selain
membangun balai adat, kaum lelaki secara suka rela mendirikan boru-boru
atau pondok kecil yang berfungsi untuk menyimpan hasil bumi. Sedangkan,
kaum ibu membuat aneka panganan untuk mereka yang kerja bakti.
Sawah milik masyarakat adat
Hukaea Laea tak luput dari bencana kemarau panjang tahun ini. Debit air di
sungai Laea yang selama dipakai petani
mengairi areal persawahan kian susut dan tak lagi mampu menjangkau
irigasi. Akibatnya petak-petak sawah menjadi kerontang karena tidak dialiri air,
membuat petani HukaEa benar-benar tak
berdaya.
Perkampungan
orang Moronene yang terletak di daerah hutan yang memiliki berbagai tipe
ekosistem, seperti: ekosistem bakau (mangrove), hutan pantai, savana, hutan
hujan pegunungan rendah, dan ekosistem rawa yang sarat dengan keindahan dan
kekayaan sumberdaya alamnya. Oleh sebab itu, seluruh ekosistem yang terdapat
disekitar kampung orang Moronene telah menjadi habitat berbagai jenis kehidupan
liar. Salah satunya kampung moronene di kawasan HukaEa LaEa.
Sebagian
besar orang Moronene HukaEa LaEa bekerja sebagai petani dan tidak mengeyam
pindidikan formal. Mereka ditasbihkan sebagai etnik tertua dan pertama yang
mendiami dataran Sulawesi Tenggara. Saat ini, mereka umumnya bermukim dan
menyebar di sebelah selatan Sulawesi Tenggara dan salah satu kampung (tobu)
tertuanya adalah tobu HukaEa LaEa.
Masyur Lababa, Ketua Lembaga Adat Hukaea LaEa Moronene. foto: YOSHASRUL |
Mansyur
Lababa, Ketua Lembaga Adat Moronene HukaEa LaEa menjelaskan, nama HukaEa sendiri
diambil dari dua suku kata, yakni, Huka dan Ea. Huka artinya melinjo
sedangkan Ea berarti besar. Jadi arti Hukaea adalah Melinjo yang besar.
Penamaan itu tak lepas dari banyaknya tanaman melinjo yang tumbuh di daerah
itu. Sedangkan LaEa memiliki arti Sungai Besar.
Kampung
HukaEa LaEa juga punya nama lain yakni, kampung Wukulanu yang artinya biji atau tulang agel, mengingat
banyaknya tumbuhan agel hidup di daerah itu. “Masa itu, masyarakat
menggunakan biji agel untuk kebutuhan
ramuan pondok kebun atau rumah kecil untuk
beristrahat,”kata Mansyur Lababa.
Pondok
kebun dalam istilah moronene disebut bantea
atau boru-boru (pondok kecil).
Pondok ini berlaku di jaman tobu jauh
sebelum adanya istilah kampung. Tobu
sendiri merupakan wilayah yang belum tertata, saat masyarakat masih hidup
berkelompok/ berkumpul.
Rumah adat Hukaea Laea Moronene yang berdiri di kampung adat Hukaea LaEa. foto: YOSHASRUL |
Oleh
warga, biji agel sendiri dijadikan sebagai pengikat rumah, sedang daunnya
digunakan untuk atap. Sementara dinding
dan lantainya menggunakan bahan dari bambu. Selain untuk pengikat, biji agel
digunakan untuk dinding rumah dan ada
juga warga yang menggunakan daun rumbia
atau alang-alang untuk atap rumah.
Rumah-rumah
berbahan biji agel warga HukaEa ini terakhir disaksikan sekira tahun 1994, berdiri kokoh di sepanjang
kampong. Namun saat operasi sapu jagat yang
gencarkan pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara, rumah tradisional tersebut
dibumihanguskan karena menanggap warga merambah kawasan TNRAW. Saat itu
rumah-rumah warga dirubuhkan dan dibakar,
sedang penghuninya diusir ke luar dari taman yang merupakan tanah leluhur mereka.
Kampung
HukaEa LaEa punya cerita panjang dari masa ke masa, tak hanya soal tradisi adat
istiadat yang dikemas dalam budaya nan besar, tetapi eksistensi perjuangan
masyarakat yang tak kenal lelah mempertahankan tanah leluhur mereka demi eksistenis
adat istiadat dan budaya sebagai identitas etnik Moronene khususnya di kampung
HukaEa.
