PEMBANGUNAN di era reformasi tidak sepesat di zaman Orde Baru. Kemunduran itu mengundang pertanyaan karena dana Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara maupun Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah justru meningkat terus. APBN tahun ini misalnya mencapai sekitar Rp 1.500 trilyun. Di era Soeharto, APBN belum sampai menembus angka trilyunan. Boleh jadi dana APBN maupun APBD dimakan inflasi, disikat koruptor, dan tercecer oleh kebijakan-kebijakan inefiensi, serta biaya gonjang ganjing politik plus konflik horizontal dan vertikal. Maka aliran dana ke daerah menjadi sangat lemah sehingga pembangunan infrastruktur dan kebutuhan dasar lainnya hanya bersifat tambal sulam, bahkan mandek sama sekali.
Dalam setiap kali melakukan
kunjungan kerja ke kecamatan dan desa terpencil, Gubernur Sulawesi Tenggara Nur
Alam pusing tujuh keliling. Pasalnya, rakyat suka minta dibuatkan jalan,
jembatan, irigasi, listrilk, air bersih, bibit, pupuk, dan obat pembasmi hama.
Sedangkan dana APBD maupun APBN sudah terbagi habis. Kebuntuan di lapangan
seperti itu membuat Nur Alam harus berpikir keras untuk mencari terobosan.
Langkah yang kemudian ditempuh Gubernur Nur Alam, dan ini ditiru banyak
provinsi lain adalah memanfaatkan fasilitas pinjaman yang disediakan pemerintah
pusat melalui badan layanan umum Pusat Investasi Pemerintah (PIP) Kementerian
Keuangan. “Kita terpaksa meminjam karena APBN dan APBD tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan mendesak masyarakat”, katanya dalam suatu perbincangan dengan saya di
Bandara Soekarno Hatta Jakarta, awal Juni 2013.
Gubernur Nur Alam menjelaskan, masih
banyak kantong-kantong permukiman dan produksi di Sulawesi Tenggara belum
terakses dengan baik ke ruas-ruas jalan nasional (jalan arteri). Keadaan itu
sangat tidak menguntungkan secara ekonomis. Pertumbuhan bergerak lamban. Biaya
yang dikeluarkan masyarakat dalam melakukan aktivitas sosial dan ekonomi sangat
tinggi. Penggunaan waktu dalam kegiatan mobilitas tidak efisien alias boros
energi dan waktu.
Kebutuhan riil untuk pembangunan
infrastruktur di Sulawesi Tenggara, memang jauh lebih besar dibanding dana yang
tersedia setiap tahun, baik melalui APBN maupun APBD provinsi dan kabupaten/kota
Pada kesempatan berbeda, Faisal, staf ahli Gubernur Sultra menyebutkan,
Sulawesi Tenggara membutuhkan dana sekitar Rp 6 trilyun setiap tahun, untuk
menerobos percepatan pembangunan di bidang infrastruktur. Sementara dana yang
tersedia hanya sekitar 25 persen. Agar pembangunan bergerak lebih cepat,
pemerintah provinsi tidak bisa lain harus bertindak lebih cerdas dan kreatif.
Gubernur Nur Alam kemudian memutuskan
membuka program pinjaman dengan membangun rumah sakit sebagai uji coba
kredibilitas pemerintah provinsi di mata pimpinan PIP Kementerian Keuangan. Dia
mendahulukan pembangunan rumah sakit karena kondisi rumah sakit provinsi yang
lama sudah sangat memprihatinkan. Pengap dan sempit. Sebagian pasien
ditempatkan di lorong-lorong. Kepadatan rumah sakit tersebut dipicu program
kesehatan gratis yang dilaksanakan sejak Nur Alam menjabat Gubernur Sulawesi
Tenggara beberapa tahun sebelumnya. Ibarat, berpenyakit kulit panu pun warga
berebutan ke rumah sakit provinsi untuk mendapatkan pengobatan gratis.
Kata berjawab gayung bersambut.
Proposal pemerintah provinsi disambut hangat PIP. Maka, kehadiran sebuah rumah
sakit modern di Kendari bernilai kurang lebih Rp 400 milyar terkesan seperti
disulap, selesai dibangun hanya dalam waktu kurang lebih 2 tahun. Meski rumah
sakit itu masih terus disempurnakan, termasuk penyediaan fasilitas penerangan
listrik, air bersih, dan pemeliharaan kebersihan. Soal kekurangan di bidang
pelayanan yang bersifat teknis, itu tanggung jawab pimpinan rumah sakit, bukan
lagi urusan Gubernur Nur Alam. Karena itu juga menjadi catatan bagi gubernur
bahwa pengangkatan pimpinan lembaga termasuk rumah sakit haruslah didasarkan
atas kecakapan dan kemampuan profesional yang memadai. Sehingga dalam masalah
teknis pun tidak perlu lagi gubernur harus turun tangan.
