Aktifitas pertambangan nikel di Sultra telah mencemari perairan laut dan berdampak buruk pada penghasilan masyarakat nelayan pembudidaya rumput laut. foto: Ist/sultranew.com |
KONSEL, SULTRANEWS-Deru mesin berat
menggema di kejauhan. Tiga alat berat jenis hexa meraung-raung menggali dan
mengangkut bongkahan tanah merah. Sesekali debu
kecoklatan menghambur ke udara, membentuk hujan asap yang kuning pekat. Membuat
operator hexa berkali-kali mengibas baju yang penuh dengan tempelan debu. Lalulalang
dumb truk melengkapi menu siang yang
terik di kawasan Kecamatan Palangga Selatan.
Sebuah kondisi yang tak
jauh berbeda berlaku di seluruh wilayah Kabupaten Konawe Selatan, khususnya
daerah yang memiliki sumber daya mineral bernama nikel itu. Wilayah-wilayah hutan
di daerah ini sejak tiga tahun belakamngan telah beralih fungsi menjadi wilayah
konsesi pertambangan, menjorok ke perairan laut.
Kondisi ini tentu berdampak
besar pada kesehatan penduduk, baik yang bermukim di kawasan pinggiran hutan,
daratan hingga warga yang berdomisili di perairan laut. Warga seolah benar-benar
menjadi akrab dengan kehadiran pertambangan dan dipaksa menerima kenyataan. Truk
dan kapal-kapal yang berlabuh menjadi pemandangan biasa. “Ya mau bagaimana lagi
pak, pemerintah telah memberikan ijin
pertambangan, jadi diterima saja resikonya,”kata Alimudin, seorang warga di
pesisir Kecamatan Tinanggea
Tak hanya soal
kesehatan, imbas paling besar berdampak pada sumber-sumber kehidupan
masyarakat, dimana hilangnya sumber air serta terganggunya lokasi pencarian
penduduk khsusunya masyarakat pesisir. Ini ditandai dengan mengalirnya keluhan
nelayan yang kehilangan lokasi budidaya hasil laut mereka, seperti budidaya
rumput laut, teripang hingga hasil tangkapan ikan. Ironisnya pemilik perusahaan pertambangan seolah “menutup mata”,
bahkan terkesan tidak peduli. “Berkali-kali Kami melakukan penolakan, tetapi
tetap tidak mendapat tanggapan,”kata Alimudin.
Alimudin mengaku jauh
sebelum kehadiran tambang, penghasilan dari budidaya rumput laut dan
teripang cukup melimpah, sebulannya bisa mencapai 30 juta rupiah yang diperoleh
dari hasil panen rumput laut per sekali masa panen. Demikian pula hasil dari budidaya teripang,
nelayan sepanjang tinanggea dan palangga selatan yang berjumlah ratusan kepala
keluarga, bisa meraup keuntungan besar, bahkan milaran rupiah. Perolehan ini
memberikan keuntungan bagi daerah Konawe Selatan. Kini, semua hasil itu tak
lagi mungkin bisa dinikmati kelak, sebab laut yang telah tercemar limbah lumpur
merah mempengaruhi kualitas air laut dan berdampak pada hasil budidaya
masyarakat. “Air laut yang keruh berdapak besar pada hasil budidaya rumput laut
kami,”pria parubaya ini.
Sejumlah perusahaan
tambang yang kini beroperasi di Konawe Selatan diantaranya, PT Sambas, PT
Ifisdecho, PT II. Perusahaan-perusahaan memiliki wilayah konsesi hingga ribuan hektar membentang dari tinaggea, palangga dan palangga selatan, termasuk ke wilayah kecamatan Laeya di Torobulu.
Terpuruknya penghasilan
nelayan membuat ‘gerah’ pimpinan DPRD Kabupaten Konawe Selatan yang memprotes
keras tindakan perusahaan yang tidak memperhatikan hak-hak masyarakat pesisir.
“Kami telah memberikan teguran kepada pemilik perusahaan untuk memperhatikan
kaidah penambangan yang prolingkungan, terutama memperhatikan hak-hak hidup
masyarakat pesisir atau nelayan,”ungkap Anshari Tawulo.
Paling tidak perusahaan
bisa mendengar aspirasi warga dengan mau duduk bersama menyelesaikan persoalan
yang dihadapi penduduk pesisir. “Kita tidak juga bisa mencegah atau
melarang kehadiran tambang karena
keberadaan mereka atas restu pemerintah dalam rangka memaksimalkan potensi
sumber daya alam. Tapi sekali lagi dikelola dengan arif dan bijaksana tanpa
merugikan kepentingan masyarakat lainnya,”ujarnya.
”Fakta ini sangat kontradiksi dengan visi pemerintah yang menggelorakan minapolitan,”katanya. Baginya, wilayah Tinanggea adalah cluster utama dari program minapolitan sehingga jika ada tambang disekitar perairan akan sangat menggangu aktifitas nelayan budidaya maupun nelayan perairan tangkap. “Jadi sebaiknya pelabuhan ifisdeco segera dipindahkan ke daerah lain seperti palangga atau palangga selatan,”pintanya.
Ia juga berharap agar
perusahaan segera menyelesaikan ganti rugi atas kerugian nelayan palangga
selatan dan tinanggea yang terkena
dampak langsung aktifitas pertambangan. TIM
Blogger Comment
Facebook Comment