Dua
puluh tahun berjuang untuk mendapatkan pengakuan sebagai masyarakat adat memang bukan waktu yang singkat, karena harus
ditebus dengan darah, keringat dan air mata.
Mansyur
Lababa, bercerita, pengabaian eksistensi kearifan lokal
masyarakat adat inilah yang menyebabkan terjadinya perselisihan dalam
memanfaatkan sumberdaya alam di sekitar tobu Hukaea Laea. Perselisihan
kerapkali terjadi, dimana orang Moronene beranggapan bahwa tobu yang mereka
miliki sekarang ini merupakan warisan para leluhur mereka yang harus dijaga
keberadaannya. Namun oleh petugas taman menganggap mereka sebagai kelompok perambah kawasan. Inilah wujud dari ketimpangan struktur
agraria yang dirasakan secara tidak langsung oleh penduduk asli yang bermuara
pada konflik vertikal.
Saat
ini terdapat 110 KK atau 430 jiwa warga yang menghuni kawasan adat Hukaea Laea.
Berada dalam kawasan TNRAW membuat masyarakaat lebih nyaman, karena kearifan
local masyarakat adat sejalan dengan fungsi konservasi itu sendiri.
Mansyur
Lababa mengaku, dalam aturan adat istiadat, perlakuan terhadap alam agar tetap
lestari sangat dipegang teguh secara turun temurun. Terutama berkaitan dengan keberlangsungan
sumberdaya alam disekitar tempat dihidup orang Moronene Hukaea Laea, maka
ditunjuk Totongano Lombo dan Totongano Inalahi.
Adapun
tanggungjawab Totongano Lombo adalah
menangani urusan kehutanan dan lingkungan, mengatur pembagian dan penentuan
lahan yang akan dijadikan areal pertanian dan menentukan luas areal lahan
setiap warga. Sedangkan Totongano Inalahi
bertanggungjawab khusus menentukan jumlah dan jenis hasil hutan yang dapat
diambil, menjaga kelestarian air dan mengawasi pengelolaan hutan. Selain yang
telah disebutkan juga terdapat Kamotuano Kampo (tempat bertanya segala
masalah), Tatangano Kadadi (mengatur satwa dan hewan yang dapat diburu), Kapala
(kepala kampung/desa), Serea (menyampaikan perintah kepala kampong ke warga)
dan Juru Tulisi (sekretaris).
Sayangnya,
dalam perjalanan waktu, kehadiran pemerintahan adat yang dianut orang Moronene sempat
tidak menjadi pertimbangan pemerintah dalam menentukan tobu-tobu orang Moronene Hukae Laea untuk dijadikan sebagai Taman
Nasional.
Kini
seiring perubahan negeri, paradigm berpikir pemerintah perlahan berubah.Wakil
Bupati Bombana Hj Masyura Ila Ladamay
mengatakan sosialisasi Perda No 4 tahun 2015 tentang pengakuan, perlindungan
dan pemberdayaan masyarakat Adat Moronene Hukaea Laea di Bombana sangat penting
sebagai upaya mewujudkan keadilan bagi masyarakat adat.
Pemerintah
bahkan telah mengakui bahwa tobu-tobu orang Moronene harus dijaga kelestariannya
dan berharap masyarakat adat Hukaea Laea benar-benar menjadi kawasan adat yang
mengedepankan kearifan lokal mereka.
Mansyur
Lababa, yang juga menjabat sebagai Kapala Kampo HukaEa LaEa menilai Perda No 4
tahun 2015 tentang pengakuan, perlindungan dan pemberdayaan masyarakat Adat
Moronene HukaEa LaEa di Bombana sangat penting sebagai upaya mewujudkan
keadilan bagi masyarakat adat.
“Setidaknya
pengakuan atas eksistensi masyarakat adat Hukaea Laea sudah ada dari pemerintah
kabupaten. Ini telah menjadi pegangan bagi warga untuk terus melanjutkan
kehidupan dan melestarikan adat istiadat yang menjadi warisan nenek moyang
kami,”ungkap Mansyur Lababa. (YOSHASRUL)
Blogger Comment
Facebook Comment