Desa Pungkalaero di pesisir dengan latar pegunungan Kabaena Selatan. foto: YOSHASRUL Nasib Hutan di Selatan Kabaena
Ada cerita mistik tentang hutan-hutan di
selatan kabaena yang tidak boleh dijamah. Hutan-hutan tersebut di keramat oleh
para leluhur Kabaena khususnya para turunan dari Mokole Kabaena. Tak ada yang
boleh menjamah hutan karena kampung keseluruhan akan terkena bala.Tidak
mengherankan jika menyusuri lautan di
sisi hutan akan terlihat menghijau. Nelayan di pesisir hidup dengaan air yang
cukup dan sumber daya laut yang melimpah. Saya mampir ke rumah ketua adat
Pongkalero, Sahibu. Di sana warga telah hadir sejumlah tokoh adat, pemuka agama
dan sejumlah anak-anak muda desa. Mereka menjamu dengan penuh keramahan. Dua
jam berada di rumah angin mulai berhembus kencang, hingga nyaris mengangkat
atap rumah. Kami semua yang berada dalam rumah hanya bisa terdiam sambil
membiarkan angin mereda.
Sahibu,
menjulurkan jari menunjuk sebuah tanjung yang menjorok dominan ke lautan. Di
seberang terlihat jelas pulau sagori
dengan pasir putihnya. “Tak lama lagi hutan di tanjung itu akan hilang dan siap
diolah perusahaan tambang,”kata Sahibu. Tanjung itu adalah ‘benteng’ bagi Desa
Pongkalaero dengan dua desa lainnya di pesisir. Benteng dari hembusan angin
laut yang terkenal kencang itu. Nah, rupanya itulah makna dari para leluhur
menjaga dengan kuat hutan-hutan mereka, karena bukan saja mata rantai sumber
daya alam yang akan hilang, tetapi
ekosistem laut juga akan terancam jika laju ekploitasi dilakukan. Bukan
itu saja ancaman bagi keselamatan warga desa dan harta benda masyarakat menjadi
pertaruhan besar, seperti yang akan terjadi jika kelak nikel yang beerada
semenanjung kabaena dibongkar, demi memuskan nafsu para pemodal yang serakah.
Inilah sekelumit kisah
masyarakat di Pulau Kabaena. Bagi saya, menjejak tanah kabaena khusus di sisi selatan adalah
kali pertama. Saya dan Abdul Halim rekan jurnalis Metro TV menumpang kapal
‘Setia Kawan” melalui Pelabuhan
Kasipute, Kecamatan Rumbia, Kabupaten Bombana. Pelabuhan Kasipute merupakan
pintu masuk menuju Pulau Kabaena. Ada beberapa kapal yang beroperasi melayani
rute tersebut, di antaranya Era Mas, Setia kawan dan Kabaena Ekspres.
Untuk menuju Pulau Kabaena,
kita dapat menggunakan kapal penumpang reguler yang beroperasi satu kali
sehari. Jarak tempuh kurang lebih lima jam mengharuskan kami membayar ongkos 80
ribu rupiah per orang. Kapal lambat laun membelah lautan biru dengan panorama
alam membentang. Di kejauhan Nampak rumah-rumah penduduk berjajar rapi baak
anai-anai. Rumah-rumah warga suku bajo dan bugis pesisir. Pulau dengan luas 876
Km2 tersebut dihuni sekira 12.000 jiwa. Pulau Kabaena terdiri atas enam
kecamatan yang sebagian besar berada di pesisir dengan komunitas Suku Bajo
sebagai penghuninya.
Warga nelayan di Pulau Kabaena mencari air bersih dengan menggunakan perahu. foto: YOSHASRUL |
Persebaran Suku Bajo di
Pulau Kabaena antara lain di Kecamatan Kabaena Barat (Desa Baliara Laut yang
terdiri atas Dusun Bambanipa Laut dan Dusun Tanjung Malake, Desa Baliara
Kapulauan dan Desa Sikele yang terdiri atas Dusun Tanjung Perak, Dusun Pulau
Sagori dan Dusun Pulau Mataha). Di Kecamatan Kabaena Selatan, Suku Bajo
tersebar di Desa Batua dan Desa Pangkalero dan Desa Mapila di
Kecamatan Kabaena Utara.
Hutan hijau beratap langit
yang panas mengernyitkan mata setiap penumpang kapal. Beberapa pulau seperti
mengapung di lautan terlihat nampak berwarna
kecoklatan. pulau-pulau kecil berpenghuni ini nampak gersang. Bukit-bukit di belakang
rumah penduduk kelihatan gosong seperti habis terbakar. Inilah gugus pulau-pulau
kecil yang menjadi incaran para penambang. Beberapa pria berkulit putih bersih dan bermata sipit
yang sekapal dengan kami memandang bukit-bukit kecil itu dari balik dinding
kapal. Sedapatnya matanya yang kecil
Nampak silau cahaya matahari yang terik di lautan. Dari kantung baju Ia
mengeluarkan kacamata hitamnya, lalu digunakan.
