BERATUS tahun, hutan konawe menjadi penyumbang kelangsungan hidup
keanekaragaman hayati ekosistem, khususnya
daerah aliran sungai Konaweeha. Dapat dibayangkan, sumber alam seperti
kayu dan rotan saja sudah melimpah ruah, belum lagi kandungan perut bumi
lainnya.
Bagi banyak penduduk Konawe, dari generasi ke generasi, hutan adalah tempat bergantung, penyokong bagi kehidupan. Hutan telah menjadi bagian hidup masyarakat lokal (suku Tolaki), dengan kearifan local, budaya berladang dan mengambil rotan di hutan. Sebagian besar masyarakat yang bergantung dari hutan menggabungkan kegiatan berladang dan berkebun dengan memancing, berburu dan mengumpulkan berbagai jenis produk seperti rotan, damar dan madu.
Bagi banyak penduduk Konawe, dari generasi ke generasi, hutan adalah tempat bergantung, penyokong bagi kehidupan. Hutan telah menjadi bagian hidup masyarakat lokal (suku Tolaki), dengan kearifan local, budaya berladang dan mengambil rotan di hutan. Sebagian besar masyarakat yang bergantung dari hutan menggabungkan kegiatan berladang dan berkebun dengan memancing, berburu dan mengumpulkan berbagai jenis produk seperti rotan, damar dan madu.
Sayang, hutan
alam dengan sumber daya hayati tinggi itu perlahan tergerus dan telah berubah
fungsi menjadi areal perkebunan. Dari kejauhan, terasering perkebunan
membentang menggunduli hutan yang hijau. Luasnya membentang di sepanjang hutan-hutan desa di Kecamatan
Sampara hingga dataran tinggi Kecamatan Meluhu.
Perkebunan diperkirakan telah mencapai ribuan
hektar, menerabas jauh areal hutan produksi hingga ke jantung hutan lindung.
Parahnya, pembukaan areal konsesi sawit dibuka
hingga ke bibir daerah aliran
sungai Konaweha. Ini dapat dilihat dari perubahan rona hutan di sana. Hijau
hutan kini berubah menjadi tanah gundul
yang disulap menjadi areal kebun kelapa
sawit. Sebagian besar kebun sawit
milik sejumlah perusahaan belum menghasilkan buah, karena baru berumur antara
satu hingga dua tahun.
Terlihat jika selama ini pemerintah hanya mengejar
PAD atau keuntungan semata, tanpa lagi
memperhatikan aspek lainnya, seperti hak-hak masyarakat dan aspek
ekologi. Semisal pembukaan ribuan hektar
areal sawit dan perusahaan tambang di kecamatan sampara telah berdampak luas
pada lingkungan hidup. Tak hanya persoalan hilangnya akses masyarakat terhadap
lingkungan mereka, tetapi jauh dari itu pembukaan lahan telah menyebabkan
hilangnya keseimbangan ekosistem di dalamnya sehingga menyebabkan terjadinya
pencemaran lingkungan dan mengancam sumber daya air di sepanjang daerah aliran
sungai pohara yang menjadi salah satu sumber kehidupan dan kelangsungan ekonomi warga di sekitar
Pohara Sampara, dimana selama ini Sungai Pohara menjadi sumber hidup ribuan
penambang pasir dan pencari kerang pokea. Namun apa yang dialami masyarakat
tidak berpengaruh karena buktinya perusahaan yang tetap saja melakukan
aktifitasnya.
Selain
praktik perampasan tanah warga, kehadiran perusahaan sawit berdampak pada
lingkungan hidup sekitar. Setiap tahun, saat musim hujan, warga sekitar areal
perkebunan menerima dampak luapan lumpur. “Dulu tak ada luapan lumpur masuk ke
pemukiman, namun kini sudah mencapai jalan raya,”kata Azis Karim. Sejumlah
titik luapan lumpur, diantaranya di Desa Abelisawa, Andaroa, Andepali, Anggalomoare, Rawua,
Puuloro dan Totombe. Selain, jalan raya dan perumahan penduduk, banjir lumpr
juga menerjang sarana umum seperti sekolah dan kantor pemerintah desa dan kantor PLN.
