Karya Monumental, Prestasi Apa Prestise?

TAK ADA Gubernur Sulawesi Tenggara yang ingin disebut gagal dalam pemerintahannya.  Tak ada pula gubernur yang hanya ingin memimpin satu periode.

Yang lebih ingin adalah setiap gubernur harus punya ’bekas tangan’ dalam pembangunan di Sultra. Bekas tangan ini biasanya lebih dalam bentuk fisik. Harus ada yang kelihatan. Tanpa itu, seorang gubernur akan dianggap gagal. Jangan heran kalau siapapun yang memimpin Sultra selalu berusaha ada buah tangan yang monumental.

Melihat ke belakang, ternyata mendiang Ir H Alala paling nyata dalam menampakkan karya monumentalnya. Area eks STQ yang terletak di Jalan Abdullah Silondae adalah buah karya pemerintahan almarhum Ir Alala. Mesjid Agung Kendari juga lahir di bawah pemerintahan gubernur yang memimpin dua periode, periode 1982-1987 dan 1987-1992, ini. Kalau dua karya ini disebut monumental, gubernur yang lain mana? Almarhum Kaimoeddin, tidak terlihat monumental, tapi  di periode dialah akses jalan-jalan di Kota Kendari mulai terbuka.

Ketika Kaimoeddin  memimpin Kabupaten Muna, dia  juga menancapkan satu bangunan bersejarah di sana, yaitu Stadion sepakbola Raha. Selepas Kaimoeddin, ada  Gubernur  Ali Mazi. Saya pun melihat ada sedikit karya di sini. Misalnya  bandara Monginsidi disulap menjadi mewah dan besar, interiornya bagus dan kelihatan bahwa bandara itu sudah di atas standar.

Tugu di area eks STQ sepertinya disebut-sebut juga buah tangan Ali Mazi. Ada pertanyaan,  kalau tugu itu berdiri di areal eks STQ yang menjadi produk Alala, lantas apakah bisa disebut hasil kerja pemerintahan periode Ali Mazi? Anggaplah itu karya AM, timbul debat lagi, bukankah itu telah menghilangkan karya yang dibangun penduhulunya? Kalau suatu saat areal eks STQ itu masih digunakan untuk acara Seleksi Tilawatil Qur’an (STQ) tingkat nasional, bukankah area itu tidak berubah dan masih menjadi buah tangan Alala? Sekarang menara itu ditambah anggarannya hingga Rp 5 miliar.

Jalan pikiran Gubernur Nur Alam mungkin tidak ingin hasil pembangunannya hanya melanjutkan yang sudah ada sehingga dia pun harus membuat  terobosan baru. Yang kita dengar Nur Alam tengah menyiapkan dua karya monumental. Yaitu Jembatan Bahtera Mas, dan masjid raya  terapung di tengah Teluk Kendari. Kalau dua ini jadi,  maka luar biasa karya seorang Nur Alam. Selain itu, ada pula kebijakan dengan menyetujui pendirian hotel berbintang 15 lantai dengan ruangan super mewah.

Hotel yang tadinya hanya diproyeksikan 13 lantai, Nur Alam minta agar investornya menjadikan 15 lantai. Ini pernah menjadi perdebatan,  bahkan ada yang mengusulkan kamar VVIP dan presiden suit itu disulap saja menjadi kamar paling murah untuk rakyat kecil, agar menjadi lebih monumental lagi. Jadi hotel mewah 15 lantai sudah dianggap monumental dan akan menjadi lebih monumental lagi kalau ada kamar untuk rakyat jelata nginap di situ.

Agak aneh ketika membuat kamar untuk rakyat jelata dianggap sebagai penambah monumental. Saya pikir, kamar seperti apapun, tidak akan menjadi penambah monumentalnya  sebuah bangunan selain bangunan hotel mewah  15 lantai itu sendiri. Hotel berbintang dengan 15 lantai itu sebenarnya sudah monumental, sementara kamar  semewah dan semurah apapun di dalamnya hanyalah sebagai aksesori dan layanan kamar belaka.

