Peringatan May Day: Lindungi Jurnalis dengan Kontrak Layak
Oleh: Zainal Ishaq, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Kendari
ADA sebahagian orang yang ketika bangun pagi memilih sarapan berita ketimbang masakan istri tercinta. Mereka yang menguasai infornmasi dikatakan bisa menguasai dunia. Bahkan dikatakan pula bahwa media massa adalah pilar ke-empat dalam sistem demokrasi setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Sederhananya: Hidup menjadi tidak sempurna jika dalam sehari kita tidak melihat atau membaca berita di media massa cetak atau elektronik maupun internet. Begitulah kekuatan media massa.
Tetapi tahukah kita bahwa sebuah berita dihasilkan dari keringat dan kerja keras wartawan atau jurnalis?? Ada banyak hal yang dipertaruhkan seorang jurnalis untuk bisa menghasilkan sebuah berita (berkualitas). Tidak ada libur. Tidak ada batasan jam kerja yang pasti. Tidak sedikit dari mereka yang harus berlelah-lelah dengan motor dan sepatu butut. Menunggu berjam-jam sambil rebahan diteras kantor demi seorang narasumber keluar dari kantor.
Ada pula yang harus mendapat cibiran dan hinaan dari narasumber. Hingga kasus kekerasan psikis dan fisik. Kadang mendapat hadiah bogem mentah dan tendangan sampai berujung pembunuhan. Sementara di kantor sendiri para jurnalis kerap belum memperoleh status yang jelas.
Kondisi sebahagian besar para jurnalis, sampai saat ini belum mendapatkan perhatian serius dalam kesempatan mengembangkan jenjang karir, kesejahteraan tetap atau nasib akan masa depannya sebagai jurnalis di perusahaan media baik cetak, online, radio, televisi yang saat ini mempekerjakannya. Padahal, Jurnalis adalah buruh yang dilindungi oleh undang-undang.
Hampir mayoritas, jurnalis yang dengan status tersebut, tidak punya kepastian dalam bekerja. Bahkan tidak punya daya tawar secara status ketenagakerjaan di dalam perusahaan. Istilahnya, jurnalis dengan status tersebut, berbeda dengan jurnalis dengan status hubungan ketenagakerjaan yang jelas, mereka mendapat berbagai fasilitas dan keberlangsungan dalam menjalankan profesinya.
Dalam hubungan ketenagakerjaan atau bagi perusahaan yang beroperasi di Indonesia, termasuk media asing, harus menghormati dan melaksanakan aturan normatif yang dikeluarkan oleh pemerintah yakni, undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaa, serta aturan turunannya seperti peraturan menteri tenaga kerja dan transmigrasi terkait upah, cuti atau aturan outsourcing.
Dalam aturan tersebut, sangat jelas, bahwa status kerja hanya ada tiga kategori, tetap, kontrak waktu tertentu dan outsourcing. Ketiga kategori tersebut, sudah sangat jelas ruang lingkupnya berbeda dan ada syarat yang harus dipenuhi oleh perusahaan. Status ketenagakerjaan yang jelas ini, akan berdampak pada status jurnalis dalam menuntut hak dan masa depannya.
Apabila status ketenagakerjaannya sudah jelas, maka jurnalis akan terikat secara hukum dengan perusahaan yang diikat oleh aturan yang tercantum dalam kontrak kerja antara jurnalis dan perusahaan, baik yang sudah berstatus tetap dengan mengacu pada aturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama yang diusung oleh Serikat Pekerja (SP) atau perjanjian kontrak bagi karyawan yang belum masuk kategori tetap.
Sampai saat ini, banyak jurnalis yang memiliki status ketenagakerjaan jelas. Apakah mereka masuk karyawan kontrak atau tidak. Alasanya, masih banyak jurnalis dengan status tersebut tidak punya kontrak kerja, malahan, mereka direkruit umumnya hanya secara lisan oleh sesama jurnalis yang punya kedududukan seperti redaktur atau pemimpin redaksi, tanpa pelibatan manajemen rekuitmen .
Selain banyak yang direkrut secara lisan, yang punya kontrakpun, tidak menguntungkan jurnalis. Kondisinya, status ketenagakerjaannya masih digantung. Kontrak yang ada saat ini, lebih banyak berisi tentang harga atau bayaran atas karya yang dihasilkan. Bukan mempertegas kedudukan jurnalis tersebut dalam hubungan ketenagakerjaan. Hubungan ketenagakerjasaan, jurnalis dengan posisi tersebut, mayoritas tidak memiliki jaminan sosial, minimal seperti yang disyaratkan UU Sistem Jaminan Sosial.
Perushaaan media, ogah untuk mendaftarkan atau memberikan jaminan sosial tersebut pada jurnalis. Padahal, hal tersebut kebutuhan dasar, dan secara tegas dalam UU SJSN dan BPJS menjadi tanggung jawab perusahaan dengan sistem gotong-royong antara pemberi kerja dan penerima kerja.
Media massa sebagai pilar keempat demokrasi harusnya malu jika mempekerjakan jurnalis secara tidak layak karena ini akan berdampak pada informasi yang dihasilkan jurnalis.
Kebebasan dalam bisnis informasi, bukan semata-mata dilahirkan oleh investasi pengusaha, tetapi ada perjuangan panjang yang dilakukan masyarakat sipil. Dengan kondisi tersebut, perusahaan media harusnya bukan sekedar mengejar untung demi kekayaan pemegang saham. Tetapi, dalam bisnis media, ada kewajiban perusahaan untuk lebih besar mengivestasikan dananya demi sumber daya manusia yang berkualitas dan sejahtera.
Atas dasar itulah AJI Kota kendari menyerukan kepada pemerintah dan perusahaan media untuk: 1. Lindungi Jurnalis dengan Kontrak Layak 2. Stop mempekerjakan jurnalis tanpa kontrak yang jelas 3. Samakan status jurnalis ditingkat nasional maupun daerah 4. Penuhi hak-hak jurnalis perempuan.**
Blogger Comment
Facebook Comment