Denyut Hidup di Pasar Baruga


Berikat sayur dibiarkan teronggok seadanya. Bersaing dengan ikan, tomat dan cabe rawit yang harganya selangit itu. Menumpuk di balebale, di halaman pasar, dekat sebuah gardu sampah. Tanpa lapak dan beratap langit.


Mulut pemiliknya tak berhenti bersuara. Membujuk para pembeli untuk sudi mampir. Menawarkan seikat sayur yang harganya miring tiga kali lipat dari harga di pasar-pasar lain.

Suasana bertambah ramai saja. Inilah pemandangan di sebuah sore menjelang malam. Dimana lampu-lampu kios mulai berkedip. Tempat dimana pembeli dan penjual bersua. Saling tawar menawar.

Di sudut pasar. Di antara bangunan petak kios. Tampak kesibukan luar biasa. Sebilah parang pendek terayun berulang-ulang. Menghujam batok tempurung kelapa. Hari itu tenaga pria muda itu benar-benar terkuras. Keringatnya mengucur deras. Membuat kulit tubuhnya mengkilap. Hampir seratus bji kelapa dikupasnya. Menyisakan daging buah yang mulus putih kecoklatan.

Lelaki itu bernama Baharudin. Pemuda asal Selatan. Pemuda-pemuda selatan memang terkenal perantau. Gigih merintis usaha dari bawah. Menjual tenaga demi mengumpulkan rupiah. Merantau dengan satu tekat. Berhasil. Kerja keras dan kejujuran menjadi modal.Dua tahun sudah Baharuddin berdagang di pasar itu. Ia ditemani Arni, isterinya. Di lapak berukuran dua kali dua meter inilah mereka mengadu peruntungan.

Sebuah mesin parut kelapa berukuran mini menjadi tumpuan harapan keduanya. Mesin perut kelapa diperolehnya dari bantuan pemerintah yang disalurkan melalui bantuan Unit Kemandirian Masyarakat. Ketergantungan pada mesin ini membuat Baharuddin harus merawatnya dengan penuh perhatian. Sebab dari mesin inilah Baharuddin mengumpulkan lembaran-lembaran rupiah. Hingga mampu membangun sebuah rumah sederhana tak jauh dari pasar.

Beranjak malam, Baharuddin menghentikan kegiatannya. Sisa tempurung di rapikannya. Dimasukkan ke dalam karung untuk di jual ke rumah makan. Kelapa tersisa lima biji lagi. Kelapa dijejernya rapi di meja tua. Berharap ada pembeli yang berminat. Ia dan isterinya pun pulang menemui buah hati mereka.

Saat malam tiba, suasana pasar kembali sepi. Tidak nampak lagi orang-orang dengan kantong kresek. Motor dan sepeda pembawa bakul sayur tak lagi ramai. Seiring kosongnya bakul-bakul mereka. Mereka adalah para pedagang sayur asal Konawe Selatan. Yang menyuplai sebagian besar sayur di pasar ini. Sayur yang dipanen dari lahan-lahan mereka yang subur. Memberikan mereka harapan hidup.

Berdiri tiga tahun silam dengan susah payah. Mula-mula, pedagang enggan berjualan di tempat ini. Memilirik pun seolah tak sudi. Banyak pedagang memilih berdagang di pasar tengah kota. Seperti pasar mandonga dan wua-wua dan sentral kota. Jika tak dapat, mereka lebih memilih berjualan di pinggir jalan, yang oleh pemerintah kota menyebutnya pasar illegal.

Pasar perlahan ramai setelah terminal di pindah berdekatan dengan pasar ini. Namanya Terminal Baruga. Sejak pagi hingga sore hari hiruk pikuk terlihat. Seluruh, mobil angkutan kota dan pedesaan berlabuh di terminal ini. Penumpang dari luar kota pun diwajibkan turun di tempat ini.

Kebijakan ini membuat pasar baruga ‘berdenyut’. Jika sekedar berbelanja keperluan rumah tangga, maka penumpang luar kota akan memilih membeli di pasar ini. Geliat Pasar Baruga kian terasa, setelah pemerintah kota melarang pembongkaran muatan khusus hasil bumi melewati pusat kota. Pemerintah membuat khusus area bongkar muatan hasil bumi berdampingan dengan pasar dan terminal. Yang artinya segala muatan hasil bumi wajib di bongkar di tempat ini.

Perlahan namun pasti, keberadaan pasar terminal, pasar dan area bongkar muat telah ikut merubah wajah daerah di sekitarnya. Perumahan penduduk mulai bertambah disekitar pasar, ruko-ruko satu persatu bermunculan, akses jalan raya yang mulus di perlebar menghubungkan daerah sekitarnya. Menjadi saksi bisu penopang lahirnya kekuatan ekonomi baru di pinggiran kota. (Yos Hasrul).
Share on Google Plus

About Redaksi

    Blogger Comment
    Facebook Comment