![]() |
Nederlands: Foto. Groepsportret van het corps van de veldpolitie Poedjon te Malang/ wikipedia/sultranews.com |
Kepolisian
Negara Republik Indonesia (Polri) adalah Kepolisian Nasional di Indonesia saat
ini tengah mengalami ujian paling besar dengan maraknya aksi terror. Tak
sedikit nyawa petugas kepolisian yang melayang saat bertugas, termasuk aparat
yang mati akibat kebrutalan para teroris.
Kepolisian
Republik Indonesia sendiri memiliki sejarah yang tidak pendek. Dimulai dari
Masa kolonial Belanda Dimana pada masa Veldpolitie di Malang (sekitar 1930).
Pada zaman Kerajaan Majapahit patih Gajah Mada membentuk pasukan pengamanan
yang disebut dengan Bhayangkara yang bertugas melindungi raja dan kerajaan.
Pada masa
kolonial Belanda, pembentukan pasukan keamanan diawali oleh pembentukan
pasukan-pasukan jaga yang diambil dari orang-orang pribumi untuk menjaga aset
dan kekayaan orang-orang Eropa di Hindia Belanda pada waktu itu. Pada tahun
1867 sejumlah warga Eropa di Semarang, merekrut 78 orang pribumi untuk menjaga
keamanan mereka.
Wewenang operasional
kepolisian ada pada residen yang dibantu asisten residen. Rechts politie
dipertanggungjawabkan pada procureur generaal (jaksa agung). Pada masa Hindia
Belanda terdapat bermacam-macam bentuk kepolisian, seperti veld politie (polisi
lapangan) , stands politie (polisi kota), cultur politie (polisi pertanian),
bestuurs politie (polisi pamong praja), dan lain-lain.
Sejalan dengan
administrasi negara waktu itu, pada kepolisian juga diterapkan pembedaan
jabatan bagi bangsa Belanda dan pribumi. Pada dasarnya pribumi tidak
diperkenankan menjabat hood agent (bintara), inspekteur van politie, dan
commisaris van politie. Untuk pribumi selama menjadi agen polisi diciptakan
jabatan seperti mantri polisi, asisten wedana, dan wedana polisi.
Kepolisian
modern Hindia Belanda yang dibentuk antara tahun 1897-1920 adalah merupakan
cikal bakal dari terbentuknya Kepolisian Negara Republik Indonesia saat ini.[5
Masa pendudukan
Jepang.
Pada masa ini
Jepang membagi wiliyah kepolisian Indonesia menjadi Kepolisian Jawa dan Madura
yang berpusat di Jakarta, Kepolisian Sumatera yang berpusat di Bukittinggi,
Kepolisian wilayah Indonesia Timur berpusat di Makassar dan Kepolisian
Kalimantan yang berpusat di Banjarmasin.
Tiap-tiap kantor
polisi di daerah meskipun dikepalai oleh seorang pejabat kepolisian bangsa
Indonesia, tapi selalu didampingi oleh pejabat Jepang yang disebut sidookaan
yang dalam praktik lebih berkuasa dari kepala polisi.
Awal kemerdekaan
Indonesia
Periode
1945-1950, Tidak lama setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu,
pemerintah militer Jepang membubarkan Peta dan Gyu-Gun, sedangkan polisi tetap
bertugas, termasuk waktu Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia
pada tanggal 17 Agustus 1945. Secara resmi kepolisian menjadi kepolisian
Indonesia yang merdeka.
Inspektur Kelas
I (Letnan Satu) Polisi Mochammad Jassin, Komandan Polisi di Surabaya, pada
tanggal 21 Agustus 1945 memproklamasikan Pasukan Polisi Republik Indonesia
sebagai langkah awal yang dilakukan selain mengadakan pembersihan dan pelucutan
senjata terhadap tentara Jepang yang kalah perang, juga membangkitkan semangat
moral dan patriotik seluruh rakyat maupun satuan-satuan bersenjata yang sedang
dilanda depresi dan kekalahan perang yang panjang. Sebelumnya pada tanggal 19
Agustus 1945 dibentuk Badan Kepolisian Negara (BKN) oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada tanggal 29 September 1945 Presiden Soekarno
melantik R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo menjadi Kepala Kepolisian Negara (KKN).
Pada awalnya
kepolisian berada dalam lingkungan Kementerian Dalam Negeri dengan nama
Djawatan Kepolisian Negara yang hanya bertanggung jawab masalah administrasi,
sedangkan masalah operasional bertanggung jawab kepada Jaksa Agung.
Kemudian mulai
tanggal 1 Juli 1946 dengan Penetapan Pemerintah tahun 1946 No. 11/S.D. Djawatan
Kepolisian Negara yang bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri.[9]
Tanggal 1 Juli inilah yang setiap tahun diperingati sebagai Hari Bhayangkara
hingga saat ini.