Kedua anak muda ini adalah tim eksplorasi sewaan salah satu perusahaan
tambang di kabaena. Karena tidak puas
keduanya naik ke anjungan kapal, saat menjelang sore.
Saya ikut beranjak naik
anjungan. Angin laut yang mulai dingin langsung menyerbu wajah. Di kejauhan
mulai Nampak gunung watu sangia. Gunung
itu memberi tanda, kapal sudah hampir
tiba di ibukota kabaena, Kelurahan Sikeli.
Bentang alam pulau kabaena didominasi
oleh pegunungan. Kokoh dengan kesan anggun. Diantara deretan pegunungan, sebuah
bukit kars menjulang gagah bernama Batu sangia. Simbol yang mewakili kehidupan
masyarakatnya. Pantai beraneka warna membentuk
garis imajiner, batas antara darat dan samudera. Sementara gugusan pulau-pulau
kecil yang terbentuk dari atol maupun bukit pasir yang ditumbuhi pinus adalah
daya tarik tersendiri. Sebuah lanskap yang memanjakan mata.
Suasana Desa Pungkalaero, Kabaena Selatan. foto: YOSHASRUL |
Masyarakat kabaena umumnya memilih
membangun pusat-pusat pemukiman di lembah-lembah gunung yang terdapat aliran
sungai maupun di pesisir pantai. Tanah yang subur memungkinkan pertanian
sebagai penyokong utama ekonomi mereka. Tak heran jika kerajaan buton saat itu
menjuluki daerah ini sebagai “kobaena” atau penghasil beras meski orang-orang
eropa lebih suka menyebutnya sebagai “comboina”. orang-orang pribumi sendiri
menyebut kampong halaman mereka sebagai tokotu’a.
Dimasa lampau pada sekitar abad ke-16,
kerajaan Tokotu’a atau kabaena yang berpusat di kaki gunung sangia wita bernama
tangkeno, mencapai puncak kejayaannya. Kemakmuran tercipta seiring dengan
tumbuh suburnya pertanian, yang dibarengi dengan berkembangnya khasanah budaya,
seni dan kearifan lokal. Ironisnya, Setelah pemerintah memegang kendali kuasa
atas segala kekayaan alam atas nama Negara, negeri kabaena justru terjerembab
dalam kemiskinan yang akut.
Pulau Kabaena, di masa
lampau merupakan pusat Kerajaan Moronene, salah satu etnis di Sultra.
"Benteng Tawulagi, tempat pelantikan mokole (raja), merupakan bukti kuat
bahwa Kabaena pernah menjadi pusat Kerajaan Moronene," kata tokoh budaya
Kabaena, Abdul Majid Ege, sebagaimana ditulis Yamin Indas wartawan senior di Sultra asal Kabaena, di situs pribadinya.
Menurut Madjid, ada beberapa
benteng penunjang benteng utama Tawulaagi, yaitu Benteng Doule, Tontowatu,
Mataewolangka dan Tuntuntari. "Benteng Tawulagi merupakan tempat
pelantikan mokole, mataewolangka tempat mengintai musuh dari arah selatan,
Benteng Doule tempat mengintai dari arah barat dan utara dan dua benteng
penunjang lainnya masing-masing tuntuntari dan tontowatu merupakan tempat
mengintai dari arah timur," katanya.
Di wilayah daratan tenggara
Sulawesi sebagai asal muasal etnis Moronene Kabaena, tidak ditemukan benteng
seperti di Kabaena. Itu membuktikan pusat Kerajaan Moronene memang di Kabaena,
bukan di wilayah daratan. Di Benteng Tawulagi, kata Abdul Majid Ege, selain
masih tampak batu besar dan agak tinggi tempat melantik Mokole, juga terdapat
sebuah meriam besar. Dulu, kemungkinan besar untuk melawan penjajah Belanda maupun
Tobelo."Tobelo merupakan sekelompok orang pada zaman dulu yang kerjanya
sebagai perompak laut, bahkan tidak segan-segan merampas dan membunuh warga di
daratan," katanya.
Menurut Abdul Madjid,
benteng-benteng di Kabaena diperkirakan didirikan pada tahun 1600-an yang
digunakan sebagai tempat persembunyian dan tempat bertahan dari para musuh.
Aktifitas tambang nikel di pulau Kabaena bagian Selatan milik PT AHB. foto: Yoshasrul |
Dengan wilayah
pegunungan dan laut, Pulau Kabaena memiliki banyak kekayaan alam. Di
laut, keanekaragaman terumbu karang menjadi faktor penentu banyaknya
ketersediaan ikan. Sirkulasi air laut yang berhadapan dengan laut lepas
menjadikan daerah tersebut menjadi penghasil rumput laut. Sementara di darat,
kekayaan alamnya juga tak kalah, sehingga kuasa pertambangan bermunculan.
Setidaknya ada kandungan nikel, emas dan batu kromrik matahari. (YOSHASRUL)
Blogger Comment
Facebook Comment