Mengapa Nur Alam ingin membangun masjid mewah terapung di Teluk Kendari? Bukankah sudah ada Masjid Agung Kendari yang cukup terkenal itu? Kalau Nur Alam ingin punya karya sendiri, tentu resitensinya cukup besar. Karena masjid megah di tengah Teluk Kendari luar biasa besar biayanya. Di saat bersamaan dibangun pula jembatan Bahtera Mas di atasnya, maka anggaran yang dibutuhkan akan berlipat-lipat. Ini mengundang tanda tanya, mengejar prestasi ataukah mengejar prestise?
Ingin ada karya monumental, Nur Alam seperti ingin mempertaruhkan kemampuannya.  

Kita tahu Nur Alam adalah gubernur yang ulet, smart, pintar cari duit untuk membangun wilayahnya. Dana Rp 700 miliar untuk membangun Jembatan Bahtera Mas dikalkulasi bisa ditutupi dari berbagai sumber pendanaan, apakah utang, loan, hibah atau semacamnya. Apalagi dia sudah menghitung membangun jembatan seperti itu sangat mudah dikerjakan karena teknologi konstruksinya sudah tersedia.

Masalahnya, jembatan ini dibangun atas motivasi apa? Multiplier efeknya seperti apa? Untuk jembatan, serapan ekonominya sebesar apa? Warga Kendari yang dari Kendari Beach ke Lapulu cukup menyeberang jembatan itu saja. Begitu pula sebaliknya. Memang kalau sebelumnya membuang banyak waktu dan biaya, kini ongkos ke seberang sudah murah. Rasa-rasanya memang cukup ekonomis. Teluk Kendari pun kelak akan tampak indah dengan warna warni tali temali jembatannnya.

Utang Rp 700 miliar dari Tiongkok sebenarnya cukup mengundang perhatian. Gesekan dari proyek monumetal ini terasa sekali. Tender dua kali, pembebasan  tanah hingga mencapai Rp 5 miliar cukup banyak memunculkan reaksi. Pikiran orang, utang sebesar itu dibayar pakai apa? Dari pajak? Dari hasil tambang? Atau uang dari hasil gali lobang tutup lobang APBD? Nur Alam saya rasa bisa menghitung konsekuensi  dari segala kebijakannya.

Yang jadi problem, jembatan itu baru mulai dikebut tahun ini, atau terjadi di saat Sultra bersiap menggelar Pilkada Gubernur. Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan proyek ini jika Nur Alam tidak terpilih lagi. Semua akan patah, karya besar yang dicita-citakan hanya tinggal di tas kertas. Kalau saya ditanyakan, hati kecil saya menjawab semoga proyek itu lanjut di tangan siapa pun.

Satu periode kepemimpinan seorang gubernur  tidaklah cukup untuk membangun infrastruktur penopang kesejahteraan sosial. Ali Mazi pun merasa tidak cukup dengan satu periode kepemimpinannya, sehingga dipastikan akan maju lagi. Ali Mazi masih punya obsesi membuat karya monumental menyusul karyanya Bandara Monginsidi. Kalau Ali Mazi saja yang sudah punya peninggalan masih ingin memimpin, tentu Nur Alam juga ingin menorehkan sejarah baru di Sultra. Tapi, sekali lagi, tidak cukup kalau hanya satu periode saja.

Pada Pilpres 2009 lalu, saya berharap SBY-JK lanjut untuk periode kedua. Tapi ternyata pecah kongsi. Dia mengambil Boediono sebagai wakilnya. Hasilnya, sejauh ini  pemerintahah SBY-Boediono tidak stabil. Dua periode  bagi seorang presiden dan wakilnya adalah limit ideal untuk merealisasikan konsep serta gagasannya. Nur Alam pun saya kira demikian, dia butuh sekali lagi untuk mewujudkan ambisinya, untuk prestasi dan prestisenya. (Syahrir Lantoni).
Share on Google Plus

About Redaksi

    Blogger Comment
    Facebook Comment