Cemari Sungai
Hadirnya
perusahaan perkebunan disinyalir telah melanggar ketentuan. Ada diantara mereka
yang ditengarai membuka lahan di kawasan yang bukan peruntukannya. DPRD Konawe sendiri
pernah menemukan kegiatan perkebunan, beberapa perusahaan kelapa sawit tidak
melakukan pemeliharaan hutan dan luput dari pengawasan pihak terkait.
Dewan
menuding, amburadulnya pengelolaan kelapa sawit, disebabkan tidak selektifnya
Pemda dalam memberikan izin. Idealnya untuk menanam perkebunan maksimal 25
derajat. Tapi yang terjadi, hutan Konawe sudah gundul bahkan sudah mencapai 90
derajat dan fatalnya penmbukaan lahan
berada tepat di pinggir daerah aliran sungai sehingga membuat air sungai
tercemar.
Pasalnya, sedimentasi lumpur tambang dan aktifitasi
eksplorasi perkebunan kelapa sawit telah menyebabkan sungai yang melintasi
wilayah adminitratif Kecamatan Sampara tercemar berat. Dari pantauan lapangan
ditemukan perubahan kualitas air yang kini berubah kemerahan, kualitas air ini
berada di ambang mengkhawatikan untuk dikonsumsi. Tak hanya bagi warga sekitar, tetapi juga
PDAM Tirta Anoa Kota Kendari, yang selama puluhan tahun menggunakan sungai
pohara sebagai sumber baku air yang
dimanfaatkan masyarakat di Kota Kendari. PDAM merupakan perusahaan milik daerah
Kota Kendari yang bergerak di bidang pengolahan dan pendistribusian air
bersih.Beberapa fasilitas yang dimilki dalam pemprosesan air bersih antara lain
: intake, menara air, clarifier, pulsator, filter, dan reservoir. Semua
perlatan – peralatan tadi dapat dioperasikan melalui system computer yang ada.
Selain berbagai macam peralatan, PDAM juga menggunakan bahan kimia seperti :
kaporit dan tawas dalam proses pengolahan air bersih. Air yang diproduksi dipantau
kualitasnya oleh laboratorium. Sehingga air yang dihasilkan selalu memenuhi
standar kesehatan air bersih.
Selama ini PDAM Tirta Anoa Kota Kendari menjadikan sungai pohara sebagai
sumber bahan baku air bersih yang didistribusikan kepada 25 ribu pelanggan di
Kota Kendari. Hasil uji laboratorium kualitas air baku pohara saat ini di atas 500 MTU (tingkat
kekeruhan) dan mempengaruhi kualias air baku mengingat sedimentasi pengendapan
lumpur cukup tebal. Produksi air baku PDAM dari sungai pohara sebesar 300 liter
perdetik.
Kasubag sumber air baku dan pengeloaan PDAM,
Irawansyah, mengaku saat ini biaya produksi PDAM menjadi meningkat hingga 10
persen akibat air sungai pohara yang semakin kotor memerlukan biaya dan waktu
tambahan untuk disterilkan menjadi layak konsumsi. Saat proses pengendapan
airpun sedimen yang dihasilkan menjadi semakin tebal dan hal ini akan
berpotensi mengakibatkan terjadinya gangunggan peralatan akibat gangguan lumpur
yang semakin banyak.
Dalam UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, terminologi pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain kedalam
lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai
tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai
peruntukannya. Untuk mengukur turunnya kualitas lingkungan tersebut, maka
ditetapkanlah Baku Mutu. Istilah kontaminasi, pada hakikatnya lebih
kurang sama dengan terminologi diatas, tetapi kosa kata kontaminasi
lebih populer dan sering dipergunakan dalam konteks pengelolaan bahan berbahaya
dan beracun (B3) dan limbah B3.
