Doti, Stigma Negatif Pulau Wawonii



Ilustrasi

SULTRANEWS-,Rasa cemas sempat  terbersit di hati Zain. Terlebih setelah  petugas polisi itu  mendengar cerita warga tentang kesaktian Labora yang terkenal kebal dan konon memiliki peliharaan 40 kuntil anak. Sejumlah warga Lampeapi, di sebelah Selatan Wawonii, bahkan mengaku sudah membuktikan dengan melihat langsung wujud kuntil anak peliharaan Labora yang kerap terlihat dan menganggu warga sekitar.   

Namun perasaan takut itu dibuang Zain jauh-jauh. Ia tetap memutuskan mencari Labora dan menantangnya berduel.  Zain lalu menyusuri jalan setapak berbukit berkilo-kilo meter demi mencari Labora. Sepucuk senapan dipanggulnya erat-erat. Pikirannya terus berkecamuk, ingin segera  sampai di rumah Labora, pemuda desa Lampeapi yang terkenal sakti mandraguna.

Saat tiba, tanpa basa-basi Zain langsung berteriak memanggil Labora dan menantangnya duel. “Labora keluar kau !! kalo memang kamu jago kamu lawan saya sekarang,”teriak Zain.  Mendengar tantangan itu, Labora keluar rumah menemui Zain. Ia hanya terdiam tanpa berani menatap wajah Zain yang sudah memerah.

“Labora, Saya dengar Kamu punya ilmu dan punya peliharaan empat puluh kuntil anak, kalo kamu jago kamu lawan saya sekarang kalau terjadi apa-apa sepulangnya saya dari sini, maka saya akan kembali mencari Kamu dan akan saya tembak mulutmu,”ancam sembari menodong senjata ke arah Labora.

“Kamu ingat kata-kata saya, kalau ada kupu-kupu masuk di rumaah saya atau saya batuk-batuk maka saya akan kembali cari kamu dan saya akan tembak kamu,”ujar Zain menebar ancaman.

Ancaman Zain membuat nyali pemuda kampong itu kian ciut.  Mendengar pengakuan Labora, hati Zain sedikit lega. Setidaknya kekalutan hati sudah terobati. Hari itu juga Ia memutuskan kembali ke Desa Langara.

Perseteruan dengan Labora bukan tanpa sebab. Bermula saat Zain mendapat laporan berupa keluhan warga Lampeapi atas ulah Labora yang keraap menganggu warga  melaksanakan shalat tarawe di bulan ramadhan. “Saat sedang sujud, Labora selalu memegang kemaluan para wanita, sehingga membuat pelaksanaan shalat jadi kacau,”kata Zain.

Mendapat laporan, Zain lalu memanggil Labora menghadap ke kantor polisi dan menanyakan kebenaran pengakuan warga. Namun, Labora tidak sedikit pun menjawab pertanyaan Zain. Sikap Labora membuat amarah Zain pecah dan menempeleng wajah lelaki itu. 
Usai kejadian itu beberapa warga kemudian datang menemui Zain, mereka menceritakan tentang kesaktian Labora yang memelihara 40 kuntil anak.
Cerita di atas merupakan satu dari banyak kisah kehidupan tentang "dunia hitam" di wawonii. Memberi bukti, bahwa, wawonii sejak lama telah diasosiasikan sebagai pulau gudangnya ilmu hitam. Tak heran banyak orang  luar yang enggan menginjakkan kaki ke wawonii karena takut terkena santet atau oleh warga setempat disebut doti. Misalnya saja, cerita doti yang bisa membuat kepala manusia menjadi lembek, atau kemaluan yang tertempel di dinding.

Bagi sebagian orang menganggap cerita mistis itu benar adanya, namun ada pula yang menganggap cerita doti hanya mitos belaka, yang sengaja dihembuskan agar potensi alam wawonii tidak dieksploitasi oleh orang luar. 

Zain sendiri sebenarnya tak terlalu peduli dengan cerita mistis itu, bahkan, beberapa kali Ia pernah berseteru dengan orang lokal yang terkenal berilmu tinggi.   Baginya, semua stigma itu hanya membuat wawonii menjadi terisolir dan jauh dari sentuhan pembangunan. Namun, perseteruan dengan Labora memberi pelajaran penting tentang hidup di negeri orang. Sebenarnya tak hanya dengan Labora, Zain juga sempat berperkara dengan sejumlah orang wawonii yang juga dikenal sakti. Namun semua bisa dia atasi. 

Ketika itu Zain  masih berusia muda. Ia adalah petugas kepolisian berpangkat sersan. Ia pertama kali menginjakkan kaki di pulau berbentuk hati tahun 1979. Sebagai polisi Ia bertugas mengawasi wilayah wawonii dan sekitarnya dan menetap  di Desa Langara hingga kini . Saat Zain bertugas, camat wawonii dipimpin oleh Melamba yang baru beberapa bulan bertugas  menggantikan Arifuddin Djohansyah yang dipindah tugaskan sebagai pembantu bupati di wilayah Lainea, Kabupaten Konawe Selatan (kini).

Pertama bertugas di Langara, Zain  betul-betul merasakan kesusahan hidup di pulau ini. Baginya Wawonii tak ubahnya sebagai daerah  'mati', di mana rumah-rumah  warga masih bisa dihitung jari. Tak ada sarana listrik apalagi sarana komunikasi. “Saat malam hari pulau ini sangat gelap, kalau mau jalan malam saya selalu mengacungkan keris  ke depan, supaya kalau ada yang jahat bisa langsung kena keris,”ujarnya sembari tertawa.

Zain mendapati kosentrasi penduduk wawonii ketika itu terpecah-pecah dan lebih banyak berada di wilayah Lampeapi. Walau sebenarnya Langara  sudah menjadi pusat kecamatan ketika itu. Rumah-rumah di Langara masih sebagian besar dihuni etnis Bajo, mereka hidup dan menetap di pinggir laut dengan kondisi rumah sangat tradisonal, bahkan sebagian masih hidup di atas perahu. Di Langara,  pedagang bugis hanya ada dua orang yang khusus mengumpulkan hasil bumi. Para pedagang kerap “menjual” nama Zain yang terkenal seantero pulau  wawonii saat berniaga ke pelosok.

Dalam realitas kehidupan masa lalu hingga kini, warga wawonii  tidak menampik adanya ilmu hitam atau dalam bahasa lokal disebut doti. Bahkan, sebagian warga bangga dengan status itu. Tak heran, doti  atau ilmu hitam kerap menjadi bahan permainan anak-anak muda untuk saling mengetes  kesaktian, misalnya saat pesta adat atau pesta perkawinan, biasanya dibarengi dengan pesta minum-minum tuak. Pada saat itulah para pemuda saling memperlihatkan kelebihan, misalnya, menggit beling botol/gelas, menolak racun, dll.

Beberapa “orang pintar” sekaligus tokoh di wawonii mengaku ilmu hitam menjadi bagian hidup sebagian warga wawonii, mulai masa lampau hingga jaman modern kini. Misalnya, saja ilmu yang membuat kebal, ilmu jaga diri hingga  ilmu tak tertembus peluru. Ada juga ilmu yang dipakai untuk menggaet perempuan, atau ilmu santet yang bisa membuat orang kehilangan kesadaran/gila.***
Share on Google Plus

About yoshasrul

    Blogger Comment
    Facebook Comment