Aktifitas murid-murid di SD Negeri 1 Kokoe, Kecamatan Talaga Raya, Kabupaten Buton. foto: Zainal Ishak/Sultranews.com |
BUTON, SULTRANEWS-Seperti biasa, setiap Senin murid selalu berkumpul di halaman sekolah yang lapang. Mereka berbaris rapi menunggu upacara bendera. Bagi murid SD Negeri I Kokoe, Senin (17/09) itu adalah hari istimewa. Hari yang menegangkan sekaligus membanggakan. Penyebabnya tak lain karena orang nomor satu di desa mereka ikut upacara di sekolah itu. Kok bisa? Ya, Sang Kepala Desa (Kades) sengaja datang untuk memberikan motivasi sekaligus semangat pada murid-murid di sana.
Prosesi upacara hari itu benar-benar berjalan sukses. Senyum simpul Kades Kokoe pun mengembang lebar. Usahanya menenangkan siswa yang tegang saat latihan membuahkan hasil. Sang merah putih berhasil sampai di puncak tiang besi yang telah digerogoti korosi.
"Tentu tak mudah meraih semua ini. Butuh kerja keras dan kesabaran,"kata Hattang, Kades Kokoe.
Ya, pagi itu satu persatu rangkaian acara berlalu. Upacara ditutup dengan mars Dari Sabang Sampai Merauke ciptaan R. Soeharjo yang menggema dalam koor “seadanya”. Suasana sekolah kembali seperti semula, guru mengajar, anak-anak belajar.
Sepintas tidak ada yang salah dengan Sekolah di Desa Kokoe, Kecamatan Talaga Raya, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara ini. Tapi, siapa sangka, sekolah tengah menghadapi masalah yang sangat urgen, yakni kekurangan tenaga guru. Dan ironisnya, kondisi ini sudah bertahun-tahun lamanya. Meski begitu semangat memajukan pendidikan masih benar-benar meletup di sana. Butuh arsitek yang bisa memompa semangat anak-anak desa untuk tetap bersekolah.
Beragam kegiatan terpaksa dilakukan. “Setiap bulan harus ada rekreasi. Kalau bosan (rekreasi) kita adakan lomba atau permainan. Ini yang bikin anak-anak tertarik mau bersekolah. Termasuk menghadirkan kepala desa di sekolah”, kata kepala sekolah, Juanda, membuka pembicaraan dengan Sultranews.com.
Pagi itu matahari terasa panas. Beruntung dua pohon pinus raksasa yang tubuh dengan kokoh dekat gedung sekolah membuat suasana terasa adem. Keberadaan kedua pohon ini memang cukup bermanfaat, menjadi pelindung dari terpaan terik matahari, sekaligus tempat bermain murid-murid kala istrahat. SD Kokoe sendiri terdapat 139 murid. Jumlah yang tidak sedikit untuk ukuran daerah terpencil.
Juanda lalu bercerita bagaimana sulitnya meyakinkan orang tua murid agar mau menyekolahkan anaknya. Pasalnya mayoritas penduduk Desa Kokoe adalah nelayan suku bajo. Dalam kehidupan mereka, mencari ikan dan hasil laut lainnya telah menjadi budaya. Sehingga sejak dini anak-anak tidak terkecuali perempuan telah terbiasa berlama-lama di laut ketimbang di rumah.
“Jadi karena sudah biasa pegang uang dari hasil melaut, mereka tidak mau lagi sekolah. Sekolah hanya dianggap buang-buang waktu. Apalagi hanya saya sendiri guru disini” kisahnya.
Lalu suatu saat muncullah ide rekreasi itu. Alhasil, ide itu pelan tapi pasti berhasil “memancing” perhatian anak-anak. “Mulanya mereka hanya datang menonton. Lama-lama mereka ikut bergabung rekreasi atau bermain sampai ahirnya meminta ikut bersekolah” kenang Juanda.
Setelah lebih dari separuh jumlah anak-anak Kokoe bersedia menjadi “anak sekolah”, muncul masalah lain. Sang kepala sekolah mulai kesulitan membagi waktu untuk mengajar di enam kelas dalam sehari.