Nasir Andi Baso selaku Ketua Ketahanan Air Sulawesi
Tenggara juga turut prihatin dengan banyakanya sungai yang kini tercemar limbah
lumpur dari industry ekstraktif seperti tambng dan perkebunan sawit. Pria yang
juga menjabat Kepala Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Sulawesi Tenggara ini mencatat terjadinya perubahan kualitas
air seiring dengan aktifitas manusia dan industri. “Sesuai sifatnya air memang menjadi obyek
yang rentan ternjadinya perubahan, kehadiran perusahaan tambang yang
mengeksploitasi telah menyebabkan terjadinya pencemaran pada kualitas sumber
daya air kita,”kata Nasir Andi Baso. Sebagai langkah antisifasi pemerintah telah
menempuh langkah melakukan dialog dengan pemangku kepentingan demi menekan laju pencemaran pada sumber
sumber bahan baku air.
Dampak
lain dari kehadiran perusahaan sawit ternyata
telah menyebabkan krisis air di areal persawahan di sejumlah wilayah di Konawe.
Semata bukan karena dampak musim kemarau
panjang, tetapi juga dipicu oleh ekspansi perusahaan sawit yang secara
seporadis mengolah lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Konaweha.
![]() |
Sungai Pohara yang telah tercemar lumpur. foto: WALHI SULTRA |
Seperti
yang terjadi di Desa Matabura, Kecamatan Amonggedo, Konawe, sejumlah perusahaan
sawit mengolah lahan tidak jauh dari sempadan sungai. Dan di sekitar itu juga
terdapat areal persawahan. Sehingga keberadaan kebun sawit sangat mempengaruhi
kebutuhan air para petani untuk mengairi sawah-sawah mereka. Sawah di sekitar
itu diapit oleh dua perusahaan, yakni tambang dan kebun sawit. Sehingga debit
air yang masuk ke irigasi minim. Dan petani tidak bisa lagi mengairi sawahnya.
Dinas
Kehutanan Konawe pernah melakukan pengecekan lokasi perusahaan. Bahkan saat itu
ditemukan ada wilayah irigasi yang
mengering dan sudah ditanami komoditas sawit oleh perusahaan tanpa
sepengatahuan instansi terkait (dinas pertanian). Padahal daerah yang ditanami
tersebut adalah daerah tangkapan air
(tanggul). Di situ juga sudah ditanami sawit. Daerah-daerah persawahan yang
paling banyak merasakan dampak kekeringan ini diantaranya daerah yang
dihinggapi perkebunan sawit seperti, Kecamatan
Asinua, Meluhu dan Amonggedo. Ini tentu sangat mempengaruhi tingkat produksi padi setiap tahun.
Penolakan atas kehadiran perusahaan sawit di
Kabupaten Konawe memang bukan hal baru disuarakan banyak pihak. Bahkan DPRD
Konawe, tepatnya Augustus 2010 silam,
Komisi B DPRD Kabupaten Konawe menyatakan menolak kehadiran investor perkebunan
kelapa sawit di Kabupaten Konawe. Pernyataan tersebut dilontarkan Wakil Ketua
Komisi B DPRD Konawe, Djamaludin Banasiu dihadapan Ketua Komisi B DPRD Konawe,
Gusli Topan Sabara yang kini menjadi Ketua DPRD Konawe dan anggota Komisi B
lainnya. Sikap Komisi B tersebut merupakan keputusan bulat dari Komisi B
setelah mereka melakukan kunjungan langsung ke lokasi perkebunan kelapa sawit
di Kecamatan Besulutubersama instansi dinas terkait.
Keputusan penolakan itu, bahkan direkomendasikan
kepada pemerintah Kabupaten Konawe. Beberapa dasar pertimbangan penolakan
perusahaan sawit tersebut telah melakukan aktivitas berupa pemetaan wilayah
perkebunan dan penebangan kayu di kawasan hutan, sebelum ada izin prinsip dari
pemerintah daerak Kabupaten Konawe. Selain itu kata dia, lokasi yang
direncanakan akan menjadi areal perkebunan kepala sawit merupakan masuk dalam
Daerah Aliran Sungai (DAS).
Dengan masuknya perusahaan sawit di Kecamatan
Besulutu, Bandoala dan Sampara diprediksi akan menambah kerusakan kawasan DAS. Bisa dibayangkan berapa banyak jenis kayu kayu
yang hilang dan berapa ribu jenis flora fauna yang musnah saat pembukaan areal
sawit. Sebab pembukaan areal sawit tidak seperti membuka areal HPH yang
menggunakan pola tebang pilih dan melakukan proses reboisasi. Tetapi membuka
areal sawit sama dengan menggunduli hutan alias menggunakan system babat habis.
