![]() |
Ir Hugua. dok foto: geowisata.net |
Sedikit kepala daerah yang saya
temui seperti beliau, terutama dalam keaktifan di forum-forum internasional. Ia
sangat bersemangat dan sangat fokus hingga kegiatan benar-benar menemui
klimaks. Inilah yang dilakukan Pak Hugua dibeberapa kegiatan pertemuan para
pemimpin berskala dunia. Dalam suatu policy speech di Roundtable Mayor
Meeting Coral Triagle Inisiatif (CTI), 16 Mei 2010, tepat pada penandatanganan
kerjasama coral triagle Hugua menegaskan; agar para bupati
dan pemimpin regional di negara-negara maju tidak hanya menyebarkan demokrasi,
namun juga membantu memperkuat governance dan menjaga keseimbangan ekosistem
laut.
Selain itu, kebebasan walaupun penting, tidak ada artinya kalau
tidak dibarengi dengan toleransi dan kepekaan pada nasib lingkungan
hidup–bahkan kadang toleransi bisa lebih penting di banding kebebasan. Para pemimpin local dunia yang terdiri dari
bupati dan walikota terpana dan menyatakan, bahwa, pidato Hugua adalah pidato
politik terpenting bagi para bupati kawasan dunia untuk pembangunan lingkungan
yang berkelanjutan.
Belum
ada pidato sedemikian penting di tingkat goverment lokal yang mendunia, apa
yang dibuat Hugua membuat tak hanya rakyat wakatobi bangga menjadi orang
indonesia tetapi juga para delegasi daerah lain di Indonesia semua berjalan
dengan kepala tegak penuh percaya diri, tertular Hugua.
Ketika itu, Major meeting enam Negara di
wakatobi sebenarnya adalah sebuah kegiatan lanjutan dari pertemuan pertama, yang
sebelumnya diselenggarakan di Manado. Namun di pertemuan lanjutan CTI di
Wakatobi, perlahan menemukan titik solusi untuk menjalan sejumlah agenda. CTI
adalah world summit yang dilahirkan dari hasil kerjasama antara enam Negara.
Pada pertemuan yang dikemas dalam
CTI Mayors Raoundtable atau pertemuan meja bundar yang berlangsung selama tiga
hari, membahas isu-isu terkini, diantaranya, masalah ketahanan pangan,
perubahan iklim global dan kelangkaan energi serta isu-isu lain yang
berhubungan dengan masalah kelestarian lingkungan hidup. Para pemimpin
selanjutnya membangun komitmen mengggunakan sumber daya kelautan itu untuk
kesejahteraan masyarakat.
Pertemuan strategis yang digagas
Hugua itu tentu punya cerita tersendiri, bermula saat Hugua bersama para
pemimpin local dari enam Negara bertukar pikiran dan membagi pengalaman mereka
dalam sebuah pertemuan di Filiphina. Saat itu Hugua menjadi salah satu delegasi
Indonesia. Usai pertemuan mereka kemudian menyelam bersama di
sekitar perairan laut Carlos P Garcia, Provinsi Bahol, Filiphina.
Ia berujar, “Saya sungguh
terkaget-kaget, kalau sumber daya alam filiphina itu dalam tekanan yang luar
biasa besar. Saat menyelam saya hanya menemukan sedikit ikan dan banyak terumbu
karang yang sudah dibaluri lumut, pertanda betapa sumberdaya kelautan di negeri
itu begitu tinggi, khususnya di wilayah-wilayah kondilidaversia dan beberapa
wilayah kabupaten. Sejak itulah, saya bersumpah dalam hati, di bawah laut
Filipina, bahwa, sebelum laut Indonesia rusak seperti Filiphina, sebelum
wakatobi mendapat tekanan sumber daya seperti filiphina, maka saya harus
mengambil alih segala tanggung jawab. Pada akhirnya, di laut itulah saya
bersumpah bahwa saya harus melakukan sesuatu demi memperbaiki wakatobi,
memperbaiki Indonesia, memperbaiki bumi. Sejak itulah saya membuat gagasan
secara tertulis, saya berbicara dengan teman-teman di enam Negara, saya bicara
pada USAID, bahwa, kita harus mempertemukan para bupati.
Apalagi di era otonomi daerah peran
rakyat menjadi sangat strategis, dan para bupati dan walikota harus mengambil
inisiatif besar. “Saya kira ini adalah program regional yang pertama dalam
round table ini antar pemimpin local dunia, dan ini terus akan bergulir
dilaksanakan di enam Negara,”ujarnya.
Setelah wakatobi mewakili Indonesia,
sejumlah Negara mengajukan lamaran menggelar kegiatan serupa, diantaranya
Kabupaten Sampurna di Negara bagian Sabah Malaysia, selanjutnya bergulir ke
Papua Nugini, Salomon Island, Filiphina, Timor Leste dan kembali ke Indonesia.
