![]() |
Air sungai yang berasal dari pegunungan Tahura Nipa-nipa yang debitnya kian tahun terus menyusut akibat praktik perambahan hutan oleh oknum warga. foto: dok Balai tahura nipa-nipa Sultra |
KENDARI, SULTRANEWS-Pemandangan miris ketika
memasuk kawasan tahura di Kota Kendari,
Sulawesi Tenggra.
Kita tak lagi menemukan hutan lebat apalagi bertemu satwa layaknya disebuah kawasan
hutan lindung. Di radius satu kilo meter kerah zona inti tahura telah gundul.
Kayu-ayu besar kini
berganti dengan tanaman jangka pendek. Sebagian pohon besar telah tumbang
hingga ke akar-akarnya. Beberapa gubuk warga yang tersebar terpisah menghiasi
bukit tahura.
Mereka membuka
areal kebun rakyat dengan menanam sejumlah aneka tanaman jangka pendek seperti
jagung, ubi kayu, palawija dan sebagian lagi tanaman jangka panjang seperti
mangga, kakao, cengkeh da lada ada yang dianggap menjadi komoditi yang secara
ekonomi laku dijual.
Anehnya, tak ada
batas berapa banyak jumlah areal yang dibuka, dari informasi yang diperoleh
setiap warga mengkavling dari 5 hektar hingga puluhan hektar. Tak elas pula
dari mana legitimasi mereka membuka lahan. “Itu kemauan kami sendiri. Tak ada
yang menyuruh kami,”Lahadi, salah satu warga yang membuka lahan di bukit
Nipa-nipa.
Dari informasi yang
diperoleh, pembukaan lahan ini tak lepas dari adanya permainan sejumlah oknum
masyarakat yang memperjualbelikan tanah di kawasan tahura Turhum. Penjualan
tanah ini iklaim sebagai tanah leluhur. Ini terjadi di tiga kawasan kelurahan
masing-masing Kelurahan Gunung Jati, Kelurahan Mangga Dua dan Kelurahan kampung
Salo.
“Saya sering
didatangi orang-orang yang menawarkan sebidang tanah yang akan dijual. Katanya
lokasinya berada di kawasan Tahura Murhum. Mereka menawarkan dengan harga
bevariasi dan cukup,”kata Mardan, salah satu warga Kelurahan Kampung Salo.
Jual beli lahan di
kawasan tahura murhum yang tida seharusnya diperjualbelikan ini bukanlah sebuah
isu, bahkan penjualan tanah ini melibatkan keluarga pejabat.
Beberapa warga yang
hendak menjangkau areal wisata di kawasan hutan tahura kini tak lagi bisa mengakses
ke jalan yang selama ini dilalui. “Gara-gara tembok ini kami tak lagi bisa
melewati jalan ini,”kata Rahmat, seorang warga yang selama ini melewati jalan
menuju air terjun Tahura.
Jual beli lahan ini
juga tela lama ditengarai oleh pihak pemerintah, hanya upaya menindak tegas
para pelak penjual tanah tak pernah jelas. Bahkan pemerintah terkesan acuh tak
acuh dengan masalah tersebut. Padahal, dalam berbaga kesempatan pemerintah
dalam hal ini dinas kehutanan maupun Bapadalda kerap “berteriak” jika kawasan
tahura tak boleh dimiliki dan tidak dibenarkan diperjualbelikan.
“Yang jelas tidak
dibenarkan warga bermukim di tahura Murhum, apalagi sampai memperjual belikan
tanah di sana,”kata sumber di Dinas Kehutana Provinsi Sulawesi Tenggara.
Pelarangan ini
jelas tertuang dalam beberapa aturan yang mengikat, diantaranya UU Nomor 40
Tahun 1999 tentang kehutanan.
Kejelasan tentang
tata cara kepemilikan lahan ini menjadi penting dan bila tak segera diterapkan
bukan hal mustahl jika lahan tahura yang memiliki luasan 7720 Ha akan habis
terjual. Tak hanya itu fungsi tahurasebagai salah satu daerah hutan penyangga
Kota Kendari akan rusak dan pada gilirannya berubah menjadi bencana alam yang
sewaktu-waktu menjadi ancaman bagi warga kota.
Bukti nyata adanya
bencana banjir yang melanda pada Juni 2006 dan Februari 2007 dan terakhir Juli 2013 lalu , dimana
dampak yang ditimbulkannya cukup besar dituai warga di sekitar hilir sungai.
Pada bencana itu terdapat setidaknya ada 14 rumah yang hanyut terbawa air dan
banjir merusak sejumlah sarana pendidikan dan sarana ibadah milik warga di
Kelurahan Kampung Salo dan Kelurahan Kadia. MIN
Blogger Comment
Facebook Comment