Babat Habis
HUTAN konawe
memang cukup menggiurkan bagi dunia investasi. Betapa tidak, terdapat sekitar 611.045 hektar ( sumber data BPS)
kawasan hutan di negeri berjuluk Inolobu Nggadue ini. Luasan hutan terdiri dari
kawasan suaka dan pelestarian alam seluas 17.115 Ha, hutan lindung seluas 236.190 Ha, Hutan Produksi terbatas
107.463 Ha, hutan produksi biasa 52.041 Ha, Hutan produksi yang dapat
dikonversi seluas 24.913 Ha serta kawasan budidaya non kehutanan seluas 173.323
Ha.
Hutan yang luas lantas membuat Pemerintah Konawe jumawa
dengan membuka kran investasi
seluas-luasnya, diantaranya memberikan ijin pengembangan perkebunan sawit
hingga belasan ribu hektar pada sejumlah investor. PT. Tani Prima Makmur misalnya, berdasarkan
surat keputusan Bupati Konawe No 408 tahun 2010 memperoleh konsesi seluas 4.500
Ha dengan lokasi meliputi Kecamatan Meluhu, Amonggedo dan Bondoala. Tak hanya
itu perusahaan milik Ir Harlim Stevanus
Wijaya. Itu juga memproleh izin
pengembangan perkebunan sawit dari bupati konawe pada tahun yang sama seluas
15.000 Ha dengan wilayah meliputi Kecamatan abuki, Tongauna, Anggaberi dan wawotobi.
Nah, itu
baru satu perusahaan, di Konawe sendiri ada sekitar 6 perusahaan sawit
yang siap berinvestasi, yang seluruhnya telah melakukan kegiatan
eksploitasi.
Selain merubah rupa dan luas areal hutan, perlahan
kehadiran perkebunan telah pula merubah pola kehidupan masyarakat dari
polikultur, yaitu menanam berbagai tanaman perkebunan dan bersawah tadah hujan,
berubah menjadi monokultur yaitu hanya menjadi buruh perkebunan kelapa sawit
pada lahan mereka sendiri. Ini berimplikasi pada perubahan pola tanam dari
berladang, menjadi budaya perusahaan. Temuan di lapangan di desa-desa yang
dilalui perusahaan sawit telah membuat
sumber-sumber hidup masyarakat local, hal ini terlihat dari sudah jarangnya terdapat pohon sagu, karena kebanyakan pohon
sagu telah berganti dengan kelapa sawit.
Bahkan menurut masyarakat, tidak ada peningkatan
perekonomian yang signifikan semenjak masuknya perkebunan sawit. Tak sampai di
situ, harapan kesejahteraan dari perkebunan sawit belum benar-benar dirasakan
manfaatnya. Perusahaan sawit sama sekali belum memberikan manfaat ekonomi yang
signifikan. Hal ini dapat dilihat dari produksi kelapa sawit empat tahun
belakangan, dimana pada tahun 2013 lalu, produksi sawit di Konawe hanya berada
di angka 120 ton /tahun (data statistic konawe dalam angka). Angka ini jauh di
bawah dari komoditi perkebunan lainnya seperti, produksi sagu yang mencapai
2479,6 ton per tahun. Bahkan kalah dari nilai produksi cengkeh dan kakao yang
masing-masing mencapai 295,5 ton dan
12.561,4 ton per tahun.
Padahal di awal-awalnya, pemerintah menggadang-gadang
kehadiran perusahaan sawit akan mensejahterakan rakyat. Sederat rencana
pemerintah setidaknya bermimpi daerah
akan memperoleh pemasukan PAD dari perusahaan –perusahaan sawit sebesar 200 miliar per tahun serta menciptakan
lapangan kerja buat ribuan orang.
Rampas
Tanah Rakyat
Alih-alih mensejahterakan rakyat, kehadiran perusahaan
perkebunan sawit justeru membuat rakyat
sengsara karena merapas hak-hak masyarakat local. Seperti yang terjadi di
wilayah kecamatan sampara.