Hugua optimis kegiatan ini akan akan bergulir terus dan kita harap hingga akhir
hayat. Oleh karenanya, kami bertemu di sini (Wakatobi, Red) untuk enam Negara
ini, dimana ada level direktorat jenderal, level bupati/walikota, bahkan juga
ada level gubernur pada beberapa daerah, karena kita punya struktur
pemerintahan yang berbeda.
Materi pokok yang dibahas adalah
soal kesamaan cara pandang bagaimana implementasi yang berkaitan dengan
kegiatan CTI, bagaimana memperkuat posisi masyarakat pesisir dunia. Kedua,
melahirkan sebuah asosiasi bupati / walikota di enam Negara yang akan
mengimplementasikan langsung ke masyarakat dan langsung menyentuh segitiga
karang dunia itu sebagai dalam kaitannya menjaga ketahanan pangan dunia, kedua
bagaimana menjalankan mitigasi perubahan iklim, dan berikutnya bagaimana
memberilakan perlindungan yang serius pada kawasan, sehingga diharapkan adanya
berkelanjutan kehidupan laut ke anak cucu kita sampai kapan pun.
Pokok-pokok pikiran yang lahir dari
pertemuan CTI tentu memberi keuntungan besar bagi Indonesia khususnya Kabupaten
Wakatobi, sebagai inisiator. Pada round table meeting six major di CTI country
ini telah melahirkan komitmen wakatobi yang mengikat enam Negara kaitannya
bagaimana dengan pengelolaan sumber daya pesisir dan kelautan, tapi juga pada
saat bersamaan bagaimana perlindungan kawasan tetap berkelanjutan sehingga
lahirlah sebuah komunike bersama.
Inisiator pertemuan itu, Hugua yang
juga menjabat Bupati Wakatobi saat memberi sambutan mengatakan, dirinya
mengundang sejumlah bupati dan wali kota dari enam negara anggota CTI itu,
terinspirasi pengalaman menyelam di sekitar perairan laut Carlos P Garcia,
Provinsi Bahol, Pilipina yang terumbu karangnya sudah mengalami kerusakan cukup
serius. “Saat menyelam di perairan laut yang karangnya sudah berlumut itu, saya
bersumpah akan mengambil inisiatif mengajak para bupati dan wali kota wilayah
pesisir untuk menyamakan persepsi dalam mengelola sumber daya kelautan demi
kesejahteraan bersama seluruh manusia, sebelum terumbu karang di Indonesia
maupun dunia mengalami kerusakan,” katanya. Kata-kata ini kemudian dikutip
media-media internasional.
Karena sumpah itulah, ujar Hugua,
maka pertemuan meja bundar yang diikuti sejumlah bupati dan wali kota dari enam
negara ini dapat terwujud. “Saya berharap melalui pertemuan ini akan melahirkan
kesepakatan membentuk Asosiasi bupati/wali kota wilayah pesisir di enam negara
yang menjadi anggota CTI,” katanya.
Sementara itu, Ny Kety, mewakili
Direktur Program US CTI SP, mengatakan, pertemuan para bupati dan walikota dari
enam negara ini, lebih penting dan strategis dibandingkan dengan pertemuan para
menteri yang hanya bicara teori dan retorika dalam menyelamatkan lingkungan
hidup. “Bupati dan wali kota, memiliki otoritas atau kewenangan dalam
menyelamatkan lingkungan hidup, sehingga pertemuan ini menjadi sangat penting
dan strategis dana menjaga keselestarian sumber daya alam secara
berkelanjutan,” katanya.
Nasmoko, koordinator CTI Indonesia
mengatakan, Pemerintah Indonesia sangat mendukung pertemuan itu, terutama dalam
menyuksueskan misi CTI yang meliputi pengembangan perikanan, pelestarian
terumbu karang dan mengembangkan pengendalian pencemaran alternatif.
“Pemerintah Indonesia, sangat konsisten mendukung berbagai kegiatan
penyelamatan lingkungan hidup dari ancaman kerusakan akibat pemanfaatkan sumber
daya alam yang tidak terkendali,” katanya.
Idenya awal CTI dari Filiphina,
selanjutnya diselenggarakan di Manado lalu deklarasinya dimatangkan para
bupati/walikota enam Negara di wakatobi. Adapun enam negara yang menjadi
anggota CTI yakni Indonesia, Timor Leste, Pilipina, Kepulauan Salamon, Malaysia
dan Papua Nugini. Indonesia sendiri diwakili dua orang, yakni Bupati Wakatobi
Hugua dan Wali Kota Kupang, Daniel.Sedangkan dari lima negara lainnya
masing-masing diwakili tiga bupati/walikota. (Yoshasrul)
Blogger Comment
Facebook Comment