Sebagai bangsa
dan negara yang berjuang mempertahankan kemerdekaan maka Polri di samping
bertugas sebagai penegak hukum juga ikut bertempur di seluruh wilayah RI. Polri
menyatakan dirinya “combatant” yang tidak tunduk pada Konvensi Jenewa. Polisi
Istimewa diganti menjadi Mobile Brigade, sebagai kesatuan khusus untuk
perjuangan bersenjata, seperti dikenal dalam pertempuran 10 November di
Surabaya, di front Sumatera Utara, Sumatera Barat, penumpasan pemberontakan PKI
di Madiun, dan lain-lain.
Pada masa
kabinet presidential, pada tanggal 4 Februari 1948 dikeluarkan Tap Pemerintah
No. 1/1948 yang menetapkan bahwa Polri dipimpin langsung oleh presiden/wakil
presiden dalam kedudukan sebagai perdana menteri/wakil perdana menteri.
Pada masa
revolusi fisik, Kapolri Jenderal Polisi R.S. Soekanto telah mulai menata
organisasi kepolisian di seluruh wilayah RI. Pada Pemerintahan Darurat RI
(PDRI) yang diketuai Mr. Sjafrudin Prawiranegara berkedudukan di Sumatera
Tengah, Jawatan Kepolisian dipimpin KBP Umar Said (tanggal 22 Desember 1948).
Hasil Konferensi
Meja Bundar antara Indonesia dan Belanda dibentuk Republik Indonesia Serikat
(RIS), maka R.S. Sukanto diangkat sebagai Kepala Jawatan Kepolisian Negara RIS
dan R. Sumanto diangkat sebagai Kepala Kepolisian Negara RI berkedudukan di
Yogyakarta.
Dengan Keppres
RIS No. 22 tahun 1950 dinyatakan bahwa Jawatan Kepolisian RIS dalam
kebijaksanaan politik polisional berada di bawah perdana menteri dengan
perantaraan jaksa agung, sedangkan dalam hal administrasi pembinaan,
dipertanggungjawabkan pada menteri dalam negeri.
Umur RIS hanya
beberapa bulan. Sebelum dibentuk Negara Kesatuan RI pada tanggal 17 Agustus
1950, pada tanggal 7 Juni 1950 dengan Tap Presiden RIS No. 150,
organisasi-organisasi kepolisian negara-negara bagian disatukan dalam Jawatan
Kepolisian Indonesia. Dalam peleburan tersebut disadari adanya kepolisian
negara yang dipimpin secara sentral, baik di bidang kebijaksanaan siasat
kepolisian maupun administratif, organisatoris.
Periode
1950-1959, Dengan dibentuknya negara kesatuan pada 17 Agustus 1950 dan
diberlakukannya UUDS 1950 yang menganut sistem parlementer, Kepala Kepolisian
Negara tetap dijabat R.S. Soekanto yang bertanggung jawab kepada perdana
menteri/presiden.
Waktu kedudukan
Polri kembali ke Jakarta, karena belum ada kantor digunakan bekas kantor Hoofd
van de Dienst der Algemene Politie di Gedung Departemen Dalam Negeri. Kemudian
R.S. Soekanto merencanakan kantor sendiri di Jalan Trunojoyo 3, Kebayoran Baru,
Jakarta Selatan, dengan sebutan Markas Besar Djawatan Kepolisian Negara RI
(DKN) yang menjadi Markas Besar Kepolisian sampai sekarang. Ketika itu menjadi
gedung perkantoran termegah setelah Istana Negara.
Sampai periode
ini kepolisian berstatus tersendiri antara sipil dan militer yang memiliki
organisasi dan peraturan gaji tersendiri. Anggota Polri terorganisir dalam
Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia (P3RI) tidak ikut dalam Korpri,
sedangkan bagi istri polisi semenjak zaman revolusi sudah membentuk organisasi
yang sampai sekarang dikenal dengan nama Bhayangkari tidak ikut dalam Dharma
Wanita ataupun Dharma Pertiwi. Organisasi P3RI dan Bhayangkari ini memiliki
ketua dan pengurus secara demokratis dan pernah ikut Pemilu 1955 yang
memenangkan kursi di Konstituante dan Parlemen. Waktu itu semua gaji pegawai negeri
berada di bawah gaji angkatan perang, namun P3RI memperjuangkan perbaikan gaji
dan berhasil melahirkan Peraturan Gaji Polisi (PGPOL) di mana gaji Polri
relatif lebih baik dibanding dengan gaji pegawai negeri lainnya (mengacu
standar PBB).
Masa Orde Lama
Dengan Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, setelah kegagalan Konstituante, Indonesia kembali ke UUD
1945, namun dalam pelaksanaannya kemudian banyak menyimpang dari UUD 1945.
Jabatan Perdana Menteri (Alm. Ir. Juanda) diganti dengan sebutan Menteri
Pertama, Polri masih tetap di bawah pada Menteri Pertama sampai keluarnya
Keppres No. 153/1959, tertanggal 10 Juli di mana Kepala Kepolisian Negara
diberi kedudukan Menteri Negara ex-officio.