Salah satu perusahaan kebun kelapa sawit PT Harlita Agri Makmur yang beroperasi dengan semena-mena mencaplok tanah
masyarakat. Perusahaan memanfaatkan kelemahan warga yang rata-rata tidak memiliki sertifikat lahan,
sehingga dimanfaatkan pihak perusahaan seenaknya menerobos dan menguasai lahan
warga tanpa memberikan ganti rugi.
Yusuf, salah satu warga yang tanahnya dikuasai PT
Harlita Agri Makmur mengaku sudah dua tahun berjuang merebut tanahnya yang
dicaplok perusahaan tersebut. Perusahaan bahkan menghancurkan semua tanaman
produktif yang tumbuh di atas tanahnya. Ia
telah berkali-kali melakukan protes, namun tidak mendapatkan tanggapan.
Bahkan, pria parubaya itu telah berupaya menempuh jalur hukum dengan melapor ke
pihak kepolisian, namun tetap tidak mendapat tanggapan. Demikian pula
Pemerintah Daerah (Pemda) juga tidak memberikan solusi.
Diduga keberanian pihak perusahaan menguasai lahan
warga tanpa membayar ganti rugi lahan itu akibat dibekingi pihak pemerintah dan
aparat penegak hukum. Sejumlah kepala desa di kecamatan itu juga ditengarai
telah menerbitkan surat Kepemilikan Tanah (SKT) baru dengan mengatasnamakan
lahan warga tersebut sebagai lahannya sendiri
dan telah mendapatkan ganti rugi dari pihak perusahaan.
Yusuf mengaku tak sendiri. Ada puluhan warga bernasib sama seperti
dirinya. Azis Karim misalnya yang mengaku tanah seluas setengah hektar yang diatasnya
tumbuh tanaman produktif diambil paksa perkebunan sawit. Meski begitu, kesewenang-wenangan
itu tidak lantas membuat masyarakat pemilik lahan diam. Sebaliknya mereka akan terus memperjuangkan haknya.
Sebagai salah satu bentuk protes jalan perusahaan yang berada di desa Andaroa
telah dipalang oleh warga dan tidak membiarkan pihak perusahaan melalui jalan
tersebut.
Ironis
memang, pemerintah yang diharapkan
menjadi mediator komunikasi antara perusahaan dan warga tak mengambil peran
sama sekali. Justeru cenderung menjadi pihak yang ikut berkolaborasi dengan
perusahaan. Ini dapat dilihat dari seringnya masyarakat meminta pemerintah menjembatani permasalahan, tapi tidak pernah
mendapat tanggapan serius, bahkan
terkesan tidak peduli.
![]() |
Sungai Pohara. foto: YOS |
Proyeksi
Dinas Kehutanan Sulawesi Tenggara, hampir setengah kawasan hutan telah dikapling untuk pembukaan
areal pencadangan termasuk untuk lahan sawit. Pihak dinas kehutanan sendiri merasa tidak setuju dengan pembukaan
lahan sawit yang tidak memperhatikan aspek ekologi. Sebab saat ini ada kecenderungan pembukaan
lahan sawit tak mengenal batas areal. Artinya
pembukaan areal sawit tidak hanya berada di dataran dengan kemiringan
lebih dari 35 derajat tetapi juga telah memasuki areka kawasan hutan produksi
dan hutan lindung. Karena itu juga pihak
kehutanan mencurigai dari sekitar 500 ribu hektar rencana pembukaan lahan sawit
di sultra hanya separuhnya yang benar-benar kebun sawit. Sisanya,
pohon-pohonnya ditebang dan lahannya
dibiarkan terlantar.
Sebagaimana
diatur dalam PP Nomor 34 Tahun 2002 tentang tata cara pelepasan lahan, maka
seharusnya dimulai dengan tahapan
pengusulan investor sawit yang diajukan bupati selaku kepala daerah
kabupaten, yang selanjutnya direkomendasikan oleh gubernur dan diteruskan ke menteri terkait untuk
pelepasan lahan kelola. Bila mengacu mekanisme tersebut, maka dipastikan hampir
seluruh perusahaan sawit yang saat ini beramai-ramai melirik Sultra untuk
menanamkan investasi tidak ada yang memenuhi standar.