Setelah pembangunan rumah sakit
berjalan lancar dan sukses, Gubernur Nur Alam mengajukan lagi permintaan
pinjaman tahap berikutnya. Sasaran penggunaannya adalah pembangunan
infastruktur berupa jalan dan jembatan dalam rangka meningkatkan aksesibilitas
kantong-kantong permukiman dan produksi yang selama ini masih kesulitan
pelayanan angkutan dan transportasi. Gubernur telah menetapkan kawasan-kawasan
unggulan yang akan segera didukung dengan pembangunan yang dananya bersumber dari
pinjaman PIP.
Kawasan prioritas tersebut meliputi
Konawe Utara, Konawe Selatan, Bombana, dan Wakatobi. Masing-masing kawasan
memiliki potensi unggulan. Apa unggulan Wakatobi? Kabupaten Kepulauan Tukang
Besi itu merupakan daerah tujuan wisata dengan obyek Taman Laut yang telah
dikelola antara lain sebagai diving resort. Lalu tambang nikel dan emas di
Kabupaten Bombana. Kabupaten ini juga memiliki obyek wisata pegunungan dan
budaya di Pulau Kabaena yang berlokasi di Tangkeno, Negeri di Awan. “Negeri di
awan” adalah slogan (tagline) untuk mempromosikan resort wisata tersebut.
Akhir-akhir ini ada segelintir
masyarakat menyoroti kebijakan Gubernur Nur Alam perihal pinjaman tersebut.
Mereka melihat sisi negatifnya pinjaman itu, sebagai beban rakyat. Anggapan itu
tidak berdasar sama sekali karena tidak ada penambahan pembayaran pajak bagi
masyarakat untuk mengembalikan pinjaman lunak itu. Pinjaman pemerintah pusat
itu diangsur dengan pendapatan asli daerah (PAD) yang memang terus meningkat
setiap tahun.
Sebagai contoh rumah sakit provinsi.
Rumah sakit ini merupakan salah satu sumber PAD dalam struktur APBD Provinsi
Sulawesi Tenggara. Sebelum persetujuan pinjaman oleh PIP sebesar Rp 199 milyar,
pendapatan rumah sakit itu mencapai kurang lebih Rp 30 milyar setahun. Angka
itu menjadi jaminan pinjaman. Sekarang setelah menempati gedung baru dengan
fasilitas pelayanan lebih canggih, pendapatan rumah sakit umum provinsi (RSUP) Bahteramas
berkisar Rp 50 milyar sampai Rp 60 milyar. Dengan demikian, untuk mengangsur
pinjaman dengan bunga yang hanya di bawah 10 persen setahun, bagi pemerintah
provinsi tidak ada masalah.
Ada fakta yang perlu diketahui masyarakat Sulawesi
Tenggara di balik kebijakan pinjaman yang dilakukan Gubernur Nur Alam.
Pemerintah pusat ternyata sangat mengapresiasi upaya cerdas gubernur ini.
Respons itu diwujudkan dengan cara meningkatkan DAU (Dana Alokasi Umum) bagi
APBD Sulawesi Tenggara dalam rangka kompensasi besarnya pinjaman. Jadi jika
angsuran pinjaman misalnya Rp 20 milyar sementara DAU hanya Rp 100 milyar, maka
DAU tersebut didongkrak menjadi Rp 120 milyar. Dengan demikian, pelunasan
pinjaman sekali lagi tidak ada masalah bagi Pemprov Sultra.
Selain menorobos percepatan, keuntungan
besar yang dipetik dari kebijakan pinjaman adalah momentum efisiensi. Hampir
semua proyek besar (megaproyek) dikerjakan secara bertahap sesuai ketersediaan
dana pemerintah. RSUP Bahteramas, misalnya, jika dibangun bertahap hingga 5-6
tahun sangat mustahil bisa serendah itu – Rp 400 milyar – biayanya. Sebab
inflasi tidak mengenal kompromi. Karena itu, laju kenaikan harga barang tidak
mungkin dihentikan. Dalam situasi seperti itu kondisi kemampuan finansial
daerah akan semakin terjepit. Di lain pihak, kebutuhan mendesak masyarakat
dengan sendirinya akan makin lama tertunda untuk pemenuhannya.
Faisal Alhabsi, Kepala Bidang Binamarga
Dinas Pekerjaan Umum Sulawesi Tenggara tak ketinggalan menguraikan keuntungan
atas program pinjaman pemerintah pusat melalui badan layanan umum PIP
Kementerian Keuangan. Saat ini, biaya pengaspalan jalan provinsi bisa ditekan
menjadi kurang lebih Rp 1 milyar setiap kilometer. Tetapi 5 tahun yang akan
datang, biaya itu akan naik paling kurang menjadi Rp 3 milyar. Nah, dengan
adanya pinjaman PIP terjadi penghematan luar biasa, dan rentang waktu beban
biaya aktivitas sosial ekonomi masyarakat dapat diperpendek. (Tulisan Yamin Indas/ Wartawan Senior Sultra)
Blogger Comment
Facebook Comment