Pada tanggal 13
Juli 1959 dengan Keppres No. 154/1959 Kapolri juga menjabat sebagai Menteri
Muda Kepolisian dan Menteri Muda Veteran. Pada tanggal 26 Agustus 1959 dengan
Surat Edaran Menteri Pertama No. 1/MP/RI1959, ditetapkan sebutan Kepala
Kepolisian Negara diubah menjadi Menteri Muda Kepolisian yang memimpin
Departemen Kepolisian (sebagai ganti dari Djawatan Kepolisian Negara).
Waktu Presiden
Soekarno menyatakan akan membentuk ABRI yang terdiri dari Angkatan Perang dan
Angkatan Kepolisian, R.S. Soekanto menyampaikan keberatannya dengan alasan
untuk menjaga profesionalisme kepolisian. Pada tanggal 15 Desember 1959 R.S.
Soekanto mengundurkan diri setelah menjabat Kapolri/Menteri Muda Kepolisian,
sehingga berakhirlah karier Bapak Kepolisian RI tersebut sejak 29 September
1945 hingga 15 Desember 1959.
Dengan Tap MPRS
No. II dan III tahun 1960 dinyatakan bahwa ABRI terdiri atas Angkatan Perang
dan Polisi Negara. Berdasarkan Keppres No. 21/1960 sebutan Menteri Muda
Kepolisian ditiadakan dan selanjutnya disebut Menteri Kepolisian Negara bersama
Angkatan Perang lainnya dan dimasukkan dalam bidang keamanan nasional.
Tanggal 19 Juni
1961, DPR-GR mengesahkan UU Pokok kepolisian No. 13/1961. Dalam UU ini
dinyatakan bahwa kedudukan Polri sebagai salah satu unsur ABRI yang sama
sederajat dengan TNI AD, AL, dan AU.
Dengan Keppres
No. 94/1962, Menteri Kapolri, Menteri/KASAD, Menteri/KASAL, Menteri/KSAU,
Menteri/Jaksa Agung, Menteri Urusan Veteran dikoordinasikan oleh Wakil Menteri
Pertama bidang pertahanan keamanan. Dengan Keppres No. 134/1962 menteri diganti
menjadi Menteri/Kepala Staf Angkatan Kepolisian (Menkasak).
Kemudian Sebutan
Menkasak diganti lagi menjadi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak)
dan langsung bertanggung jawab kepada presiden sebagai kepala pemerintahan
negara. Dengan Keppres No. 290/1964 kedudukan, tugas, dan tanggung jawab Polri
ditentukan sebagai berikut: Alat Negara Penegak Hukum. Koordinator Polsus.Ikut
serta dalam pertahanan.
Pembinaan
Kamtibmas. Kekaryaan. Sebagai alat revolusi.
Berdasarkan
Keppres No. 155/1965 tanggal 6 Juli 1965, pendidikan AKABRI disamakan bagi
Angkatan Perang dan Polri selama satu tahun di Magelang. Sementara di tahun
1964 dan 1965, pengaruh PKI bertambah besar karena politik NASAKOM Presiden
Soekarno, dan PKI mulai menyusupi memengaruhi sebagian anggota ABRI dari
keempat angkatan.
Masa Orde Baru
Karena
pengalaman yang pahit dari peristiwa G30S/PKI yang mencerminkan tidak adanya
integrasi antar unsur-unsur ABRI, maka untuk meningkatkan integrasi ABRI, tahun
1967 dengan SK Presiden No. 132/1967 tanggal 24 Agustus 1967 ditetapkan
Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur Bidang Pertahanan dan Keamanan yang
menyatakan ABRI merupakan bagian dari organisasi Departemen Hankam meliputi AD,
AL, AU , dan AK yang masing-masing dipimpin oleh Panglima Angkatan dan
bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya kepada
Menhankam/Pangab. Jenderal Soeharto sebagai Menhankam/Pangab yang pertama.
Setelah Soeharto
dipilih sebagai presiden pada tahun 1968, jabatan Menhankam/Pangab berpindah
kepada Jenderal M. Panggabean. Kemudian ternyata betapa ketatnya integrasi ini
yang dampaknya sangat menyulitkan perkembangan Polri yang secara universal
memang bukan angkatan perang.
Pada tahun 1969
dengan Keppres No. 52/1969 sebutan Panglima Angkatan Kepolisian diganti kembali
sesuai UU No. 13/1961 menjadi Kepala Kepolisian Negara RI, namun singkatannya
tidak lagi KKN tetapi Kapolri. Pergantian sebutan ini diresmikan pada tanggal 1
Juli 1969.
Pada HUT ABRI
tanggal 5 Oktober 1969 sebutan Panglima AD, AL, dan AU diganti menjadi Kepala
Staf Angkatan
Kapolisian bertanggung jawab langsung di bawah Presiden.
Polri mengemban tugas-tugas kepolisian di seluruh wilayah Indonesia. Polri
dipimpin oleh seorang Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri).
Sejak 22 Oktober 2010 Kapolri dijabat oleh Jenderal Polisi Timur Pradopo. (sumber wikipedia.org)
Blogger Comment
Facebook Comment