Dr. Ir. Edi Purwanto, M.Sc, Direktur Opwal Trust dan
Peneliti Bidang Hdirologi dan pengelolaan DAS dalam artikelnya menuliskan, pembangunan kebun kelapa sawit yang dilakukan
dengan mengkonversi hutan alam, selain merusak habitat hutan alam yang berarti
menghancurkan seluruh kekayaan hayati hutan yang tidak ternilai harga dan
manfaatnya, juga akan merubah landscape (permukaan tanah) hutan alam secara
total. Proses ini apabila tidak dilakukan dengan baik (dan biasanya memang
demikian) akan berdampak pada kerusakan seluruh ekosistem Daerah Aliran Sungai
(DAS) yang berada dibawahnya. Dampaknya, antara lain adalah meningkatnya aliran
permukaan (surface runoff), tanah longsor, erosi dan sedimentasi. Kondisi ini
semakin parah, apabila pembersihan lahan (setelah kayunya ditebang) dilakukan
dengan cara pembakaran.
Dalam setiap perkebunan yang dikelola secara
intensif, rumput dan tumbuhan bawah secara menerus akan dibersihkan, karena
akan berperan sebagai gulma tanaman pokok. Dilain pihak, rumput dan tumbuhan
bawah ini justru berperan sangat penting untuk mengendalikan laju erosi dan
aliran permukaan. Keberadaan pepohonan yang tanpa diimbangi oleh pembentukan
serasah dan tumbuhan bawah justru malah meningkatkan laju erosi permukaan.
Mengingat energi kinetik tetesan hujan dari pohon setinggi lebih dari 7 meter justru
lebih besar dibandingkan tetesan hujan yang jatuh bebas di luar hutan. Dalam
kondisi ini, tetesan air tajuk (crown-drip) memperoleh kembali energi
kinetiknya sebesar 90% dari enerji kinetik semula, disamping itu butir-butir
air yang tertahan di daun akan saling terkumpul membentuk butiran air
(leaf-drip) yang lebih besar, sebingga secara total justru meningkatkan
erosivitas hujan.
Pembangunan perkebunan memerlukan pembangunan jalan,
dari jalan utama hingga jalan inspeksi, serta pembangunan infrastruktur
(perkantoran, perumahan), termasuk saluran drainase. Kondisi ini apabila tidak
dilakukan dengan baik (lagi-lagi biasanya memang demikian) akan berdampak pada
semakin cepatnya air hujan mengalir menuju ke hilir. Implikasinya, peresapan
air menjadi terbatas dan peluang terjadinya banjir dan tanah longsor akan
meningkat.
Di lain pihak, pohon kelapa sawit sebagai pohon yang
cepat tumbuh (fast growing species) dikenal sebagai pohon yang rakus air,
artinya pohon ini memiliki laju evapotranspirasi (penguap-keringatan) yang
tinggi. Setiap pohon sawit memerlukan 20 – 30 liter air setiap harinya. Dengan
demikian konversi hutan alam menjadi perkebunan kelapa sawit dapat mengurangi
ketersediaan air khususnya di musim kemarau. Sumber-sumber air di sekitar kebun
kelapa sawit terancam lenyap, seiring dengan pertambahan luas dan bertambahnya
umur pohon kelapa sawit.
Memperhatikan melimpahnya sumberdaya lahan dan
semakin menyusut dan langkanya hutan alam, pembangunan perkebunan kelapa sawit
seharusnya tidak lagi dilakukan dengan cara mengkonversi hutan alam. Masih
tersedia sumberdaya lahan yang maha luas dan tidak produktif menunggu sentuhan
investasi. Sudah saatnya pembangunan tidak sekedar mengejar pertumbuhan, namun
harus menjunjung tinggi kelestarian lingkungan. Investasi yang dilakukan tidak
tepat sasaran sudah banyak terbukti merusak lingkungan, bahkan merusak
kehidupan. Jangan biarkan darah dan airmata serta dana terbuang percuma karena
kesalahan pengambilan keputusan.(YOSHASRUL)
Blogger Comment
Facebook Comment