Rumah Puisi, Tradisi Tulis Ala Taufiq Ismail

Rumah Puisi. Foto : Istimewa.
“Tahu mengapa aku sayangi kau lebih dari siapapun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari. (Pramoedya Ananta Toer dalam tetralogi Bumi Manusia).

Begitulah Pram memberi semangat bagi siapapun untuk menulis dan menulis. Menulis menjadi salah satu cara untuk mengabadikan proses peradaban suatu bangsa ataupun kehidupan sosok manusia yang pernah lahir dan hidup di permukaan bumi ini. Baik disenjaga atau tidak, tulisan-tulisan yang dilahirkan pada suatu masa akan menjadi rujukan sejarah untuk generasi setelahnya.

Bila Pram menjadi motiivator dalam tradisi tulis menulis, Taufiq Ismail melengkapi semangat tersebut dengan membangun sebuah rumah yang dinamakan Rumah Puisi. Rumah yang berdiri di atas tanah sekitar 400 meter ini diperuntukan bagi siapa saja yang bercinta-cinta menjadi penulis atau senang dengan tradisi membaca dan tulis menulis. Rumah Puisi itu seakan menjadi simbol kuatnya tradisi baca dan nulis yang dimiliki intelektual Minangkabau diera jaman pergerakan kemerdekaan sehingga banyak intelektual Indonesia lahir Bukit Tinggi seperti Bung Hatta, Tan Malaka, Buya Hamka yang banyak mewarnai proses lahir dan perjalanan bangsa Indonesia.

Rumah Puisi ini terletak di atas perbukitan antara jalan raya Pandang Panjang-Bukit Tinggi tepatnya di Nagari Aie Angek, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.

Rumah puisi yang didomonisi cat putih ini juga berada tepat di antara pertemuan dua kaki Gunung Marapi dan Singgalang yang gagah menjulang dan mempesona.

Rumah Puisi rambung dibangun Desember 2008 ini dilengkapi perpustakaan yang menampung karya sastra Taufiq Ismail termasuk lirik lagu Himpunan Musik Bimbo seperti Sajadah Panjang dll, dengan koleksi pribadi sekitar 7.000-an judul, serta dilengkapi berbagai buku terbitan luar negeri, baik karya sastra, sejarah, novel, agama dan lain-lain.

Menurut Taufiq Ismail, Rumah Puisi sengaja didirikan untuk meningkatkan kecintaan budaya baca buku dan kemampuan menulis siswa dan guru.

Rumah Puisi ini juga menjadi tempat singgah sementara bagi para perantau atau turis yg menyempatkan diri berwisata di Bumi Para Pendiri Bangsa Indonesia itu.” Harapan setelah mereka tinggal selama beberapa hari atau seminggu, mereka bisa menulis tentang daerah ini (Bukit Tinggi),”kata Taufiq Ismail dalam tayangan Program Nostalgia TVONE malam ini (1/11).

Melengkapi Rumah Puisi, Fadli Zon juga membangun Rumah Budaya Fadli Zon yang letaknya tak jauh dari rumah milik sastrawan pendiri Majalah Horison itu. Rumah Budaya mulai dibangun pada tahun 2008, dan baru selesai pada tahun 2010 dengan ciri khas arsitektur budaya Minangkabau.

Di dalam Rumah Budaya tersimpan sejumlah koleksi benda-benda kuno bernilai tinggi, khususnya yang terkait dengan benda-benda kebudayaan Minangkabau masa lampau. Di antaranya koleksi lukisan, koleksi buku bertema Minang, Keris Luk 9 abad ke 18 yang berasal dari Pagaruyung , setrika pakaian yang mengunakan bara api dan songket lama.

Tayangan tvone malam ini, mengingatkan saya akan memori perjalanan ke Bukit Tinggi bersama beberapa rekan jurnalis Tempo dan aktivis Yayasan Air Putih pasca Sumatera Barat diguncang Gempa.

Sayang sekali waktu itu tak sempat mampir ke Rumah Puisi karena hari sudah sore. Hanya bisa mengolongok dari kaca mobil yang berjalan pelan membawa kami ke kota Bukit Tinggi. Mudah-mudahan dilain waktu, saya berkesempatan bertandang ke Rumah Puisi itu sembari menikmati hawa sejuk Bukit Tinggi. (Marwan Azis).
Share on Google Plus

About Redaksi

    Blogger Comment
    Facebook Comment