Benteng Terakhir Adat Moronene



Rumah adat Hukaea Laea yang berfungsi sebagai balai adat. foto: YOSHASRUL


SULTRANEWS-Di kejauhan gedung sekolah itu nampak kusam. Dindingnya yang terbuat dari papan kayu tak dilapisi cat. Sebagian papannya telah lapuk termakan hujan dan panas. Dinding papan sengaja di pasang tak saling rapat, membuat murid di ruang sebelah dapat mengintip  dari celah papan aktifitas di ruang  sebelahnya.Begitu pula suara di ruang sebelah terdengar jelas hingga ke ruang-ruang lainnya. Meski begitu, murid-murid di kampong Hukaea Laea sedikit lebih beruntung karena atap sekolah sudah diganti seng. “Dua tahun lalu, sekolah ini hanya beratap daun sagu, saat hujan murid terpaksa diliburkan karena atapnya bocor-bocor,”kata Uzun.



Celah dinding gedung sekolah di kampung Hukaea Laea. foto: YOSHASRUL

Meski begitu, murid-murid di kampung Hukaea Laea sedikit lebih beruntung karena atap sekolah sudah diganti seng. “Dua tahun lalu, sekolah ini hanya beratap daun sagu, saat hujan murid terpaksa diliburkan karena atapnya bocor-bocor,”kata Uzun.

Ketua Adat Huaea Laea, sendiri sebenarnya tidak setuju dengan pendirian sekolah modern di kampungnya. Ia lebih menginginkan anak-anak bersekolah di rumah adat. “Saya sebenarnya tidak menginginkan gedung sekolah dibuat permanen yang memberi kesan modern, karena pasti pelan tapi pasti akan menghilangkan unsur tradisional kampong ini,”kata Mansyur Lababa.

Karena itu, Ia menyayangkan adanya bangunan permanen yang dibangun pemerintah Bombana karena tanpa terlebih dahulu persetujuan adat di kampong Hukaea Laeya Moronene. “Itu bangunan (sambil menunjuk gedung permanen di tengah kampong) rencananya mau kami bongkar karena tidak melalui persetujuan adat,”kata Mansyur.

Mansyur menegaskan, sesuai kesepakatan seluruh perangkat adat, maka seluruh bangunan   di kampong Hukaea Laea tidak akan dibangun permanen, semua akan tetap menggunakan unsure-unsur bangunan adat tradisional Moronene.

Mansyur Lababa menjelaskan, nama HukaEa sendiri  diambil dari dua suku kata, yakni, Huka dan Ea. Huka artinya melinjo sedangkan Ea berarti besar. Jadi arti Hukaea adalah Melinjo yang besar. Penamaan itu tak lepas dari banyaknya tanaman melinjo yang tumbuh di daerah itu. Sedangkan LaEa memiliki arti Sungai Besar.

Kampung HukaEa LaEa juga punya nama lain yakni, kampung Wukulanu  yang artinya biji atau tulang agel, mengingat banyaknya tumbuhan agel hidup di daerah itu. “Masa itu, masyarakat menggunakan  biji agel untuk kebutuhan ramuan pondok kebun  atau rumah kecil untuk beristrahat,”kata Mansyur Lababa.


Pondok kebun dalam istilah moronene disebut  bantea   atau boru-boru (pondok kecil). Pondok ini berlaku di jaman tobu jauh sebelum adanya istilah kampung. Tobu sendiri merupakan wilayah yang belum tertata, saat masyarakat masih hidup berkelompok/ berkumpul.

Oleh warga, biji agel sendiri dijadikan sebagai pengikat rumah, sedang daunnya digunakan  untuk atap. Sementara dinding dan lantainya menggunakan bahan dari bambu. Selain untuk pengikat, biji agel digunakan untuk dinding rumah  dan ada juga warga yang  menggunakan daun rumbia atau alang-alang untuk atap rumah.

Rumah-rumah berbahan biji agel warga HukaEa ini terakhir disaksikan  sekira tahun 1994, berdiri kokoh di sepanjang kampong. Namun saat  operasi sapu jagat yang gencarkan pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara, rumah tradisional tersebut dibumihanguskan karena menanggap warga merambah kawasan TNRAW. Saat itu rumah-rumah warga dirubuhkan dan  dibakar, sedang penghuninya diusir ke luar dari taman yang merupakan tanah leluhur mereka.

Benteng Terakhir

Sikap keras Mansyur Lababa mempertahankan keberadaan Kampung Hukaea Laea bukan tanpa alas an, sebab keberadaan kampung Hukaea Laea saat ini boleh dikata merupakan benteng terakhir pertahanan adat di wilayah Moronene yang kini telah digerus modernisasi dan fluralisme budaya.  
“Saya sedih melihat kondisi adat hari ini, karena anak-anak muda kini berkiblat pada medernitas, mereka tidak ada lagi yang peduli mempertahankan tradisi nenek moyang mereka,”ujar Mansyur Lababa.
Optimisme membangun kampong adat Hukaea Laea telah diputuskannya bersama masyarakat setempat.
 
Mansyur Lababa di Balai adat Hukaea. foto: YOSHASRUL
“Tahun ini kami terus membangun rumah adat dan balai pertemuan adat, selanjutnya akan membangun rumah-rumah warga dengan bangunan rumah tradisional. Jadi sesuai kesepakatan adat, semua orang di kampong ini diwajibkan membangun rumah tradisonal bukan rumah permanen,”ungkapnya.
 
Pertemuan di Balai adat Hukaea. foto: Yoshasrul
 Saat ini jumlah penduduk Hukae Laea mencapai  110 kk atau 453 jiwa. Dalam peta indikatif wilayah adat Hukaea Laea mencapai 26.000 H. Sayangnya, keberadaan kampnng hukaea terancam dengan kehadiran masyarakat pendatang yang mengelola  lahan TNRAW khususnya di wilayah Lampopala di  daerah perbatasan Kabupaten Kolaka Timur dan Kabupaten Konawe Selatan.

Lantas bagaimana dengan peran pemerintah daerah terhadap keberadaan masyarakat adat? Mansyur Lababa mengaku tidak dapat berharap banyak pada pemerintah daerah membangun dan memelihara kawasan adat. “Kalau mau jujur pemerintah seharusnya peka terhadap nilai-nilai adat istiadat karena Negara ini tidak lahir begitu saja, tanpa dukungan masyarakat adat. Tapi faktanya tidak seperti itu,”katanya. YOSHASRUL
 

Share on Google Plus

About yoshasrul

    Blogger Comment
    Facebook Comment