“Contohnya, kalau saya mengajar di kelas lima, anak-anak dikelas lain mulai kacau. Ada yang berkelahi, ada yang menangis, ada juga yang sudah bermain-main sampai ke laut. Begitu terus.”katanya.
Parahnya, jika ia mendapat panggilan dinas ke ibukota, otomatis sekolah libur. Untuk ke Pasarwajo, Ibukota Kabupaten Buton, Kepala Sekolah harus menghabiskan waktu minimal tiga hari. Perjalanan dimulai dengan menyebrang laut menggunakan katinting selama 4 - 5 jam menuju Bau-Bau, Ibukota Kota Bau-Bau. Setelah menginap semalam, esoknya baru bias melanjutkan perjalanan ke Pasarwajo dengan kendaraan darat.
Untuk mengatasi masalah kekurangan guru, kepala sekolah tidak kehabisan akal. Bersama kepala desa, mereka mulai membujuk warga desa pemilik ijazah sekolah menengah untuk membantunya. Dari sekian calon guru yang ditemui hanya dua orang yang berhasil dibujuk. Mereka adalah seorang pemuda tamatan Sekolah Teknik Menengah dan lainnya adalah isteri kepala sekolah sendiri.
Menurut Kepala Desa Kokoe, Hattang, pernah suatu waktu sekolah ini kedatangan seorang guru. Namun hanya sepekan bertugas, sang guru sudah tidak terlihat di pekan keduanya. Belakangan diketahui jika guru tersebut pulang ke daerah asalnya dan memutuskan tidak akan kembali lagi ke Kokoe.
“Saya juga heran kenapa tidak ada guru yang mau kesini. Padahal di Kecamatan Talaga satu kelas bias diajar dua sampai tiga orang guru yang berbeda. Saya sudah ketemu Kepala Sekolah, Camat dan Kepala Dinas untuk minta guru tapi sampai sekarang tidak pernah dikasih. Apa bedanya Kokoe dengan yang lain. Mungkin karena kami terpencil” keluh Kepala Desa dalam nada kesal.
Pulau kokoe sendiri adalah salah satu pulau terkecil diantara beberapa pulau berpenghuni lainnya dibarat pulau Buton. Pulau ini berhadapan langsung dengan laut flores. Belakangan, karena kesulitan air dan penghuni pulau makin padat populasinya, mereka mulai membangun perkampungan diujung selatan pulau kabaena.
Hingga kini masyarakat dan SDN Kokoe tak pernah putus asa menanti kedatangan guru di desa mereka. Kepala sekolah dan dua orang guru honorer adalah “pelita dan embun penyejuk” bagi 139 siswa SDN Kokoe dan 200 Kepala Keluarga disana. Ironisnya, meski berada didaerah terpencil, (ujung pulau buton) namun tak sekalipun mereka memperoleh tunjangan guru Daerah Terpencil (Dacil) yang menjadi haknya.
Di atas kesulitan selama belasan tahun itu, kini muncul secercah asa. Minimal orang tua tidak lagi ragu menyekolahkan anak. Dari kerja keras mereka pula, sedikitnya 20 anak alumni SDN Kokoe saat ini tengah berjuang meraih ijazah sarjana di beberapa kampus di tanah air.
“Sekarang kami lebih tenang. Kalau kami masih tidak dikasih guru, sudah ada anak-anak kami yang siap jadi guru nanti” ujar kepala desa yang senang mengenakan seragam pertahanan sipil ini. Sekali lagi senyumnya mengembang. Ya, kisah sekolah di ujung Pulau Buton ini bak kisah anak-anak di Film Laskar Pelangi, dimana sekelompok siswa bermain dibawah pohon pinus, karena kelas mereka tidak kebagian guru, sekelompok lainnya berjalan menuju kearah laut. Sedang kain lusuh merah putih masih berkibar di halaman sekolah. (ZAINAL ISHAK)
Blogger Comment
Facebook Comment